Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)

Opini Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Dokumentasi Pribadi]

Teman saya akan pergi ke puskesmas untuk mengikuti tes swab. Ketika saya tanya tes swab yang mana, ia tidak tahu. Saya lalu menerangkan kepadanya bahwa ada tiga macam tes swab. Setelah mendengar penjelasan saya, ia baru tahu bahwa ada tiga macam tes swab. Jika pengetahuan Anda seperti teman saya itu, itu bukan kesalahan Anda sepenuhnya. Media massa berperan membuat Anda bingung akan frasa tes swab. Hal itu terjadi karena banyak media memakai frasa tes swab secara serampangan dan tidak spesifik. Dalam artikel ini saya mengambil sejumlah contoh pemakaian frasa tes swab di media dalam jaringan (daring/online).

Lihatlah pemakaian frasa tes swab pada berita berikut ini: “Bupati Pangandaran Positif Corona, 11 Kontak Erat Negatif Hasil Tes Swab” (Detik.com, 25 Januari 2021.) Itu merupakan berita tentang 15 orang yang berkontak erat dengan Bupati Pangandaran yang positif mengidap Covid-19. Karena berkontak erat dengan orang yang positif, mereka menjalani sebuah tes untuk mengetahui mereka positif Covid-19 atau negatif. Setelah mengikut tes itu, sebelas orang dinyatakan negatif, sedangkan empat orang lainnya menunggu hasil. Sebagai pembaca, saya mencari tahu tes swab apa yang diberlakukan terhadap kelima belas orang tersebut. Hingga berita itu berakhir, saya tak menemukan informasi tes swab yang digunakan untuk memeriksa kelima belas orang itu. Saya kecewa lantaran tak mendapatkan informasi yang lengkap dan menyesal membuang kuota internet untuk mengklik berita itu.

Kekecewaan yang sama saya alami setelah membaca berita “Cegah Penyebaran Covid-19 di Pengungsian, Menko PMK: Pengungsi Harus Tes Swab” (Kompas.com, 22 Januari 2021). Berita ini menginformasikan keinginan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, untuk memberlakukan tes swab terhadap pengungsi di posko pengungsian korban banjir Kalimantan Selatan. Dalam berita itu tidak disebutkan jenis tes swabnya sehingga pembaca tidak tahu pihak yang berwenang akan memberlakukan tes swab yang mana kepada pengungsi. Dalam berita itu juga disebutkan keinginan Muhadjir untuk memberlakukan rapid test terhadap tamu yang mengunjungi posko itu. Saya juga tidak memperoleh informasi tentang rapid test yang akan diberlakukan itu dalam isi berita, padahal ada dua jenis tes rapid.

Seperti yang saya sebutkan tadi bahwa ada tiga jenis tes swab, yakni tes real time-polymerase chain reaction (RT-PCR), tes antigen, dan tes cepat molekuler (TCM). Adapun kedua tes rapid ialah tes antibodi dan tes antigen. Tes antigen pada tes swab dan tes antigen pada tes rapid itu ialah tes yang sama. Pada tes RT-PCR, TCM, dan tes antigen, sampel pasien diambil dengan metode swab (usap). Caranya ialah memasukkan alat seperti kapas lidi khusus ke hidung atau tenggorokan untuk mengambil sampel dahak, lendir, atau cairan yang berada di antara hidung dan tenggorokan. Karena itu, sebutan tes swab selain tidak spesifik, juga tidak tepat karena swab itu bukan nama tes, melainkan teknik pengambilan sampel. Namun, karena bahasa adalah kesepakatan, dan publik sudah “bersepakat” menyebutnya tes swab, ya sudahlah. Sementara itu, pada tes antibodi, sampel yang diambil ialah darah, yang biasanya diambil dari ujung jari. Tes antibodi dan tes antigen disebut tes rapid karena hasilnya cepat keluar. Untuk mengetahui positif terinfeksi SARS-CoV-2 atau mengidap Covid-19, seseorang bisa mengikuti tes RT-PCR, tes antigen, dan TCM. TCM khusus untuk orang yang mengalami gejala klinis seperti gejala klinis yang dialami pengidap Covid-19. Adapun tes antibodi tidak dapat mengetahui seseorang positif atau negatif mengidap Covid-19 karena hasil tes ini ialah reaktif atau nonreaktif, bukan positif atau negatif.

Karena ada tiga tes swab dan dua tes rapid, media seharusnya menyebut dengan tepat nama tes yang dipakai jika tes yang diberlakukan hanya satu, misalnya tes RT-PCR saja atau tes antigen saja jika itu tes swab, atau tes antigen atau tes antibodi saja apabila itu tes rapid. Mengapa begitu? Salah satu ciri bahasa jurnalistik ialah spesifik. Wartawan harus menggunakan kata yang spesifik agar informasi cepat dipahami oleh pembaca dan pesan diterima dengan jelas oleh pembaca. Untuk memakai kata yang spesifik, pewarta mesti memakai hiponim (kata yang maknanya lebih spesifik), dan menghindari hipernim (kata yang maknanya lebih umum). Dalam hal ini, tes swab ialah hipernim dari tes RT-PCR, TCM, dan tes antigen; tes rapid ialah hipernim dari tes antibodi dan tes antigen. Sementara itu, tes RT-PCR, TCM, dan tes antigen ialah hiponim dari tes swab; tes antibodi dan tes antigen ialah hiponim dari tes rapid.

Kalau tidak spesifik menggunakan kata dalam konteks yang mengharuskan memakai kata yang spesifik, jurnalis dapat dikatakan menyembunyikan informasi seperti dua berita yang saya contohkan tadi. Padahal, tugas wartawan ialah menyampaikan informasi, bukan menutupinya. Sementara itu, jika wartawan tidak spesifik menggunakan kata pada awal berita, lalu memakai kata yang spesifik di tengah atau di akhir berita, itu berarti wartawan memperlambat pembaca mendapatkan informasi yang jelas. Kata yang spesifik seharusnya digunakan sejak awal berita itu ditulis.

Meskipun begitu, frasa tes swab ada gunanya dipakai sebagai judul berita untuk menyebut beberapa tes seperti dalam berita ini. “Polda Metro Tangkap 8 Pemalsu Surat Keterangan Hasil Tes Swab” (Tirto.id, 25 Januari 2021). Dalam berita ini ditulis bahwa tes swab yang dimaksud itu ialah tes antigen dan RT-PCR. Dalam konteks ini frasa tes swab memang hanya merujuk tes antigen dan RT-PCR karena konteksnya tes yang digunakan oleh calon penumpang sebagai syarat naik pesawat. TCM memang tidak dipakai sebagai syarat naik pesawat. Apabila tidak ditulis begitu, judul berita menjadi panjang. Karena itu, pemakaian frasa tes swab seperti ini dapat dimaklumi. Lagi pula, di dalam isi beritanya dijelaskan yang dimaksud tes swab itu.

Kembali pada soal kebingungan atau ketidaktahuan sejumlah orang akan frasa tes swab, hal itu barangkali terjadi karena media menyamakan tes swab dengan tes PCR. Jika Anda hanya tahu bahwa tes swab itu tes PCR, berarti Anda kurang baca dan menjadi korban berita seperti berita berikut ini. Dalam berita “Polisi Sebut Jumlah Pelanggan Pemalsu Swab Test di Soetta Ratusan Orang” (Detik.com, 19 Januari 2021) frasa tes swab direduksi menjadi hanya tes PCR. Hal itu tergambar dalam paragraf pertama berita ini: “Polresta Bandara Soekarno-Hatta menangkap 15 orang pelaku pemalsuan surat swab PCR yang digunakan untuk syarat penerbangan. Polisi menyebut pelanggan dari sindikat pemalsu surat swab PCR ini mencapai ratusan orang”. Berita berikut ini juga menyamakan tes swab dengan tes RT-PCR karena dalam beritanya tidak disebut tes swab lain kecuali RT-PCR: “Hari ini hingga 11 Januari, tes swab COVID-19 di RSUI ada harga khusus” (Antaranews.com, 9 Januari 2021) dan “Hasil Tes Swab, Wakil Bupati Bantul dan Istri Positif Corona” (Kumparan.com, 26 Januari 2021).

Oleh karena tes RT-PCR sudah pasti tes swab, tidak perlu ditulis tes swab PCR. Untuk apa menulis kata swab pada tes RT-PCR? Salah satu sifat bahasa jurnalistik ialah hemat kata, apalagi pada judul berita, yang dibatasi oleh ruang. Berikut ini contoh media-media yang menulis tes swab PCR pada judul: “Pemerintah Buka Opsi Gratiskan Tes Swab PCR” (CNNIndonesia.com, 7 Januari 2021),  “Tes Swab PCR Murah di RSUI, Cuma Rp 600 Ribu!” (CNBCIndonesia.com, 9 Januari 2021), “Selebgram R Ditangkap Polisi di Bali, Berhubungan dengan Surat Hasil Tes Swab PCR Palsu” (Tribunnews.com, 6 Januari 2021), “Viral Jual Hasil Tes Swab PCR Palsu, Satgas Covid-19: Pelaku Bisa Dipidana!” (Suara.com, 30 Desember 2020), dan “Menkes Buka Opsi Gratiskan Tes Swab PCR untuk Kebutuhan Pelacakan” (IDNTimes.com, 7 Januari 2021). Di samping itu banyak juga media yang hanya menulis tes PCR tanpa kata swab, antara lain, “Alat Tes PCR Rusak, Pemkot Tangsel Masih Tunggu Bantuan Pusat” (Kompas.com, 23 Januari 2021), “MFA Bikin Surat Hasil Tes PCR Palsu, Ini Pernyataan Resmi Ukrida” (Suara.com, 9 Januari 2021), “Optimalkan Tes RT-PCR, Pemprov DKI Bangun Jejaring Laboratorium” (Tempo.co, 20 Mei 2020), “Tes RT-PCR Berdampak Kecil Saat Libur Nataru, Ini Buktinya” (Detik.com, 24 Desember 2020), dan “LIPI Ungkap Faktor Akurasi Tes PCR Covid-19 Bisa Berbeda” (CNNIndonesia.com, 26 Mei 2020).

Demikian juga dengan tes antigen. Tes antigen sudah pasti tes swab dan tes rapid sehingga tak perlu ditulis tes swab antigen atau tes rapid antigen, apalagi tes rapid swab antigen. Karena tes antigen sudah pasti tes swab, judul berita ini menjadi lucu: “Jadi Syarat Perjalanan, Ini Perbedaan Rapid Antigen dan SWAB” (Detik.com, 23 Januari 2021). Dengan membedakan sebutan tes antigen dengan tes swab, judul berita itu berarti menyatakan bahwa tes antigen tidak menggunakan teknik swab. Sudah jelas dalam tes antigen itu digunakan teknik swab, tetapi judul berita itu malah mengontraskannya dengan tes swab, yang dalam berita itu direduksi menjadi tes PCR.

Tes Swab, Swab Test, Tes Rapid, Rapid Test

Kata-kata asing yang digunakan oleh pers Indonesia sedapat mungkin diserap ke dalam bahasa Indonesia atau dipadankan. Sejak awal pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, frasa swab test telah diserap menjadi tes swab atau dipadankan tes usap. Kata swab diserap langsung karena sesuai dengan kaidah bunyi bahasa Indonesia. Adapun kata test sudah lama diserap menjadi tes. Jadi, penyerapan swab test menjadi tes swab hanya menyesuaikan struktur menerangkan-diterangkan, yang digunakan bahasa Inggris, dengan struktur diterangkan-menerangkan, yang dipakai bahasa Indonesia. Namun, banyak media yang masih menggunakan frasa swab test, bahkan tanpa memiringkan tulisannya, seperti yang terdapat dalam berita-berita ini: “AirAsia Sediakan PCR Swab Test Tarif Rp700.000, Ini Lokasinya” (Bisnis.com, 4 Januari 2021). “Guru Pesantren Al Iman Tolak Swab Test Usai Kontak dengan Pasien Covid-19” (Merdeka.com, 24 Januari 2021), “IRRA Jual 1,7 Juta Swab Test Antigen Hanya Dalam 3 Pekan” (CNBCIndonesia.com, 20 Januari 2021), “Tak Ikut Swab Test karena sedang di Sawah, Atat Divonis Positif Covid-19” (Suara.com, 25 Januari 2021), dan “Nasib WNI dari Luar Negeri Bila Swab Test di Indonesia Malah Positif COVID-19” (Liputan6.com, 29 Desember 2020).

Karena swab test diserap menjadi tes swab melalui penyesuaian struktur frasa, lucu jika ditulis swab tes seperti yang terdapat pada judul berita ini: “Bupati Bangkalan Abdul Latif Swab Tes Covid-19, Bagaimana Hasilnya?” (Liputan6.com, 7 Januari 2021). Sementara itu, pada judul berita ini, struktur frasanya sudah diterangkan-menerangkan, tetapi katanya masih kata bahasa Inggris: “Satgas Covid-19 Unhas Gelar Test Swab PCR untuk Dosen, Tendik dan Mahasiswa” (Tribun-Timur.com, 26 Januari 2021)

Begitu juga dengan frasa rapid test, yang diserap menjadi tes rapid atau dipadankan menjadi tes usap. Karena itu, frasa rapid tes seperti yang terdapat pada judul-judul berita berikut ini tidak layak ditiru sebab yang diindonesiakan cuma katanya, bukan strukturnya: “1.047 ASN dan Wartawan Rapid Tes, 10 Positif Covid-19” (Gatra.com, 23 Januari 2021), “Berlakukan PPKM, Masuk Ponorogo Wajib Rapid Tes Antigen” (Liputan6.com, 23 Januari 2021), “Jual Surat Rapid Tes Antigen Palsu, Mahasiswa di Jember Diringkus Polisi” (Merdeka.com, 11 Januari 2021), “Dinkes Sulbar kecewa banyak pengungsi tolak rapid tes COVID-19” (Antaranews.com, 23 Januari 2021), dan “Tak Bisa Tunjukkan Hasil Rapid Tes Antigen, 1300-an Kendaraan di Puncak Bogor Diputar Balik” (Kompas.com, 2 Januari 2021).

Perihal pemadanan rapid test dengan tes cepat, saya kurang setuju karena tes cepat molekuler juga tes cepat. Namun, yang dimaksud tes rapid itu sebenarnya tes cepat yang instan. Hasil tes antibodi dan tes antigen keluar dalam waktu kurang dari setengah jam, sedangkan hasil tes cepat molekuler keluar dalam waktu sekitar dua jam. Karena itu, saya mengusulkan tes instan sebagai padanan rapid test di samping tes rapid. Tentu saja usulan ini boleh ditolak kalau tidak cocok, dan boleh dipakai kalau dirasa pas. [*]


Holy Adib
Wartawan

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat