Empat Jawaban Keraguan Terhadap ABS-SBK

Ilham Yusardi

Ilham Yusardi. [Foto: Dokumen pribadi]

Perdebatan tentang adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) memang paling mengasyikkan dalam khazanah pemikiran suku Minangkabau. Entah mulut siapa yang memula kata-kata itu? Ia telah begitu saja ada dan tumbuh dalam masyarakat Minangkabau setelah agama Islam menjadi agama yang nyaris keseluruhan orang Minangkabau menganutnya.

Jika membaca sejarahnya, ada yang mengatakan ABS-SBK pertama kali dicanangkan di Bukit Marapalam, sebagai sebuah ikrar bertemu dan kesepahaman ninik mamak, cadiak pandai kaum adat dan ulama-ulama kaum paderi yang telah lama berkecamuk dalam perang saudara sesama orang Minang. Namun sejarah tentang ini tidak pernah detail, kapan hari, tanggal, bulan dan tahun hingga siapa nama-nama pelaku yang menorehkan kesepahaman itu. Pada tulisan ini kita tinggalkan diskusi kesejarahannya itu dulu.

Mendiskusikan atau mempolemikkan ABS-SBK bukanlah hal tabu. Bahkan selalu menjadi pemicu bagi para pencari ilmu untuk selalu berpikir, belajar, berdialektika untuk kebaikan hidup. Adagium ABS-SBK bukan sesuatu yang sakral, kecuali bagi orang-orang yang jumud pikirannya.

Tulisan ini terpantik dari tulisan Heru Joni Putra yang berjudul Empat Kelemahan ABS-SBK dan Konsekuensinya. Sungguh tulisan tersebut memantik kita untuk berpikir kembali perihal ABS-SBK dan urgensinya.

Mengapa Kitabullah dan bukan Al-Quran?

Mengutip kembali tulisan almarhum Wisran Hadi, dalam buku Anak Dipangku Kamanakan di BIM, pada Artikel “Hanya Sebatas Konsensus”, Wisran mengajukan pertanyaan kritis tentang frasa “Kitabullah” dalam filosofi ABS-SBK tersebut.

Saya perlu mengutip satu paragraf lengkap dari tulisan tersebut. Agar maksud pokok pikiran Wisran Hadi tidak terpotong, dan tidak beralih dari maksud pokok pikirannya. Berikut lengkapnya:

...ABS-SBK ditafsirkan secara serampangan oleh mereka yang datang kemudian. Ada yang menafsirkan secara aktual sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dari segi kebahasaan misalnya, ABS-SBK adalah filosofi yang rancu. Orang Minang dulu memahamkan kata ‘Kitabullah’ adalah Al-Quran. Tetapi kemudian, dalam pemahaman masyarakat Minang yang sekarang, ‘Kitabullah’ diartikan “kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul.” Makanya Kitabullah di sini tidak lagi hanya Al-Quran, tetapi juga Injil, Taurat, dan Zabur.”Secara Aktual hal itu telah terbukti, bahwa akar permasalahan kristenisasi di Sumatra Barat adalah dalam kerangka penafsiran yang demikian.

Dua kalimat di awal pragraf dan satu kalimat di akhir paragraf itu perlu diperhatikan betul. Itulah pokok pikiran Wisran Hadi yang sesungguhnya. Wisran mencemaskan penafsiran yang serampangan oleh orang-orang datang kemudian (baca: terkini). Kemudian Wisran menduga penafsiran yang dilebih-lebihkan oleh orang Minang sekarang menjadi akar permasalahan kristenisasi di Sumatra Barat.

Mengapa Kitabullah, dan Bukan Al-Quran?

Bagi yang berangkat dari pemahaman sebagai muslim dengan pikiran sederhana, Kitabullah adalah Al-Quran. Namun bagi yang kajian lebih lanjut, kata Kitabullah bisa diperluas memaknainya bahwa kitab (baca: wahyu) Allah itu tidaklah semata Al-Quran saja. Ada Taurat yang disampaikan kepada Nabi Musa, Ada Zabur yang disampaikan kepada Nabi Daud, ada Injil yang disampaikan kepada Nabi Isa, kemudian diakhiri dengan Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Bahkan dalam Al-Quran sendiri, Allah menyuruh manusia untuk mempercayai kitab-kitab sebelum Al-Quran itu. Permasalahannya dalam konteks berislam sekarang, menimbulkan pertanyaan: apa dan dimanakah wahyu otentik dalam Kitabullah selain Al-Quran itu sekarang? Bukankah Allah sendiri mengatakan dalam Al-Quran bahwa telah ia sempurnakan semua ajaran kitab-kitab sebelum Al-Quran itu ke dalam Al-Quran, dan Dia (Allah) sendiri yang akan menjaganya.

