Menyoal Belajar Tatap Muka di Sekolah

Opini Padangkita - Kolom: Mohammad Isa Gautama.

Mohammad Isa Gautama. [Dok. Padangkita.com]

Pandemi Covid-19 menyisakan berbagai problem bagi masyarakat. Problem yang mengemuka tidak saja dalam hal bencana kesehatan. Lebih jauh, dampak domino pandemi ini menyasar berbagai sektor. Sektor ekonomi sudah pasti. Yang tidak kalah bikin kening kita berkerut adalah sektor pendidikan.

Sejak diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada 16 Maret 2020 lalu, berbagai dilema muncul menjadi beban seluruh elemen masyarakat. Mulai dari disparitas latar belakang ekonomi para siswa yang menyebabkan tidak semua siswa memiliki gawai, ketidaksiapan guru, infrastruktur jaringan yang belum merata, kekagetan siswa dan para orang tua akan beban belajar yang menggunung, sampai ke masalah efektivitas ketercapaian sasaran pembelajaran.

Kesemuanya itu menjadi beban masalah dari hari ke hari. Tak jarang timbul pula polemik. Pendidikan sebagai sektor terpenting dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia sudah semestinya diberi perhatian lebih, mengingat dampaknya akan terasa sampai ke masa depan.

Memang, masalah ini sejatinya bukan masalah negara kita saja, namun mengingat selama ini kita selalu gembar-gembor bertekad mengejar ketertinggalan kemajuan melalui pendidikan, ditambah modal faktor (bonus) demografis di mana penduduk usia sekolah dan produktiif sedang menggelembung, maka memang sudah pada galibnya kita risau jika sektor ini tiba-tiba masuk kategori salah urus.

Beranjak dari hal tersebut, tentu dibutuhkan pertimbangan sematang mungkin untuk mengambil langkah yang tepat menyiasati agar bagaimana perbaikan kualitas pendidikan kita tetap di jalur yang benar. Di sisi lain, mengingat pandemi belum berakhir (bahkan semakin memuncak) perlu pula kebijakan yang arif diambil agar tidak terjebak dalam kubang bencana yang lebih dalam.

Sebagaimana kita simak di media, sejak sepuluh harian terakhir, mengemuka polemik mengenai pemberlakuan kembali Pembelajaran Tatap Muka (selanjutnya ditulis PTM). Ini bersumber dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang memberi sinyal untuk memberlakukan PTM kembali di era kebiasaan baru. Beritanya menyulut kontroversi, pakar dari berbagai bidang ikut pula bicara, termasuk pula perwakilan orang tua dan murid.

Pada kesempatan ini mari kita urai, apa-apa saja yang mestinya menjadi pertimbangan agar kebijakan ini tidak menjadi keputusan gegabah di kemudian hari. Ini wajar, mengingat di satu sisi, kita harus bisa menghindari risiko dari pandemi yang justru belum menunjukkan tanda-tanda melandai baik nasional maupun global.

Di sisi lain, adalah sangat rasional juga untuk berharap agar kualitas pembelajaran yang pada gilirannya memengaruhi kualitas pendidikan secara umum tidak semakin menurun gara-gara PJJ yang sudah terlihat cenderung tidak efektif ketimbang PTM.

Kondisi Terkini Pandemi

Berdasarkan data termutakhir pada Minggu (29/11/2020), jumlah total akumulasi positif di Indonesia sudah menyentuh angka 534.266 orang. Ini merupakan urutan ke-22 dunia (worldometers.info). Parahnya, pada 29 November 2020 jumlah terinfeksi Covid-19 mencapai titik tertinggi (pecah rekor) yitu mencapai 6.267 orang. Ini merupakan pecah rekor kesekian kalinya di sepanjang November 2020.

Sementara dari segi positivity rate atau rasio kasus positif infeksi covid-19 di Indonesia naik menjadi 14,1%, sangat jauh di atas batas maksimal WHO, yaitu 5 persen.

Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan data Sabtu, 28 November 2020, sebesar 14%. Dari jumlah itu, ada tambahan 169 orang meninggal sehingga total menjadi 16.815 jiwa meninggal dunia. Kemudian, ada tambahan 3.810 orang yang sembuh sehingga total menjadi 445.793 dinyatakan sembuh.

