Antara Mudik dan Pulang Kampung

Opini Padangkita.com: Kolom dan Opini M Nurul Fajri

Karikatur M Nurul Fajri. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Jokowi seperti terjebak dengan cara pemaknaannya sendiri akan mudik dan pulang kampung ketika berargumen menggunakan logika lini waktu. Padahal konteks pembicaraan sebenarnya bukanlah dari sisi waktu atau kapan kata mudik atau pulang kampung digunakan. Akan tetapi dari sisi kebijakan pembatasan terhadap pergerakan manusia dari kota-kota besar khususnya yang berada zona merah, zona oranye atau zona kuning Covid-19 ke kampung halaman.

Dalam program Mata Najwa (Trans 7) Rabu, 22/4/2020 dengan tema Jokowi Diuji Pandemi, salah satu potongan wawancara antara Najwa Shihab dengan Jokowi ternyata memunculkan perdebatan sendiri antara perbedaan mudik dan pulang kampung. Bahkan di Padangkita.com, hal itu juga telah dibahas  oleh Holy Adib dengan judul Mudik Sekaligus Pulang Kampung.

Lewat sudut pandang ilmu bahasa atau linguistik, Holy Adib menekankan beberapa hal penting terkait penggunaan kata mudik dan pulang kampung dalam percakapan antara Jokowi dan Najwa Shihab. Pertama, pemaknaan akan mudik dan pulang kampung tak bisa hanya sekedar memahami arti leksikalnya (arti kata/kosakata) saja sebagaimana yang ada pada kamus. Di mana memang arti mudik dan pulang kampung dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V  onlie  adalah sama. Sehingga sinonim dari mudik adalah pulang kampung menurut KBBI V online.

Kedua, pemaknaan tentang kesinoniman tersebut ternyata memiliki kriteria tersendiri. Mengutip buku dari Gorys Keraf yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984), Holy Adib menjelaskan dua kriteria kesinoniman, sinonim total dan sinonim komplet. Kemudian dua kriteria kesinoniman tersebut diperoleh empat macam sinonim. Intinya Holy Adib hendak memberikan penekanan bahwa arti kata mudik tidak dapat dipersamakan dengan pulang kampung. Sebab kedua kata itu bukan termasuk sinonim total dan sinonim komplet. Dengan alasan berlakunya hukum arti kata lebih kuat muncul ketika digunakan dalam kalimat atau wacana.

Mudik dan pulang kampung bukanlah sinonim total karena tidak bisa dipertukarkan dalam semua konteks. Serta bukan sinonim komplet sebab tak memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama. Ada pengaruh tradisi atau sejarah serta waktu yang kemudian mempengaruhi bagaimana kata mudik dan pulang kampung dipakai.

Ketiga, ditinjau dari hiponim dan hipernim yang menjelaskan kalau mudik memiliki makna yang lebih khusus daripada pulang kampung, yang mana pulang kampung dalam konteks Lebaran.

Kontekstualisasi yang kehilangan konteks

Sejatinya, perdebatan tentang arti kata mudik dan pulang kampung serta bagaimana fungsionalisasinya adalah pengerucutan dari tema program Mata Najwa, Jokowi Diuji Pandemi. Walau spesifik atau detail, namun perdebatan tersebut justru menjauhkan diri dari konteks. Di sini saya melihat sedikit lubang dari tulisan Holy Adib yang telah secara apik menjelaskannya dari sudut pandang keilmuannya.

Jika merunut perbincangan Jokowi dan Najwa Shihab secara keseluruhan, ada konteks yang sebenarnya dapat dijelaskan tentang lingkaran setan pemaknaan mudik dan pulang kampung. Bahkan juga dapat sekiranya menjelaskan makna kognitif dan emotif dari kata mudik dan pulang kampung pada saat Jokowi dan Najwa Shihab berbincang.