Saya kira perlu saya cukupkan pembahasan paragraf ini, karena saya tidak pula ingin menyalin-nyalin ayat-ayat Al-Quran untuk mendukung argumen, atau saya tidaklah perlu pula membagikan link-link video ceramah Zakir Naik dalam hal ini.

Dari sampaian saya di atas, maka ketika ini dikembalikan dalam konteks adagium ABS-SBK, menjawab pertanyaan mengapa kata yang ada adagium adalah Kitabullah, bukan Al-Quran? Maka saya kira jelaslah. Kata Kitabullah dalam ABS-SBK, tidak ambigu bagi yang  menulusuri dalam ajaran Islam. Namun, seperti yang dikatakan Wisran, bisa dialih-alih maknanya bagi yang punya kepentingan lain. Menafsir dengan serampangan!

Mengapa Syarak Basandi Kitabullah dan bukan Syarak Basandi Kitabullah dan Hadist Nabi Muhammad SAW?

Ketika ada frasa “Syarak basandi Kitabullah”, dengan beranjak dari pemaknaan sederhana, yang ringkas dipahami maksudnya Kitabullah adalah Al-Quran. Al-Quran adalah aturan-aturan (baca: undang-undang) hidup manusia bagi yang mempercayainya. Lalu di mana posisi hadist?

Apakah hadist dihilangkan bagitu saja sebagai sumber hukum syarak? Tidak. Dalam hubungan dengan Al-Quran, hadist berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat.

Saya umpamakan Al-Quran itu batang tubuhnya suatu undang-undang, hadist adalah bagian penjelasan dari pasal-pasal dalam Al-Quran. Al-Quran sebagai batang tubuh undang-undang. Dalam ilmu hukum, bagian penjelas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari batang tubuh suatu aturan (perundang-undang). ‘Syarak’ dalam bahasa arab, atau ‘Hukum Islam’ dalam khazanah hukum Indonesia bersumber pada Al-Quran (dan hadist).

Berangkat dari cara di atas, kembali pada konteks kata itu dalam adagium “Syarak basandi Kitabullah”, maka  sudah otomatis berarti “Syarak’ basandi Al-Quran dan Hadist.

Apakah itu ambigu?

Adagium adalah kata-kata formula, pepatah. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, ada dan hidup dalam masyarakat Minangkabau sebagai platform kolektif. Semua orang tahu Minangkabau ini adalah negeri kata-kata. Cerdik pandainya punya kemampuan alami dalam berkata-kata. Sejarahnya yang disebut tambo itu disusun dari kata-kata kiasan, bermetafora dan tentu saja ada ambiguitas dalam menafsirkannya.

Undang-undang adatnya: “Undang-Undang Duo Puluah”, “Undang-Undang Salapan”, “Undang-Undang Duo Baleh” diterakan dengan kalimat-kalimat bermakna konotatif. Butuh kemahiran khusus untuk mempelajarinya, apalagi bagi bukan orang Minang. Tidak bisa serampangan menafsirkannya. Maka memasuki sejarah dan pranata sosial adat Minangkabau, mau tak mau kita pun belajar memahami kata, belajar makna, belajar kias-berkias sistem bahasa dalam adat Minangkabau.

Lagi pula adagium ABS-SBK bukanlah judul undang-undang hukum positif sebagaimana peraturan perundang-undangan sekarang yang tidak boleh diterakan dengan kalimat-kalimat konotatif. Jadi, potensi ambigu frasa ABS-SBK katakanlah ada, bagi yang berniat menggiringnya pada pemaknaan lain. Tapi untuk apa? Lalu apakaha itu berbahaya? Saya ulangi kalimat Pak Wisran dalam artikel itu lagi: bisa dialih-alih maknanya bagi yang punya kepentingan lain. Menafsir dengan serampangan!

Apakah modus hubungan Adat dan Agama sama dengan Agama dan Al-Quran?

Pertama kita mesti samakan dulu persepsi istilah “modus” dalam wacana ini. Modus adalah suasana kebatinan, kejiwaan seseorang yang sehubungan dengan suatu perbuatan atau tindakannya. Maka ketika menggunakan kata “modus” ini pada kata Adat, lebih khusus adat Minangkabau, maka ranah perhatiannya harus diperhatikan  kepada Adat Minangkabau sebagai subjek yang dipersonafikasikan.

Adat Minangkabau sebagai sesuatu yang hidup, memiliki jiwa, yaitu suasana batin kolektif masyarakat Minangkabau pada masa tertentu. Ini tidak mudah menangkapnya, karena perlu pengalaman-pengalaman empiris sejak Adat Minangkabau itu beradu runcing, diperselisihkan, hingga dapat bertaut dengan Syarak (hukum Islam).

Pertama perlu dikembang kembali historisnya. Bukankah kehadiran agama Islam sekalian hukumnya di tengah masyarakat Minangkabau itu pada awal abad ke-13 itu (merujuk waktu yang dikemukan AA. Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru), tidak diterima dan mengubah pranata sosial masyarakat Minangkabat dalam sehari-semalam saja?

Christine Dobbin menggambarkan: bahwa masyarakat Minangkabau merupakan para petani. Sebelum agama Hindu maupun Budhisme datang, kebudayaan petani Minangkabau bertumpu pada kepercayaan animistik. Tokoh agama masyarakat petani umumnya istilah itu di Minangkabau disebut pawang. Setiap masalah kehidupan diyakini berkaitan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di luar batas kemampuan manusia biasa.

Kepada pawang inilah diadukan. Sebab hanya pawang yang mampu berhubungan dengan kekuatan gaib tersebut. Satu yang penting, sejak itu bahwa orang Minangkabau sudah percaya kepada kekuatan gaib di luar dirinya. Namun siapa yang gaib itu, siapa kekuatan itu? Itulah yang tidak terdefinisikan secara sistematik oleh agama leluhur ini. Agama Hindu tidak pula serta merta diterima dan dianut oleh masyarakat petani Minangkabau. Agama leluhur berserta pawangnya terus ada dalam masyarakat.

Begitu pula ketika kedatangan agama Islam. Kontak dan perbauran masyarakat dengan para pedagang muslim berpengaruh kepada sistem dagang kedua belah pihak. Dengan beginilah agama Islam beserta Hukum Islam itu dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Minangkabau. Tata kelola dagang, sistem pernikahan, sistem pewarisan harta pencarian dan perilaku pedagang muslim diterima oleh orang Minangkabau. Akibatnya, para pialang lokal memeluk Islam, kemudian merembet para petani. Raja Pagaruyung pertama beragama Islam adalah Sultan Alif pada tahun 1560. Namun di tengah masyarakat praktik keyakinan leluhur, mengadakan para pawang, tidak pula ditinggalkan begitu saja.

Dari abad ke-13 sampai abad ke-17, setelah 500 tahun barulah agama Islam memberi pengaruh pada tatanan masyarakat Minangkabau. Pada akhir abad ke-17 agama Islam mulai semarak di Minangkabau. Surau dan tarekat bertumbuhan. Yang terbesar dan berpengaruh saat itu adalah perguruan yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Agam.

Dobbin juga menarasikan, situasi paradoks dalam kacamata pemuka agama Islam muncul pada masa itu. Agama Islam berkembang, penganutnya banyak, tetapi secara perilaku orang Minangkabau masih juga menjalankan praktik keseharian yang tidak bisa diterima oleh pemuka agama Islam, karena dianggap tidak sesuai dengan syarak (hukum Islam).

Maraknya praktik perampokan terhadap pedagang, main dadu, mengisap candu, di pasar-pasar ada gelanggang adu ayam sekalian dengan perjudiannya. Keributan dan perkelahian sering terjadi di pasar karena ketidaksepahaman perjanjian dalam berdagang. Seringkali pertikaian penyelesaiannya dengan perangkat hukum adat yang tidak tertulis, dan ucapan pemuka adat bisa ditafsirkan secara bermacam-macam, sehingga sering menyebabkan persengketaan berlarut-larut di balai sidang.

Tahun 1803 saat itu Mekah sedang berkembang paham Wahabi yang menyerukan gerakan “kembali ke syariat” gerakan pembersihan terhadap hal-hal yang berbau tradisional yang dianggap syirik, menolak ijtma’ ulama sebagai bagian kaidah hukum Islam. Gerakan itu pun merembes ke Minangkabau. Tiga Orang Pengikut Tuanku Nan Tuo, yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang pulang dari Mekah dan menemukan kemerosotan kehidupan umat Islam di Minangkabau dianggap situasi yang sama sebagaimana di Mekah. Maka Dewan Ulama yang dikenal dengan nama “Harimau Nan Salapan” mulai melakukan gerakan pembaruan di Minangkabau.

Gerakan “pemurnian Islam’ itu tidak serta merta didukung oleh semua kalang ulama lain. Ulama yang tidak bersetuju dengan gerakan tersebut mendapat dukungan dari para penghulu adat. Bahkan Tuanku Nan Tuo yang tidak setuju cara-cara kekerasan yang diperbuat muridnya, justru ditentang muridnya. Surau Perguruan Tuanku Nan Tuo dibakar oleh Tuanku Nan Renceh.

