Berita viral terbaru: Penculikan virtual terjadi pada beberapa pelajar China di Australia dengan memanfaatkan masa pandemi dan data pribadi korban.
Padangkita.com - Belum lama ini, beberapa pelajar asal China di Australia dilaporkan menjadi korban penculikan virtual. Kasus tersebut terungkap setelah orang tua salah seorang korban menunjukan video putrinya yang berusia 21 tahun tengah memohon bantuan di suatu tempat di Australia.
Mulanya orang tua korban mendapat video itu dari orang yang mengaku sebagai penculik anaknya. Pelajar China itu memang sebelumnya telah susah dihubungi selama berhari-hari.
Para penculik meminta orang tua korban untuk mengirimkan sejumlah uang jika ingin anak mereka selamat.
Lantaran sangat khawatir dengan nasib putrinya, keluarga korban lantas mengirim deposit uang ke rekening bank luar negeri.
Beberapa jam setelah pengiriman itu, teman serumah korban menemukan gadis itu selamat di sebuah hotel di Sydney pada Selasa (14/7/2020). Menurut kabar, gadis tersebut telah dijebak oleh para pelaku penipuan.
Saat ini pihak berwenang Australia memberikan peringatan bahwa terdapat banyak “penculikan virtual”. Sebagian besar dari kejahatan tersebut berusaha mengeksploitasi pelajar China di Australia.
Selama masa pandemi Covid-19, banyak pelajar China yang terpaksa terisolasi di kediaman meraka. Hal itu dimanfaatkan para penjahat untuk melancarkan aksinya.
Polisi di negara bagian New South Wales menyebutkan telah ada setidaknya 8 kasus yang dikonfirmasi tahun ini, Selasa (28/7/2020).
Baca juga: Biduan Dangdut Clara Gopa Gak Lelah Kejar Atta Halilintar dan Menantang Aurel
Kurang lebih sebanyak US$2 juta uang tebusan telah dibayarkan oleh orang tua di China yang menganggap anak mereka diculik. Namun sebenarnya hal itu tidak pernah benar-benar terjadi.
“Para korban penculikan virtual yang kami temui mengalami trauma akibat peristiwa yang telah mereka alami. Mereka mengira telah menempatkan diri mereka sendiri dan orang-orang terkasih dalam bahaya nyata,” ujar Peter Thurtell, asisten komisioner kepolisian New South Wales.
Dilansir dari The New York Times, fenomena penculikan virtual merujuk pada tindak kejahatan yang terjadi di dunia maya.
Biasanya korban akan tertipu lantaran memiliki ketakutan akan keamanan orang tercinta yang jauh di negeri asing.
Para pelaku penipuan memanfaatkan keterampilan digital dan paksaan gaya lama. Setidaknya ejak 1990-an, sekelompok kriminal dari Taiwan, China, Meksiko, hingga Kuba telah menjebak banyak keluarga untuk membayar uang tebusan atas simulasi penculikan.
Aksi tersebut dapat dilancarkan karena memanfaatkan informasi pribadi yang diberikan secara sengaja atau tidak sengaja oleh para korban.
Berdasarkan keterangan pihak berwenang di Sydney, kasus kejahatan virtual seperti ini baru terjadi sejak tahun lalu.
Baca juga: Ngaku Intel Tapi Curi Motor Tukang Ojek
Terdapat panggilan telepon otomatis yang mengirimkan pesan ke ribuan telepon secara acak. Panggilan itu mengaku berasal dari layanan pemesanan.
Mereka menyebut adanya paket yang perlu dikirim. Orang-orang yang menjawab panggilan akan disambut oleh seseorang yang berbicara dalam bahasa Mandarin yang meminta informasi identitas dasar seperti nama, alamat, nomor telepon, dan data lainnya.
Data itulah yang digunakan oleh para penculik virtual untuk melancarkan aksinya. Ia akan menghubungi keluarga pelajar di China dan mengatakan bahwa pelajar tersebut sedang diculik.
Mereka akan meminta uang tebusan jika ingin pelajar itu selamat. Namun kenyataannya aksi penculikan itu sebenarnya tidak benar-benar terjadi.
“Khusus untuk pelajar China, di sini tanpa dukungan dari keluarga, mereka menjadi ketakutan ketika mendapatkan informasi seperti ini,” ujar Profesor Lennon Chang, dilansir dari The New York Times.
“Para penjahat dengan terampil memahami emosi psikologis ini dan menggunakannya sebagai cara untuk menjebak para pelajar,” sambungnya. [*/Prt]