Empat Kelemahan ABS-SBK dan Konsekuensinya

Kolom - Heru Joni Putra

Heru Joni Putra. [Foto: Ist]

Perbedaan pendapat tentang adagium Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah  adalah hal paling lumrah di Minangkabau. Banyak yang memberikan perspektif baru. Dan juga tidak sedikit dari kita yang mengulang-ulang apa yang sudah dikerut-erangkan para pendahulu kita. Tapi itu bukan berarti pintu untuk menyigi adagium itu telah tertutup rapat. Adalah hal yang  berbahaya bila adagium itu menjadi sesuatu hal yang sakral, apalagi hanya karena hal itu berkaitan dengan pertalian adat dan agama sehingga kita takut menyiginya. Izinkan saya dalam tulisan ini untuk meragukan kalimat filosofis yang begitu fasih kita sebutkan itu.

Mengapa Kitabullah dan bukan Al-Quran?

Pak Wisran Hadi, seorang budayawan Minangkabau yang sekaligus anak dari Haji Darwas Idris (Ahli tafsir/Imam Besar Masjid Muhammadiyah Sumatra Barat), pernah mengajukan pertanyaan kritis tentang frasa “Kitabullah” dalam filosofi ABS-SBK tersebut.

Untuk poin pertama ini, saya hanya mengangkat kembali apa yang sudah dimulai oleh Pak Wisran Hadi tersebut. Saya kutip penjelasan beliau[1]: “Dari segi kebahasaan misalnya, ABS-SBK adalah filosofi yang rancu. Orang Minang dulu memahamkan kata ‘Kitabullah’ adalah Al-Quran. Namun kemudian, dalam pemahaman masyarakat Minang yang sekarang, ‘Kitabullah’ diartikan ‘kitab yang diturunkan Allah kepada rasul.’ Makanya Kitabullah di sini tidak lagi hanya Al-Quran, tetapi juga Injil, Taurat, dan Zabur.”

Dengan demikian, kita tahu bahwa Kitabullah sebagai Al-Quran itu hanya berupa pemahaman atas teks dan bukan pernyataan tegas dalam teks itu sendiri. Artinya, karena hanya berupa pemahaman, risiko untuk berubah pemahaman akan semakin besar, sebagaimana yang dicontohkan Pak Wisran Hadi. Tentu tidak ada yang salah bila suatu filosofi dimaknai dengan cara berbeda. Hanya saja, yang saya tekankan di sini, mengapa untuk suatu filosofi yang jelas-jelas dilatarbelakangi oleh pertautan agama Islam dan adat Minangkabau, mengapa memilih menggunakan frasa ambigu “Kitabullah” dan mengapa tidak terang-terangan Al-Quran?

Mengapa Syara’ Basandi Kitabullah dan bukan Syara’ Basandi Kitabullah dan Hadist Nabi Muhammad SAW?

Kini, kita asumsikan saja bahwa frasa “Kitabullah” itu maksudnya adalah Al-Quran. Maka tetap saja muncul persoalan serius, yaitu ketika Syara’ hanya disebut berdasarkan Al-Quran. Dengan kata lain, terjadi penghilangan Hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran, salah satu landasan krusial syariat Islam.

Di dalam QS An Nisa: 59 disebutkan bahwa: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Ketika adanya pernyataan dalam ayat tersebut bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan Hadist, maka apakah itu artinya ketika menyebutkan “Syara’ basandi Kitabullah (Al-Quran)” sudah otomatis berarti “Syara’ basandi Alquran dan Hadist”? Mengapa tidak bertegas-tegas saja bahwa “Syara’ basandi Al-Quran dan Hadist”?

Potensi ambigu yang sangat besar dalam frasa ABS-SBK tersebut mengarahkan kita pada sikap skeptis yang juga ditunjukkan Pak Wisran Hadi[2] bahwa apakah benar ABS-SBK adalah hasil kesepakatan alim ulama, cadiak pandai, ninik mamak? Sikap skeptis Pak Wisran Hadi tersebut sangat wajar bila dari kedua poin yang kita bahas ini terdapat keambiguan yang fatal, keambiguan yang berpotensi menyimpang. Bila kita pikir-ulang sekarang ini, berat rasanya meyakini bahwa para ulama yang dikabarkan ikut dalam perjanjian itu (kalau memang ada) akan sebegitu longgar. “Boleh jadi, ABS-SBK hanya sebatas konsensus saja,” tulis Pak Wisran Hadi, “bisa jadi juga ABS-SBK itu merupakan upaya penjajah untuk mengaburkan batas antara hukum adat dan hukum Islam.”

Apakah modus hubungan Adat dan Agama sama dengan Agama dan Al-Quran?

Ini adalah bagian yang penting ditelisik soal ABS-SBK. Formula frasa Adat Basandi Syara’ sama dengan formula Syara’ Basandi Kitabullah, yaitu sama-sama menegaskan hubungan fondasional-langsung dari satu ke entitas ke entitas lain, yaitu dengan pengulangan sekaligus penekanan lewat kata Basandi. Persamaan formula ini terkesan menyiratkan pola hubungan yang setara antara hubungan Adat-Agama dan hubungan Agama-Alquran. Padahal kalau disigi lagi, maka dibalik pengulangan sekaligus penekanan lewat kata Basandi itu justru terkandung suatu kekeliruan fatal.

Sebelunya, kita dudukkan dulu sekilas perkara kata Basandi itu, yaitu maksudnya kira-kira dalam bahasa Indonesia: berdasarkan/beralaskan. Basandi berarti berdiri-tegak di atas alas/fondasi yang menopangnya.

Kitab suci Al-Quran adalah salah satu dari rujukan langsung atas hukum Islam. Jadi, sangat jelas bahwa nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai yang dikandung Al-Quran (dan Hadist). Islam adalah impelementasi  dari apa yang ada dari Al-Quran (dan Hadist). Jadi, sudah sangat tepat kalau disebutkan bahwa Islam basandi/berdasarkan Al-Quran (dan Hadist).

Kini, pertanyaannya, apakah modus hubungan Adat dan Islam juga sama seperti modus hubungan Islam dan Al-Quran (dan Hadist)? Apakah tata-aturan dan nilai Adat Minangkabau  benar-benar basandi/berdasarkan Islam sepersis Islam basandi Al-Quran (dan Hadist)? Apakah Adat juga benar-benar implementasi dari ajaran Islam sepersis Islam yang merupakan implementasi dari Al-Quran (dan Hadist)?

Kalau kita menukik pada frasa ABS-SBK tersebut maka sudah sangat terang bahwa frasa itu jelas sama-sama menggunakan kata Basandi untuk menyebut hubungan Adat dan Islam dan hubungan Islam dan Al-Quran (dan Hadist). Artinya, sama-sama menyetarakan modus hubungan keduanya. Namun, bila kita simak fakta bahwa Minangkabau sudah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara, maka itu artinya bahwa Adat Minangkabau bukan berdasarkan Islam. Kalaupun misalnya ada Adat Minangkabau yang tidak bertentangan dengan Islam, itu adalah soal yang berbeda. Yang jelas, Adat Minangkabau bukan implementasi langsung dari ajaran Islam sepersis Islam adalah implementasi langsung dari Al-Quran (dan Hadist). Modus hubungannya bukan Basandi. Di sinilah kefatalan logika dalam penyetaraan antara frasa Adat Basandi Syara’ dan frasa Syara’ Basandi Kitabullah.

Yang sangat mungkin terjadi, frasa Adat Basandi Syara’ bisa saja dijadikan pembenaran bahwa setiap elemen kebudayaan Minangkabau adalah Islam. Di titik ini sangat potensial terjadi bahwa ASB-SBK bisa menjadi usaha “pengaburan batas antara hukum adat dan hukum agama”. Dan, masalahnya, itulah yang masih terjadi sampai saat sekarang. Segala aktivitas yang berkaitan dengan adat Minangkabau bisa secara sembrono dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bahasa Minang pun dianggap bagian dari produk Islam. Ada pula yang bersitegang mengatakan bahwa kata Minangkabau berasal dari frasa “Al Mukminaka Nabawi”, tanpa bukti yang jelas. Ini jelas penuh risiko ketika nanti segala problem bahasa atau apapun aspek budaya Minang lainnya dikabur-samarkan dengan legitimasi frasa Adat Basandi Syara’ tersebut.

Apakah ABS-SBK adalah titik-berangkat atau titik-tujuan?

Dua posisi (titik-berangkat atau titik-tujuan) ini penting untuk ditelisik karena secara mendasar sangat mempengaruhi bentuk hubungan seperti apa yang terjadi antara adat Minangkabau dan agama Islam dalam pemaknaan masyarakat Minangkabau.

Persoalan yang kita bahas di nomor 3 akan jadi seperti itu hanya ketika ABS-SBK diposisikan sebagai titik-berangkat atau dasar filosofi kehidupan masyarakat Islam-Minangkabau. Ingat, ketika kita menjadikan suatu adagium sebagai titik-berangkat maka itu artinya kita  terlebih dahulu mengasumsikan bahwa adagium itu sudah benar adanya. Dan, itulah persoalannya, apa yang dianggap sudah benar adanya tersebut (sebagaimana telah kita buktikan di atas) justru mengandung kekeliruan logika. Dengan kata lain, bila menjadikan ABS-SBK sebagai titik-berangkat maka artinya kita melanggeng kekeliruan yang terkandung di dalamnya. Dan ketika kita terus melanggengkan kekeliruan di dalamnya, maka itu artinya kita memperpanjang pengaburan batas antara hukum adat dan hukum agama. Kalau kita terus mengaburkan batas itu maka artinya kita sedang menjadikan agama sebagai “cap stempel” bagi seluruh lelaku adat—yang belum tentu sesuai dengan agama.

Namun begitu, persoalannya akan berbeda bila kita menjadikan ABS-SBK sebagai titik-tujuan bagi kehidupan masyarakat Islam-Minangkabau. Menjadikannya sebagai tujuan atau capaian berarti menjadikan Islam sebagai batas-batas untuk menyeleksi mana bagian adat yang berterima bagi Islam dan mana bagian adat yang bertentangan dengan Islam. Atau kalau mau lebih ketat, kita tidak lagi menyeleksi tapi benar-benar menciptakan “adat baru”, misalnya. Singkat kata, frasa Adat Basandi Syara’ bisa masuk akal hanya jika ia diposisikan sebagai titik-tujuan.

Kini, terlepas dari pilihan mana yang dilaksanakan atau ditinggalkan sama sekali, persoalan keambiguan antara titik-berangkat dan titik-tujuan mengandung potensi penyimpangan yang kentara.

Demikianlah empat kelemahan adagium ABS-SBK. Adagium itu bukanlah sesuatu yang sakral dan bila memang terkandung di dalamnya kecatatan logika, maka sebagai manusia yang terus berpikir, kita tidak harus mencarikan pembenaran atasnya, sebab kita masih sangat mungkin menciptakan formula baru, daripada terus-terusan mempertahankan kenyamanan di dalam kekaburan. [*]

---

[1] Lihat tulisan Wisran Hadi berjudul Hanya Sebatas Konsensus dalam buku “Anak Dipangku Kemenakan di BIM: Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi” (2013).

[2] Ibid.


Heru Joni Putra
Sastrawan

Tag:

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)