Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi

Wiko Saputra. [Karikatur: Dokumentasi Pribadi]

Dua orang ini – Nurdin Abdullah dan Mahyeldi merupakan kepala daerah sarat prestasi. Nurdin Abdullah sukses membangun Kabupaten Bantaeng dari kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan menjadi kabupaten dengan pembangunan sosio-ekonomi yang pesat. Begitu juga Mahyeldi, lebih enam tahun menjadi nahkoda di Kota Padang, banyak perubahan yang terjadi di ibu kota Provinsi Sumatera Barat tersebut.

Prestasi itu telah mengantarkan keduanya ke jabatan yang lebih tinggi, yaitu gubernur. Nurdin Abdullah terpilih menjadi gubernur Sulawesi Selatan pada 2018. Sedangkan, Mahyeldi terpilih lewat persaingan yang ketat pada Pilkada serentak 2020. Tak bisa dipungkiri, itu hasil dari kinerja mereka sewaktu menjadi bupati dan walikota.

Tapi nasib berkata lain. Segudang prestasi yang ditorehkan oleh Nurdin Abdullah itu sirna seketika. ‘Mutiara dari timur’ itu terjerat kasus korupsi. Perbuatan lancung yang jauh dari citra yang selama ini dimilikinya.

Publik pun terheran-heran. Kepala daerah segudang prestasi dan dianggap berintegritas (peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2017) itu bisa melakukan korupsi. Bisa jadi, semakin tinggi jabatan yang diraihnya, semakin besar godaan korupsi.

Mahyeldi harus mengambil hikmah dari kasus sejawatnya ini. Secara prestasi, Mahyeldi tak kalah menterengnya dibanding Nurdin Abdullah. Secara integritas, Mahyeldi pun bisa membuktikannya, selama ia mengemban amanah menjadi Walikota Padang. Tapi, sebagai gubernur, tidak menjamin ia selamat dari korupsi. Nurdin Abdullah adalah contohnya. Karena itu, tariklah pembelajaran dari kasus Nurdin Abdullah ini.

Kali ini, saya agak menyajikan tulisan yang sedikit berat, karena bersifat analisis. Saya berharap tulisan ini dibaca oleh Mahyeldi, karena memang saya menulis ini untuk ditujukan kepadanya.

Akar Korupsi

Virus korupsi kepala daerah ini tentu ada penyebabnya. Selain, karena kerakusan oleh individu, sistem demokrasi dan politik menjadi akar utama korupsi kepala daerah. KPK dalam kajiannya tentang korupsi kepala daerah pada 2016 menyebutkan biaya politik yang mahal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi penyebab maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.

Politik uang dalam pilkada telah menjadi akar masalah menyebarnya virus korupsi dalam sistem tata kelola pemerintahan di daerah. Burhanuddin Muhtadi (2020) menyebutkan sistem pemilu dan politik di Indonesia menjadi biang kerok politik uang, yang pada akhirnya menyebabkan korupsi marak dilakukan oleh kepala daerah.

Banyak kasus korupsi kepala daerah akibat dari upaya mengembalikan biaya politik selama proses pilkada – political costs are investment. Jadi bagi cukong politik, kursi kepala daerah itu ibarat portofolio investasi.

Mereka akan menanamkan uangnya kepada para kandidat kepala daerah, dengan tujuan supaya investasi itu memberikan imbal hasil (return of investment). Sistem ini berlangsung pada setiap pilkada, sehingga kursi kepala daerah telah menjadi bagian komoditas yang diperdagangkan dan pilkada menjadi pasarnya.

Pada akhirnya, kepala daerah yang terpilih hanya menjadi simbol kekuasaan. Tapi, sebenarnya, mereka dikontrol oleh para cukong politik. Akibatnya, keputusan-keputusan penting dalam pemerintahan berpindah tangan dari birokrat ke pemilik modal, inilah akar dari state capture corruption. Helman et al (2000) menyebutkan terkooptasinya kebijakan penyelenggara negara oleh kepentingan kelompok tertentu.

Pada kasus korupsi kepala daerah, keputusan dalam penggunaan anggaran (APBD) untuk proyek tertentu harus melibatkan cukong politik. Meski, sistem pengadaan barang dan jasa sudah diregulasi sedemikian rupa, mereka – persekongkolan antara panitia lelang dan cukong politik – akan mencari celah untuk memanipulasi sistem. Meski pengadaan itu berlangsung sesuai prosedur, tapi sebenarnya, itu sudah direkayasa. Praktik ini dikendalikan secara tidak langsung oleh kepala daerah.

Dalam kasus perizinan usaha, kepala daerah sebagai kuasa pembeli izin akan menerbitkan izin usaha untuk kepentingan para cukong politik. Misalnya, izin usaha perkebunan (IUP) sawit, diterbitkan oleh kepala daerah atas intervensi pemodal politiknya. Seringkali izin-izin tersebut menyalahi prosedur. Hal ini lazim terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam (KPK, 2019).

Dari hasil pemetaan kasus korupsi kepala daerah di KPK, yang penulis lakukan menunjukkan bahwa akar korupsi itu berasal dari sistem politik elektoral yang mahal dan sarat politik uang. Siapa pun calon kepala daerah yang menang dalam pilkada harus menyediakan biaya politik yang besar. Jumlahnya antara 4,7 milyar rupiah hingga 22,9 milyar rupiah dan dari jumlah tersebut lebih kurang 50 persen berasal dari donatur (KPK, 2016).

Kepala daerah harus mengembalikan uang itu dalam bentuk kemudahan dalam mendapatkan perizinan usaha (65,7 persen), kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan (64,7 persen), keamanan dalam menjalankan bisnis (61,5%) dan kemudahan akses untuk menjabat di dalam pemerintahan atau BUMD (60,1 persen). Akhirnya, siapa pun kepala daerahnya, apakah itu tokoh antikorupsi sekali pun akan sulit mengelak dari praktik korupsi. Jika biaya partisipasi politiknya masih dikendalikan oleh cukong politik.

Reformasi memang telah mengubah banyak sistem perpolitikan di Tanah Air, menuju arah yang lebih demokratis. Tapi, agenda reformasi partai politik (parpol) masih jauh dari harapan. Parpol masih dikelola dengan sistem tata kelola yang buruk.

Padahal, dari institusi inilah arah kebijakan pembangunan digulirkan dan pengaderan pemimpin dilakukan, termasuk pengaderan kepala daerah. Karena tata kelolanya buruk, maka kebijakan dan pengaderan itu pun jadi embrio terjadinya korupsi. Di sana juga mutasi-mutasi virus korupsi itu berkembang.

Pesan untuk Mahyeldi

Mahyeldi adalah produk politik, yang dilahirkan dari rahim parpol. Imunitasnya harus kuat, karena setiap saat virus korupsi itu siap menginfeksinya. Mahyeldi saat ini berada pada wilayah yang tingkat penyebaran virus korupsinya tinggi. Bagaimana ia bisa tidak terinfeksi?

Pertama, proses transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBD harus diperkuat. Ada tiga pihak yang berbahaya bagi Mahyeldi, yaitu anggota DPRD, birokrat dan tim suksesnya. Mereka ini yang menekan kepala daerah untuk menyelewengkan anggaran.

Biasanya sudah ada pembagian proyek sebelum APBD ditetapkan. Itu secara detail dan teknisnya susah dikontrol oleh gubernur. Karena itu, untuk menghindarinya, Mahyeldi harus membangun sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.

Dari mana memulainya? Membuka akses publik terhadap program dan kegiatan yang dibiayai oleh APBD. Semuanya harus dibuka dan bisa diakses oleh publik. Sehingga, publik bisa secara langsung melakukan proses pengawasan terhadap APBD. Cara seperti ini sudah dilakukan oleh Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Mahyeldi perlu membangun sistem tersebut di Sumatera Barat.

Selain itu, setiap proses pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif harus bisa diketahui oleh publik. Biasanya celah korupsi itu ada dalam pembahasan tersebut. Mahyeldi bisa membangun portal khusus yang menyiarkan secara langsung pembahasan anggaran tersebut. Sehingga, bisa dipantau dan celah terjadinya transaksi korupsi di pembahasan anggaran bisa diminimalkan.

Kedua, membangun kerja sama dengan penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Terutama menyangkut proyek besar, sebaiknya Mahyeldi meminta pertimbangan dari penegak hukum.

Saya sarankan, kemitraan strategis dengan KPK perlu diperkuat lewat program koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi yang dilakukan KPK di Sumatera Barat. Ini bisa menjadi wadah bagi Mahyeldi untuk menjalankan proyek besar yang bebas dari korupsi.

Ketiga, Mahyeldi harus bisa membatasi diri untuk ketemu dengan para tim sukses dan pengusaha yang selalu meminta-minta proyek. Memang sulit, karena orang-orang tersebut telah membantu dalam memenangkannya.

Tapi, ini jebakan paling besar bagi kepala daerah dalam melakukan perbuatan korupsi. Nurdin Abdullah terjebak dalam hal ini. Ia sulit membatasi diri, sehingga terjebak di sana. Sampai ia memberikan fasilitas bagi tim suksesnya dan pengusaha yang juga sahabatnya untuk mendapatkan proyek. Saya yakin, orang-orang seperti itu akan banyak di sekeliling Mahyeldi. Maka hati-hatilah dalam hal ini.

Terakhir, ini pesan yang paling penting bagi Mahyeldi. Bahwa semakin tinggi pohon, semakin kencang hembusan angin menimpanya. Jika akarnya tidak kuat, maka ia akan tumbang. Mahyeldi harus memperkuat akarnya. Apa itu? Memperkuat karakter dalam dirinya bahwa perbuatan korupsi itu jauh dari kepribadiannya. Jika karakter itu telah terbentuk kuat, berapa pun kuatnya tiup angin, pohon itu akan tetap kokoh berdiri. [*]


Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang

Baca Juga

Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)
Kolom: Nurul Firmansyah
Nagari dan Keadilan Agraria