Awal perbincangan Najwa Shihab memulai dengan Jokowi tentang Covid-19, Najwa Shihab langsung mengajukan pertanyaan, apa evaluasi Bapak Presiden atas kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sudah diberlakukan di sejumlah wilayah, Pak?” Lanjut Najwa Shihab menjelaskan ternyata perjalanannya menuju istana masih ramai seperti tidak ada pembatasan, sebagai penguat pertanyaannya.

Argumen penguat ini memang sebuah gambaran tipis dari sebuah ironi kebijakan dan implematasinya. Patut diingat kalau ironi adalah teknik yang biasa dipakai oleh Najwa Shihab dalam mendeskripsikan dan memperkuat pertanyaan atau argumentasinya. Hal tersebut sering dijelaskan oleh Najwa Shihab dalam berbagai kesempatan.

Pertanyaan itu dijawab oleh Jokowi dengan mengamini kalau pasar dan terminal tetap ramai. Daerah-daerah yang telah menerapkan PSBB tetap terlihat ramai di beberapa titik. “Artinya apa, mobilitas itu yang harus dikurangi. Tetapi aktivitas juga bisa dilakukan tapi jaga jarak.”

Dari sinilah seharusnya titik pijak tentang pemaknaan kata mudik dan pulang kampung harus dimulai, yaitu penjelasan Jokowi bahwa kebijakan penerapan PSBB dimaksudkan untuk mengurangi mobilitas manusia sebagai pembawa atau penyebar virus. Alasannya sederhana untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Sehingga berbagai model kebijakan dan imbauan pun dikeluarkan untuk mengurangi bahkan menghentikan mobilitas manusia.

Kesepakatan maksud pembatasan mobilitas manusia itu memberikan gambaran makna esensial yang paling sesuai konteks antara mudik dan pulang kampung dalam perbincangan tersebut. Apalagi dalam setiap pertanyaannya, Najwa Shihab hampir selalu bicara tentang instrumen pelaksanaan PSBB. Entah itu aturan atau struktur negara agar kebijakan PSBB berjalan efektif dengan menguliti permasahalan di seputarnya.

Keraguan pemerintah menetapkan larangan mudik sejak awal menjadi pertanyaan yang diajukan oleh Najwa Shihab dan dijawab oleh Jokowi kalau ada fase transisi. Karena ditakutkan dapat memunculkan masalah baru dari sisi sosial ekonomi. Seperti hendak ingin menjelaskan alasan rasional kenapa pemerintah lambat menetapkan larangan mudik dengan menggunakan argumentasi lini waktu.

Jokowi seperti terjebak dengan cara pemaknaannya sendiri akan mudik dan pulang kampung ketika berargumen menggunakan logika lini waktu. Padahal konteks pembicaraan sebenarnya bukanlah dari sisi waktu atau kapan kata mudik atau pulang kampung digunakan. Akan tetapi dari sisi kebijakan pembatasan terhadap pergerakan manusia dari kota-kota besar khususnya yang berada zona merah, zona oranye atau zona kuning Covid-19 ke kampung halaman.

Mudik hanyalah salah momentum mobilitas manusia yang harus dibatasi. Bukan sebatas pemaknaan atas kata. Sebab yang dimaknai adalah perbincangan yang spesifik membicarakan instrumen-instrumen kongkret berupa aturan dan palaksanaan aturan PSBB.

Bahkan jauh sebelumnya Jokowi pun berkicau lewat Twitter pada Senin (30/3/2020), “untuk keluarga-keluarga yang terlanjur mudik ini, saya meminta para gubernur, bupati dan wali kota untuk meningkatkan pengawasannya dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat...” Lantas apakah kita yang gagal memahami konteks yang dijelaskan Jokowi terhadap perbedaan mudik dan pulang kampung, atau Jokowi yang kehilangan konteks terhadap apa yang dibicarakannya sendiri? [*]


M Nurul Fajri
Alumni Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Scholarship Program pada Radboud University.

Baca Juga

Sumbangan, Buya?
Sumbangan, Buya?
AC Milan dan Hukum Tata Negara yang Sama Menyedihkannya
AC Milan dan Hukum Tata Negara yang Sama Menyedihkannya
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat