Dilansir dari The New York Times, fenomena penculikan virtual merujuk pada tindak kejahatan yang terjadi di dunia maya.
Biasanya korban akan tertipu lantaran memiliki ketakutan akan keamanan orang tercinta yang jauh di negeri asing.
Para pelaku penipuan memanfaatkan keterampilan digital dan paksaan gaya lama. Setidaknya ejak 1990-an, sekelompok kriminal dari Taiwan, China, Meksiko, hingga Kuba telah menjebak banyak keluarga untuk membayar uang tebusan atas simulasi penculikan.
Aksi tersebut dapat dilancarkan karena memanfaatkan informasi pribadi yang diberikan secara sengaja atau tidak sengaja oleh para korban.
Berdasarkan keterangan pihak berwenang di Sydney, kasus kejahatan virtual seperti ini baru terjadi sejak tahun lalu.
Baca juga: Ngaku Intel Tapi Curi Motor Tukang Ojek
Terdapat panggilan telepon otomatis yang mengirimkan pesan ke ribuan telepon secara acak. Panggilan itu mengaku berasal dari layanan pemesanan.
Mereka menyebut adanya paket yang perlu dikirim. Orang-orang yang menjawab panggilan akan disambut oleh seseorang yang berbicara dalam bahasa Mandarin yang meminta informasi identitas dasar seperti nama, alamat, nomor telepon, dan data lainnya.
Data itulah yang digunakan oleh para penculik virtual untuk melancarkan aksinya. Ia akan menghubungi keluarga pelajar di China dan mengatakan bahwa pelajar tersebut sedang diculik.
Mereka akan meminta uang tebusan jika ingin pelajar itu selamat. Namun kenyataannya aksi penculikan itu sebenarnya tidak benar-benar terjadi.
“Khusus untuk pelajar China, di sini tanpa dukungan dari keluarga, mereka menjadi ketakutan ketika mendapatkan informasi seperti ini,” ujar Profesor Lennon Chang, dilansir dari The New York Times.
“Para penjahat dengan terampil memahami emosi psikologis ini dan menggunakannya sebagai cara untuk menjebak para pelajar,” sambungnya. [*/Prt]