Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa

Di Instagram muncul akun bernama @dokufes, akronim Dokumenter Film Festival. Akun itu semacam akun penyelenggara acara karena memuat informasi tentang acaranya. Informasi itu dituangkan dalam poster yang memuat informasi utama, yakni nama acara: DOKUMENTER FILM FESTIVAL 2021. Di bawah nama acara ada slogan YOUR IDENTITY, YOUR GLORY. Di atas nama acara tertulis informasi COMING SOON.... Di bagian paling bawah poster itu ada beberapa agenda kegiatan, yakni Join to Roadshow, Entry to Workshop, Submission, dan Enjoy the Award. Kemudian, muncul informasi lain yang bertuliskan MENUJU ROADSHOW 25-28 Maret 2021. Kegiatan itu ternyata didukung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat karena di sudut kiri atas poster itu ada lambang dan nama dinas yang dimaksud, yang di poster itu ditulis EMPOWERED BY DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI SUMATERA BARAT. Saya ingin mengomentari penggunaan bahasa dan kata-kata dalam poster itu.

Pertama, nama acaranya tidak jelas, antara memakai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kalau disebut memakai bahasa Inggris, nama acaranya mengandung kata bahasa Indonesia, yakni dokumenter. Dokumenter tidak bisa disebut kata bahasa Inggris karena sudah diserap menjadi bahasa Indonesia dengan penyesuaian bunyi. Namun, jika tidak disebut bahasa Inggris, dua kata lainnya ialah kata bahasa Inggris, yakni film dan festival. Kedua kata itu memang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Namun, dalam frasa Dokumenter Film Festival kata film dan festival merupakan kata bahasa Inggris karena berada dalam struktur frasa bahasa Inggris, yakni struktur menerangkan-diterangkan. Sementara itu, bahasa Indonesia pada umumnya memakai struktur diterangkan-menerangkan (DM), istilah yang diciptakan oleh Sutan Takdir Alisahbana dalam Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1948). Menurut struktur frasa bahasa Indonesia, nama acara tersebut seharusnya Festival Film Dokumenter. Sementara itu, jika mau memakai bahasa Inggris, panitia acara ini seharusnya menamai acaranya dengan Documentary Film Festival. Dengan menamai acaranya dengan Dokumenter Film Festival, panitia acara ini hanya memperlihatkan kecerobohannya dalam berbahasa. Ini memalukan: memakai bahasa Inggris, tetapi salah. Perilaku memalukan ini sama dengan perilaku orang-orang di banyak tempat yang memakai kata in di gerbang masuk dan out di gerbang keluar. Mereka pikir in itu ‘masuk’, sedangkan out itu ‘keluar’. Padahal, yang benar ialah entry dan exit. Itulah akibatnya kalau keinginan memakai bahasa asing lebih besar daripada pengetahuan akan bahasa tersebut.

Yang lebih lucu ialah penjelasan di bagian paling bawah poster yang menjelaskan acara tersebut: Dokufes adalah Dokumenter Festival Film SUMBAR untuk jenis film dokumenter pendek. Dokufes bertujuan untuk pengembangan dokumenter sebagai medium ekspresi dan ekosistem pengetahuan melalui eksebisi, edukasi dan pengarsipan budaya—deskripsi ini kemudian dihapus. Coba perhatikan frasa Dokumenter Festival Film SUMBAR dalam deskripsi itu. Awalnya nama acaranya Dokumenter Film Festival, yang berstruktur bahasa Inggris meski mengandung satu kata bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam deskripsi ditulis Dokumenter Festival Film SUMBAR, frasa yang kacau. Struktur frasanya bahasa Indonesia, tetapi terbalik-balik, yang seharusnya ditulis Festival Film Dokumenter Sumbar.

Kedua, acara tersebut ditujukan untuk siapa? Siapa peserta dan penonton yang disasar? Kalau peserta dan penonton yang disasar orang Indonesia, mengapa hampir semua kata pada poster itu kata bahasa Inggris? Apa keuntungan memakai bahasa Inggris jika sasarannya orang dalam negeri? Itu memperlihatkan panitia acaranya memiliki sikap yang buruk terhadap bahasa Indonesia. Sementara itu, jika acara tersebut dibuat untuk peserta dan penonton luar negeri dan dalam negeri, dengan kata lain apabila acara tersebut berskala internasional, mengapa ada kata menuju, yakni menuju roadshow, pada poster itu? Apa tujuan panitia menggunakan campur kode seperti itu? Kalau panitianya mau pakai bahasa Inggris, pakai saja kosakata bahasa Inggris, jangan dicampur aduk dengan bahasa lain. Sebelum memilih bahasa yang akan dipakai, ingatlah bahwa berbahasa merupakan tindakan yang punya sasaran. Sesuaikanlah pilihan bahasa dan diksi dengan sasaran dari tindakan berbahasa tersebut.

Ketiga, barangkali panitia acara ini merencanakan acara tersebut menjadi acara berskala internasional kelak jika acara tersebut rutin diselenggarakan. Mungkin mereka memulai penginternasionalan acara itu dari memakai bahasa internasional. Hal itu bisa dimaklumi meskipun nama festival film berskala internasional tak harus memakai bahasa Inggris, misalnya Festival Film Dokumenter, festival yang diselenggarakan di Yogyakarta tiap tahun sejak 2002, dan Festival Sinema Australia Indonesia. Jika maksudnya memang begitu, nama Dokumenter Film Festival hanya akan menginternasionalkan kecerobohan berbahasa panitia acara tersebut. Nama Dokumenter Film Festival akan menjadi bahan cemooh orang karena kecerobohan panitianya dalam menggunakan bahasa dan kata. Lagi pula, panitia Dokumenter Film Festival ini baru akan mengadakan satu festival sudah memakai bahasa Inggris sebagai nama acaranya, yang acaranya belum tentu menginternasional atau rutin diselenggarakan sehingga nanti menginternasional.

Sebelum saya mengomentari nama Dokumenter Film Festival, sudah ada orang yang mengomentari nama itu di kolom komentar akun Instagram Dokufes. Akun @adiosman, misalnya bertanya, “Maksudnya mau pakai tata bahasa inggris? Kalau iya kok bukan documentary? Kalau bahasa indo wajarnya Festival Film Dokumenter. Atau mau bergelut dengan bahasa?” Dalam komentar lain akun @adiosman mengatakan, “Kalau dari bahasa saja sudah tidak diperdulikan bagaimana yang lain ya...” Akun @dokufes lalu membalas komentar tersebut, “iya kak , kalau bersedia submit aja kak . Kami tunggu karyanya, Dan semoga segera ada festival bahasa ya kak.” Akun @kanvaskata.books berusaha menjelaskan maksud komentar akun @adiosman tersebut, “Maksud komentar bung Adi adalah, jika menamakan sebuah acara, pilih dengan tegas ingin menggunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia. Termasuk struktur kebahasaan dan juga diksinya. Jika ingin Bahasa Indonesia, maka judul yang benar adalah “Festival Film Dokumenter”, tapi jika ingin Bahasa Inggris yang benar adalah “Documentary Film Festival”. Tidak bisa pilih struktur Bahasa Inggris tapi diksi bahasa Indonesia. Sehingga, jika secara pemilihan judul saja tidak becus dan tidak serius, bagaimana nanti pelaksanaan acaranya.” Komentar tersebut dibalas oleh akun @dokufes dengan alasan, “karna kita memang senang bergelut dengan bahasa kak. (Punya style), biar gaya macam klean juga. Becus atau tidak nya yuk mari kita sama sama support aja . Biar generasi nyinyir dan kebanyakan bahasa bisa buktikan ke kita lewat karya aja. Makasi apresiasi dan komentar nya kaka kaka jago sekalian.”

Dilihat dari jawaban pengelola akun @dokufes itu, panitianya membuat nama Dokumenter Film Festival itu, yang mengandung frasa campur aduk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, untuk tujuan bergaya. Jadi, mereka bergaya menamai acara dengan memakai bahasa campur aduk, yang sama sekali tidak menarik, justru terlihat ceroboh sehingga mengundang cemooh orang.

Omong-omong, mengapa Dinas Kebudayaan Sumbar mau mendukung acara yang namanya memakai bahasa yang tidak jelas begitu?


Holy Adib
Esais Bahasa

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar