Menurut salah satu penduduk Desa Makhunik yang bernama Ahmad Rahnama, malnutrisi menjadi salah satu penyebab atas apa yang terjadi di desa ini.
“Ketika saya kecil, saya bahkan tidak pernah meminum teh. Jika saya minum teh, mereka akan menertawai saya dan mengatakan saya adalah pecandu," kata Rahnama.
Tak hanya itu, kondisi geografis Desa Makhunik yang terbilang sulit juga menjadi faktor kenapa para penduduk di desa ini memiliki tubuh mini.
Baca juga: Bayi di Amerika Serikat Lahir dengan 2 Mulut
Memelihara hewan sulit dilakukan di daerah kering, bahkan untuk menanam lobak, gandum, hingga kurma pun tak bisa dilakukan di sini.
Oleh sebab itu, para penduduk desa ada yang sampai jauh-jauh menanam buah atau sayuran di sekitar pegunungan yang ada di Desa Makhunik
Para penduduk Mahkunik hanya mengkonsumsi kashk-benesh, sajian dari buah-buahan atau sayuran sederhana yang terbuat dari whey dan kacang-kacangan sejenis pistachio, serta pokhteek (whey kering dan lobak)
Selain pola makan yang buruk, keadaan terisolasi juga memaksa penduduk hanya bisa menikah di antara keluarga dekat.
Hal tersebut pula yang memungkinkan gen buruk dimiliki oleh kedua orang tua dapat menurun pada anaknya.
Meski begitu, salah satu alasan kuat kenapa desa ini disebut desa kurcaci adalah karena pada tahun 2005, peneliti berhasil menemukan mumi berukuran 25 cm di Desa Makhunik.
Akan tetapi, para peneliti berpendapat bahwa mumi tersebut merupakan mayat bayi prematur yang telah meninggal sekitar 400 tahun yang lalu.
Pada pertengahan abad ke-20, desa ini mulai tersentuh pembangunan jalan dan akses kendaraan yang memudahkan penduduk untuk mencari kebutuhan sehari-hari.
Hal ini pun membuat efek dwarfisme di desa ini secara perlahan mulai berkurang. Sebab, para penduduk bisa mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan seperti orang kebanyakan.
Pada 2016 lalu, ada sekitar 700 orang yang masih tinggal di desa ini. Desain rumahnya pun masih dipertahankan hingga sekarang.
Meski begitu, penduduk Desa Mahkunik masih terjerembab di dalam kehidupan yang sulit.
Para pemuda memilih pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, sedangkan para wanita memilih tinggal di desa untuk menenun, dan para lansia harus bergantung dengan pemerintah.
"Meski berada dalam kondisi sulit, para penduduk berharap bahwa keunikan arsitektur dari desa ini bisa memancing wisatawan dan pariwisata akan menciptakan peluang pekerjaan," kata Rahnama. [*/Son]