Sekadar catatan tambahan, khusus sepanjang 29/11/2020, provinsi Sumatra Barat menduduki posisi keempat menyumbang tambahan jumlah positif covid-19, dengan 273 kasus baru, 135 sembuh, satu meninggal dunia. Sumbar berada di belakang Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Dengan kata lain, Sumbar terbanyak di luar Jawa dalam hal penambahan kasus covid-19 pada 29/11/2020.

Sementara, provonsi Riau menyumbang sebanyak 173 kasus baru. Total akumulatif kasus di Sumbar hingga 29/11 adalah 19.949 kasus, ‘bertanding ketat’ dengan Riau yang 19.939 kasus. Sumbar kini peringkat keenam se-Indonesia dalam jumlah akumulatif kasus covid-19, diikuti (dan saling ganti posisi hampir setiap hari) Riau di urutan ketujuh (menarik menyimak pikiran saya di media ini, https://padangkita.com/sinergi-penanganan-pandemi-sumbar-riau/).

Kesiapan Guru

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada sepanjang Agustus-September 2020, melibatkan responden 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi di Indonesia, sebanyak 60 persen guru mengalami permasalahan dalam pembelajaran yang melibatkan TIK (Teknologi-Informasi-Komputer).

Sementara itu, survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Predikt menemukan, 76 persen guru merasa khawatir kembali ke sekolah selama pandemi Covid-19.

Menurut survei tersebut, kekhawatiran terbesar pada guru adalah terjadi penularan Covid-19 pada peserta didik (44 persen) dan pada diri sendiri (37 persen), khawatir tidak bisa melakukan proses belajar mengajar dengan nyaman (29 persen). Kemudian, khawatir tidak bisa menjalankan pembelajaran tatap muka dengan efektif (24 persen), hingga khawatir keluarga di rumah tertular Covid-19 (23 persen).

Sedangkan 95 persen responden guru setuju pembelajaran jarak jauh atau kombinasi. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana, sebagian besar guru mengusulkan kombinasi antara pembelajaran jarak jauh dan tatap muka (45 persen). Sementara itu, 38 persen guru memilih pembelajaran daring sepenuhnya, 12 persen memilih pembelajaran jarak jauh secara luring, dan hanya lima persen yang memilih tatap muka seluruhnya.

Menghindari Keputusan Sembrono

Berdasarkan berbagai data yang telah dipaparkan di atas, adalah urgen bagi penentu kebijakan, baik level nasional (baca: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) maupun daerah dan lokal (Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan Guru) untuk menimbang secara masak-masak pilihan apa yang akan diambil di 2021 dalam konteks metode pembelajaran yang tepat sekaligus efektif.

Secara lebih tegas bisa dikatakan, amat mendesak Menteri dan jajarannya tidak mementingkan hasil analisis yang bisa jadi cenderung subjektif melihat persoalan dan keadaan termutakhir di lapangan. Perlu sikap yang hati-hati dan kalau perlu berdasarkan kajian dan analisis mendalam lengkap dengan data yang akurat dan mengikutkan berbagai variabel dan indikator dalam menentukan apakah metode PTM urgen diterapkan dalam waktu dekat.

Lebih jauh, perlu mengaplikasikan komunikasi partisipatif yang lintas sektoral melalui transparansi dialog dengan institusi terkait. Sebagai logika paling sederhana, sudahkah ada inisiatif Menteri Dikbud untuk berdialog secara serius dan efektif dengan Tim Satgas Covid-19 tingkat nasional dan daerah? Apakah sudah dibuka ruang komunikasi yang bisa menutupi kealpaan dalam melihat persoalan secara jernih dan objektif? Apakah Menteri sudah melihat data berdasarkan survei yang justru dilakukan oleh jajarannya juga pada Agustus-September 2020 lalu itu?

Selanjutnya, bagaimana kesiapan dari berbagai bidang yang tidak saja berkaitan kesiapan manusianya, namun juga software dan hardware-nya? Kemudian, apakah hanya disebabkan oleh ‘kegagalan’ PPJ akhirnya layak memutuskan untuk seratus persen banting stir ke PTM?

Selama ini, sudahkah melakukan evaluasi sekaligus revisi terhadap metode PPJ tanpa harus ‘memberangus’ PPJ secara total? Bagaimana dengan peningkatan kualitas penguasaan teknologi oleh para guru? Berhasilkan berbagai program penataran/peningkatan kompetensi guru yang menghabis dana tidak sedikit itu?

Jika bicara mengenai kekhawatiran akan tidak tercapainya mutu pembelajaran yang optimal, maka menarik menyimak pendapat Peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nya’ Zata Amani yang mengatakan bahwa pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak seharusnya berorientasi pada target ketuntasan kurikulum.

Penerapan PJJ harus melihat peserta didik sebagai seorang anak (fin.co.id, diakses 29/11/2020). Zata menyarankan para guru untuk mengubah paradigmanya dengan harapan mendorong kejujuran siswa, sembari melihat pemahaman anak didiknya.

Di lain pihak, jika kita simak pendapat para pakar epidemiologi selama ini, dapat disimpulkan, angka kasus selalu melonjak saat iven kerumunan di ruang publik tidak atau terlambat direm. Di awal pandemi merebak, kasus-kasus baru sering ditemukan di klaster pasar, klaster rumah ibadah.

Kemudian diikuti klaster perkantoran dan klaster insitusi pendidikan (sekolah). Begitu diterapkan PSBB atau pengetatan dari segi protokol kesehatan dan pembatasan kerumunan di ruang publik seperti di atas, angka kasus bersumber dari klaster-klaster tersebut kembali menurun.

Dibawakan kepada rencana PTM di sekolah, fenomena yang dipaparkan di atas mengingatkan kita pada pendapat epidemiolog dari University Griffith, Dicky Budiman, yang mengatakan bahwa sektor pendidikan ini mempunyai peran penting untuk berkontribusi dalam mengendalikan pandemi dengan melandaikan kurva (kompas.com, 21/11/2020).

Artinya, dari segi teori epidemiologi bisa disimpulkan bahwa potensi sekolah sebagai sumber klaster penyumbang menggelembungnya angka kasus baru sangat tinggi jika memang kondisi di kota/daerah tempat sekolah itu berada memang belum kondusif, meskipun protokol kesehatan diberlakukan secara ketat.

Ada pun untuk wilayah yang memang sudah berstatus hijau kebijakan ini barangkali dapat diuji-cobakan. Selanjutnya, di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) pun sangat layak ide Menteri ini dipertimbangkan. Dus, rencana atau pernyataan Nadiem Makarim mestinya jangan langsung dijadikan sebagai kebijakan yang sudah final, melainkan perlu diberlakukan secara bertahap, berdasarkan analisa mendalam, kondisional dan fleksibel berlandaskan perkembangan termutakhir secara kasuistik di tiap sekolah.

Dari segi pengambilan kebijakan di dunia pendidikan pun dapat kita garis bawahi, pendidikan dasar dan menengah secara implementasi masuk ke ranah otonomi kebijakan masing-masing daerah (SD-SMP diurus Kabupaten/Kota, SMA diurus Provinsi). Cuma pendidikan tinggi yang benar-benar di bawah Kemendikbud di pusat.

Akhirulkalam, kebijakan PTM untuk saat ini momentumnya belum tepat, ini bukan sekadar opini berlandaskan subjektivitas belaka. Lihatlah seluruh data terkini pandemi secara serius dan teliti dan bandingkan dengan survei persepsi masyarakat, analisis pulalah kesiapan dari seluruh sektor dan bidang, baik manusia maupun non-manusia, struktural maupun fungsional.

Sebagai sekadar himbauan yang memacu kesiapan kita bersama agar selalu mengevaluasi PJJ yang sudah berjalan nyaris setahun mungkin sah-sah saja. Namun menetapkan PTM tanpa kajian mendalam, mengabaikan komunikasi partisipatif yang intensif dan terbuka dengan seluruh elemen, dan tidak mendengar saran dari para pakar dan keluhan dari masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan adalah kesembronoan yang sangat tidak pantas dilakukan oleh Menteri sekelas Nadiem Makarim.[*]


Mohammad Isa Gautama
Pengajar Sosiologi Komunikasi dan Sosiologi Media di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)