Ada perbedaan pandangan antara pemuka adat dengan ulama agama dalam mengatur kehidupan sosial. Situasi ini tidak semata bagaimana hukum adat dan hukum islam berbenturan, tapi menjadi ekses politik antara pemuka adat dengan ulama agama, serta ulama agama Islam yang berlainan paham dan tarekat. Di samping itu kekuasaan kolonialis Belanda pun mulai mengintervensi tatanan sosial Minangkabau dan terlibat dalam kecamuk perang ini.

Apakah formula frasa ‘Adat Basandi Syarak” sama dengan formula ‘Syarak Basandi Kitabullah’?

Jika sudah kita balik kaji sejarah pertemuannya, maka sebelum kita melanjutkan pada mengomparasi modus hubungan di antaranya, mari kita dudukkan pengertian-pengertian sederhana masing-masing entitas. Adat, adalah hasil cipta karsa akal pikiran manusia dalam peradabannya. Adat merupakan wujud gagagsan kebudayaan manusia yang sistematis. Sedangkan agama, kehadiranya datang dari Tuhan Sang Pencipta semesta alam dan isinya, termasuk manusia. Kehadiran agama disertai dengan wahyu Tuhan, yaitu berupa ketetapan-ketetapan, ketentuan-ketentuan demi mengatur kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sekumpulan Wahyu inilah yang kita sebut Kitabullah.

Dengan begitu, ada perbedaan kategorial dan perbedaan taraf posisi adat dan Agama dalam kehidupan manusia. Adat, di manapun bersifat lokalitas, sedangkan agama (Islam) berada di ruang global yang universal. Bagaimana mungkin mengomparasi modus hubungan dua entitas berbeda kategorial maupun taraf keberadaannya?

Mencoba mempertanyakan kesetaraan modus hubungan Adat-Syarak-Kitabullah dengan perangkat penalaran gramatikal terhadap adagium ABS-SBK, barangkali tidak dapat dilakukan jika tidak membuka makna kontekstualnya (eksistensi dan historis dari adat, agama, dan kitab itu sendiri). Mengomparasi hubungan suatu entitas dengan entitas lainya dengan rumusan: apakah ‘A’ basandi ‘B’, setara dengan ‘B’ basandi ‘C’? Tanpa mengkaji hakikat A, B dan C sebagai sesuatu yang hidup dalam peradaban manusia, tidak akan ada artinya.

Ditambah lagi, dalam adagium ABS-SBK, bahwa kata ‘basandi’ itu adalah kata yang konotatif juga. Imajinasi kita harus dikembalikan dulu pada gambaran batu sandi pada tiang rumah gadang. Apa fungsinya batu sandi pada tiang rumah gadang? Kemudian mencari kata denotatif dari kata batu sandi itu. Kali ini saya tawarkan kata ‘bersesuaian’ untuk kata denotatif dari basandi. Adat Bersesuaian dengan Syarak, Syarak bersesuaian dengan Kitabullah.

Apakah implementasi Al-Quran dan Hadist dari adagium ABS-SBK?

Adat (Minangkabau) bukanlah implementasi dari Al-Quran (dan Hadist) sebagaimana syarak (hukum Islam) implementasi dari Al-Quran (dan Hadist), karena Al-Quran (dan Hadist) tidak pernah menentukan, menerakan pokok-pokok kaidah adat (Minangkabau). Namun dalam adagium ABS-SBK kaidah adat minangkabau itu telah ‘bersesuaian’ dengan syarak (hukum Islam).

Namun apa gunanya mengubah adagium ABS-SBK yang telah hidup dalam bahasa kias menjadi frasa-frasa verbal belaka. Berisiko salah dimaknai lagi? Iya, kalau dialih-alih maknanya bagi yang punya kepentingan lain. Menafsir dengan serampangan!

Apakah ABS-SBK adalah titik-berangkat atau titik-tujuan?

Adagium ABS-SBK bukan seumpama titik, baik itu sebagai titik berangkat maupun juga sebagai titik tujuan. Adagium menjadi garis. Sebuah adagium yang hidup dalam sebuah komunitas, menjadi pemandu atau garis pandu kehidupan bagi anggota komunitas tersebut. Kalau ada titik berangkat dan titik tujuan, dia bukanlah titik itu. Ia menjadi garis yang terbentang dari titik berangkat hingga titik tujuan. Garis pandu itu terbentang sejak awal hidup hingga akhir hidup anggota komunitasnya. Sebutlah adagium Walapun Berbeda-beda, Namun Tetap Satu; Sekali layar Terkembang Surut Kita Berpantang; Tidak Melayu Hilang Di Bumi. Adagium itu garis pandu atau ada yang menyatakan sebagai way of life  masing-masing komunitasnya. [*]


Ilham Yusardi
Pemerhati Budaya

Tag:

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)