Nagari dan Keadilan Agraria

Kolom: Nurul Firmansyah

Nurul Firmansyah. [Foto: Dokumentasi Penulis]

Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) pernah menerbitkan data statistik tentang ketimpangan kepemilikan lahan. BPS menyebutkan ketimpangan kepemilikan lahan itu telah mencapai 0,68. Data ini bermakna bahwa 1 persen dari jumlah populasi rakyat Indonesia telah menguasai 68% sumber daya alam [lahan].

Kelompok paling terdampak dari ketimpangan agraria ini adalah masyarakat pedesaan dan adat yang basis kehidupannya adalah agraris. Dalam konteks ini, mereka telah mengalami pemiskinan secara sistematis akibat kondisi struktural yang menopang terjadinya ketimpangan agraria tersebut.

Persoalan struktural agraria bisa kita lihat dari bagaimana hukum mengakomodasi penerbitan konsesi-konsesi sumber daya alam skala besar untuk segelintir (elit) pemodal, namun sangat lemah melindungi hak masyarakat adat.

Jika ditelisik lebih jauh, persoalan ketimpangan agraria terkait dengan basis paradigma pengelolaan sumber daya agraria yang berorientasi pada [padat] modal, esktraktif dan individualistik. Dalam konteks ini, sumber agraria menjadi ruang yang diperebutkan oleh  modal dengan menyingkirkan aspek sosialnya. Akibatnya, siapa yang kuat modal adalah penguasa atas sumber-sumber agraria.

Kontras dengan itu, tradisi atau adat menjadi basis paradigma pengelolaan sumber daya agraria oleh hampir seluruh masyarakat pedesaan Indonesia. Paradigma ini mengutamakan jaminan keadilan distributif warga [anggota]. Adat mengutamakan tanah dan sumber daya agraria lebih berfungsi sosial. Kerangka paradigma ini membentuk model ekonomi masyarakat adat dan atau masyarakat pedesaan itu.

Tulisan ini akan mengambil satu contoh model penguasaan agraria berbasis adat ini, dengan melihat struktur ekonomi komunitas yang menopang model itu terus berlangsung. Contoh tersebut adalah model Nagari.

Berbasis (Ekonomi) Keluarga

Model pengelolaan sumber daya agraria yang menjadi basis ekonomi Nagari adalah ekonomi keluarga. Keluarga dalam konteks ini adalah keluarga luas (extended family), yang dalam konsep adat Minangkabau (nagari) disebut dengan kaum/suku. Dalam konsep ini, model ekonomi ditopang oleh sistem pewarisan tanah adat.

Pewarisan tanah adat mengutamakan keberlangsungan kekuasaan kaum/suku secara kolektif dengan membatasi penguasaan tanah dan sumber daya alam oleh individu secara mutlak. Dengan pewarisan adat yang matrilineal (menurut garis ibu), maka akses perempuan dijamin secara ketat.

Sistem ini menjadikan seorang laki-laki dewasa (laki-laki menikah) dibebankan memenuhi kebutuhan keluarga batih (istri dan anak-anak). Dia bisa memanfaatkan tanah sawah dan hutan (agroforest) sebatas hak guna, dengan kepemilikan tetap pada keluarga istri, atau dari keluarga ibunya.

Dalam konteks ini, laki-laki dewasa hanya bisa memanfaatkan hasil dari lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih, tetapi tidak untuk dimiliki secara mutlak. Begitu juga halnya dengan istri pewaris tanah yang hanya bisa menyediakan lahan untuk dikelola keluarga batihnya, namun dibatasi untuk dimiliki secara mutlak pula.

Graves (2007) menyebutkan model pemanfaatan tanah kaum/suku atau tanah pusako adalah mekanisme yang memastikan tanah-tanah menjadi semacam “dana jaminan bersama” (trust fund). Pada titik ini, kepemilikan individual mutlak tidak dimungkinkan terjadi sehingga juga menyulitkan anggota kaum/suku untuk memperjualkan tanah-tanah tersebut.

Pada sisi lain, sistem ini melindungi semua anggota kaum/suku dari kemiskinan fatal, yang secara bersamaan juga menyulitkan pemilikan tanah-tanah secara pribadi yang memungkinkan seseorang menjadi kaya mendadak.

Orientasi Masa Depan

Pada tingkat struktur sosial lebih tinggi dari kaum/suku adalah Nagari. Nagari sendiri memiliki tanah ulayat nagari. Tanah ulayat nagari semacam trust fund bagi seluruh kaum/suku yang ada di nagari. Secara adat, tanah ulayat nagari ini utamanya diperuntukkan bagi perluasan lahan pertanian dan pemukiman kaum/suku. Oleh sebab itu, tanah ulayat nagari umumnya berupa hutan.

Meskipun sebagian besar tanah ulayat nagari berupa hutan, namun adat tidak mengenal pemanfaatan khusus hasil hutan (terutama kayu) sebagai mata pencarian utama. Adat memandang bahwa lahan hutan adalah cadangan lahan pertanian.

Konsekuensinya, pemanfaatan oleh individu atas hasil hutan [terutama hasil kayu] menjadi semacam ‘penyimpangan,’ sehingga anggota komunitas yang memungut hasil hutan ini dianggap sebagai ‘orang luar’ yang memanfaatkan harta bersama. Akibatnya, mereka harus mendapatkan izin dari pemangku adat untuk memungut hasil hutan tersebut.

Dampaknya, model pemanfaatan hutan di atas membatasi pemungutan hasil hutan untuk kepentingan pribadi/individu. Karenanya, logis jika pemungutan kayu di nagari diutamakan untuk kepentingan bersama [publik], seperti pembangunan fasilitas umum, fasilitas ibadah (masjid) dan seterusnya.

Selaras dengan itu, ekosistem hutan berfungsi sebagai penopang aktivitas pertanian komunitas. Hutan bagi komunitas nagari adalah sumber mata air yang menopang sistem irigasi tradisional. Sehingga wajar, banyak nagari memberlakukan Kawasan-kawasan tertentu dalam hutan sebagai hutan larangan, yakni semacam kawasan konservasi berbasis adat.

Demikianlah, adat dilaksanakan sebagai perangkat normatif untuk memastikan keadilan agraria bagi seluruh warga komunitas yang berorientasi pada masa depan dan ekologis. Adat yang hidup ini adalah hukum [adat], sekaligus panduan dalam mengelola kekayaan sumber daya agraria.

Alih-alih diakui sebagai suatu kearifan, penganut “arus utama” yang menganggap dirinya lebih maju acapkali memandang adat sebagai sesuatu yang kuno, berorientasi pada masa lampau dan pada titik paling ekstrem adalah ‘usang.’ Dalam konteks ini, adat senyatanya masih marginal dalam khazanah praktik, pengetahuan dan arena kebijakan.

Setidaknya, kita bisa memetik pembelajaran dari Nagari tentang bagaimana adat, kearifan lokal dan tradisi menjadi alternatif pengelolaan sumber daya agraria. Pada arena wacana, adat mesti didudukkan kembali sebagai wacana alternatif tentang keadilan [distribusi] sumber daya agraria yang bisa digunakan dalam praktik maupun perumusan kebijakan. [*]


Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)