Antivaksin di Sumbar

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi

Wiko Saputra. [Karikatur: Dokumentasi Pribadi]

Antivaksin itu alibinya politik atau bukan. Jangan-jangan bukan hanya vaksin Covid-19 yang ditolak. Tapi semua program yang beratribut Jokowi juga ditolak di Sumbar. Terkecuali ‘Bansos Jokowi’, masih banyak diperebutkan oleh masyarakat di sana.

Tapi gerakan antivaksin Covid-19 ini tak hanya di Sumbar. Bahkan, di negara yang peradaban sudah maju pun, seperti Amerika Serikat dan Inggris, gerakan ini juga masif.

Ada kesamaan alasan: rendahnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan, kesehatan, dan pemerintahan. Alasan terakhirnya ini ternyata signifikan mempengaruhinya.

Saya sebenarnya tak terkejut dengan penolakan vaksin Covid-19 di Sumbar. Ketika program vaksinasi ini digulirkan, saya banyak bertanya kepada dunsanak di Sumbar. Hampir semuanya menjawab menolak divaksin.

Ketika Harian Kompas merilis hasil surveinya, hanya 7,2 persen masyarakat Sumbar bersedia divaksin dan 44,3 persen bersedia divaksin dengan syarat, saya hanya tersenyum kecut. Angka itu jauh di bawah angka nasional, yaitu 26,8 persen dan 49,2 persen.

Ini anomali. Jika ilmu pengetahuan jadi alat ukur seseorang bersedia divaksin, masyarakat Sumbar itu justru lebih terdidik dibanding masyarakat di provinsi lain. Jika kepercayaan terhadap kesehatan jadi acuannya, akses masyarakat Sumbar terhadap pelayanan kesehatan itu jauh di atas provinsi lain.

Bahkan, para epidemiolog dan ahli vaksin di Indonesia, yang sering memberikan masukan kepada pemerintah itu, sebagian besar orang Minang. Sulit secara logika mengurai gerakan antivaksin ini di Sumbar.

Apakah ada unsur agama? Ini isu yang sudah lama. Banyak kalangan konservatif beragama yang dari dulu getol menolak vaksin. Tapi, itu tak hanya terjadi di Sumbar, tapi di seluruh Nusantara. Isu kehalalan vaksin jadi perdebatan, meski sudah ada sertifikat halal dari MUI. Saya pun berseloroh, bahkan MUI sekali pun mereka tak percaya.

Gerakan konservatif beragama ini memang lagi tumbuh mekar di Ranah Minang. Saya pun pernah terkejut, setelah Pilpres 2014, saya pulang kampung, banyak teman-teman yang dulunya ‘sekuler’ (ini istilah saya bikin sendiri), berubah sangat alim: berjenggot, celana cingkrang, bersiwak, bahkan berjubah.

Saya pun bersyukur, mereka berubah menjadi lebih agamis. Tapi, saya sedih, kehilangan teman diskusi seperti dulu: tertawa riang sembari bermain gitar, ditemani kopi panas dan singkong rebus. Kali ini yang mereka diskusikan soal pemimpin kafir, jihad dan negara khilafah.

Sedikit dibantah, langsung mereka reaktif, bilang saya telah salah jalan (sesat). Dibantah lagi, langsung bilang kafir. Saya akhirnya menyerah untuk tidak berdiskusi lagi. Fenomena ini terus berkembang dan memuncak ketika munculnya gerakan 212.

Saya tidak punya kompetensi meneliti ini. Saya berharap, peneliti-peneliti yang memiliki kompetensi di bidang ini bisa melakukan riset mendalam terkait perubahan pola beragama di kalangan masyarakat Sumbar paska Pilpres 2014 dan gerakan 212. Penelitian ini penting agar kita bisa memahami sebenarnya apa yang sedang terjadi di bumi Ranah Minang saat ini.

Kita kembali ke vaksin. Saya berharap edukasi terhadap vaksin Covid-19 ini bisa ditingkatkan di Sumbar. Karena tak mungkin kekebalan komunal (herd immunity) bisa dicapai, jika kurang dari 70 persen masyarakat divaksin. Meski perlu ditekankan, vaksin bukanlah satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran virus ini.

Oleh karena itu, perlu keterlibatan tokoh kunci yang memiliki massa untuk memberikan edukasi. Salah satunya, Gubernur Sumbar terpilih Mahyeldi. Beliau punya massa yang besar dan punya pengaruh di kalangan masyarakat Sumbar. Beliau harus turun langsung memberikan sosialisasi kepada masyarakat.

Begitu juga tokoh-tokoh agama. Saya berharap ada pendekatan khusus kepada tokoh-tokoh agama untuk edukasi vaksin. Meski sebagian besar mereka juga masuk gerakan antivaksin, tapi mereka harus diedukasi. Jika berhasil mengedukasi tokoh agama, sampai mereka mau divaksin, maka para jemaahnya dengan sendirinya akan mengikuti program vaksinasi ini.

Peranan para perantau juga penting untuk mengedukasi dunsanaknya yang di kampung. Minimal pada level keluarga besarnya bisa diyakinkan bahwa vaksin ini baik untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Jika ini bisa dilakukan, sembari pemerintah menyapu semua informasi hoaks terkait vaksin di media sosial. Saya masih punya keyakinan, masyarakat Sumbar masih mau mendukung program vaksinasi ini.

Tapi, saya punya syarat tertentu, jangan dilabeli ‘Vaksin Jokowi’, pasti ditolak. Cukup bansos aja dilabeli ‘Bansos Jokowi’, vaksin jangan! [*]


Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)
Kolom: Nurul Firmansyah
Nagari dan Keadilan Agraria