Mudik Sekaligus Pulang Kampung

Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Ist]

Mudik dan pulang kampung bukanlah sinonim total karena tidak bisa dipertukarkan dalam semua konteks. Jika seorang mahasiswa pulang kampung setelah ujian semester, itu bukanlah mudik, melainkan pulang kampung biasa. Dalam konteks ini pulang kampung tak bisa dipertukarkan dengan mudik.

Presiden Joko Widodo menyebut keluarnya jutaan orang dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) menuju kampung halaman masing-masing beberapa waktu belakangan ini sebagai kegiatan pulang kampung. Ia mengatakan hal itu dalam acara Mata Najwa (Trans 7) di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (21/4/2020). Pernyataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan Najwa tentang jutaan orang yang mudik sebelum ada pelarangan mudik.

Najwa lalu menanyakan perbedaan mudik dan pulang kampung. Jokowi mengatakan bahwa, “Kalau mudik itu di hari lebarannya. Kalau pulang kampung itu bekerja di Jakarta pulang ke kampung.” Dengan jawaban itu, Jokowi bermaksud membedakan sebutan pulang kampung pada waktu menjelang Lebaran (mudik) dan pulang kampung bukan dalam rangka Lebaran (pulang kampung biasa).

Jawaban Jokowi tersebut diolok-olok di media sosial. Warganet menganggap Jokowi mengelak dari persoalan jutaan orang yang mudik tersebut dengan mengatakan bahwa kegiatan itu bukan mudik. Menurut warganet, mudik dan pulang kampung memiliki arti yang sama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V dalam jaringan (online).

Di sinilah masalahnya. Jika membahas bahasa, semua orang seakan-akan berhak dan merasa mampu membahasnya dengan mengandalkan kemampuan seadanya dan sikap mengotot. Dengan hanya mengandalkan kamus, mereka seolah-olah menganggap persoalan arti kata sudah selesai. Oleh karena itu, saya tak heran E.M. Uhlenbeck, ahli bahasa asal Belanda, dalam Ilmu Bahasa: Pengantar Dasar (1982) menyatakan bahwa tidak berlebihan jika orang berkesimpulan bahwa terbuka jurang yang dalam antara ahli bahasa dan pria di pinggir jalan. Hal itu karena gejala bahasa seakan-akan mudah dipahami setiap orang. Orang menganggap berhak menilai gejala bahasa seperti ahli bahasa yang secara mendalam mempelajarinya. Padahal, ahli bahasa yang cerdas saja, menurut Uhlenbeck, sadar bahwa paling-paling ia hanya dapat menawarkan sekadar pandangan yang terbatas mengenai bangun bahasa, yang berarti bahwa karena penelitian yang saksama akhirnya ia peka terhadap sistematika yang tersembunyi dalam penggunaan bahasa.

Arti kata berdasarkan kamus adalah arti leksikal. Berdasarkan arti leksikal, arti mudik dan pulang kampung sama dalam konteks kembali dari tempat merantau, terlepas apakah merantau untuk menetap selamanya atau merantau untuk sementara waktu. Dengan begitu, kedua kata itu bersinonim. Persoalannya, orang menganggap kalau dua kata atau lebih sudah bersinonim, pembahasan tentang arti kata sudah selesai. Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu.

Menurut Gorys Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa (1984), sebenarnya sinonimi dalam ilmu bahasa yang murni tak diakui karena tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan walaupun ada ketumpangtindihan antara satu kata dan kata yang lain. Ketumpangtindihan makna itulah yang membuat orang menerima konsep sinonimi.

Menurutnya, kesinoniman kata diukur dari kriteria sinonim total, yakni kedua kata harus bertukar dalam semua konteks, dan sinonim komplet, yakni kedua kata memiliki identitas makna kognitif dan emotif (nilai rasa) yang sama. Dari kriteria itu diperoleh empat macam sinonim: (1) sinonim total dan komplet, yang dalam kenyataan jarang ada; dan inilah yang dijadikan landasan untuk menolak adanya sinonim; (2) sinonim tak total, tetapi komplet; (3) sinonim total, tetapi tak komplet; (4) sinonim tidak total dan tak komplet.

Mudik dan pulang kampung bukanlah sinonim total karena tidak bisa dipertukarkan dalam semua konteks. Jika seorang mahasiswa pulang kampung setelah ujian semester, itu bukanlah mudik, melainkan pulang kampung biasa. Dalam konteks ini pulang kampung tak bisa dipertukarkan dengan mudik. Di sini berlaku hukum arti kata lebih kuat muncul ketika digunakan dalam kalimat atau wacana. Sementara itu, mudik adalah pulang kampung dalam konteks Lebaran. Bisa saja seseorang pulang beberapa hari sebelum Lebaran atau sebulan menjelang Lebaran (mudik dini/mudik lebih awal).

Mudik dan pulang kampung juga bukan sinonim komplet sebab tak memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama. Mudik adalah tradisi, mengandung nilai budaya, sedangkan pulang kampung (bukan pulang dalam rangka Lebaran) bukanlah tradisi. Orang hanya bisa mudik sekali setahun. Pelakunya disebut pemudik. Sementara itu, orang bisa pulang kampung kapan saja tanpa harus menunggu momentum seperti Lebaran. Pelakunya tak bisa disebut pemudik karena ada hambatan semantik pada arti pemudik (orang yang mudik dalam konteks Lebaran).

Ditinjau dari hiponim (kata yang memiliki makna lebih sempit dan terliput dalam makna dari satu kata yang lebih umum—definisi KBBI) dan hipernim (kebalikan hiponim—belum dicatat KBBI), mudik merupakan hiponim dari pulang kampung, sedangkan pulang kampung merupakan hipernim dari mudik. Jadi, mudik memang pulang kampung, tetapi memiliki makna khusus, yakni pulang kampung dalam konteks Lebaran. Adapun pulang kampung bukanlah mudik karena ungkapan tersebut merupakan hipernim mudik.

Kembali pada jutaan orang yang keluar dari Jabodetabek itu, mereka mudik atau pulang kampung? Menurut Najwa, para perantau itu mudik, sedangkan Jokowi bilang pulang kampung. Bisa saja Najwa betul dan boleh jadi Jokowi benar. Namun, kita tidak tahu pasti niat mereka: pulang untuk mudik atau terpaksa pulang karena pandemi Covid-19. Barangkali di antara mereka ada yang berniat mudik walaupun Lebaran sebulan lagi (mudik lebih awal). Mungkin saja ada perantau yang tidak meniatkan mudik, tetapi pulang kampung biasa. Bisa jadi ada yang pulang kampung biasa, lalu tiba di kampung menetapkan untuk mudik karena situasi belum memungkinkan untuk balik ke rantau. Pulang kampung seperti ini mungkin cocok disebut mudik sekaligus pulang kampung atau pulang kampung sekaligus mudik. He-he-he.

Setiap orang memaknai kata berdasarkan pengalamannya, yang ia peroleh dari seperti apa kata tersebut ia dengar, baca, gunakan. Najwa dan Jokowi mungkin punya pengalaman yang berbeda terkait dengan kata mudik. Di sebagian daerah mudik berkaitan dengan pulang dalam konteks Lebaran, sedangkan di daerah lain ada mudik berarti pulang kampung biasa tanpa berhubungan khusus dengan Lebaran. Ada proses panjang dari makna awalnya hingga berkembang menjadi makna yang sekarang. Dalam dinamika perkembangan makna seperti itu wajar jika ada perbedaan dalam memahami makna kata.

Apakah arti mudik dalam KBBI perlu ditambah menjadi ‘pulang kampung dalam konteks Lebaran’? Perlu jika kamus masih bertugas mencatat arti kata yang digunakan masyarakat. [*]


Holy Adib
Wartawan

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat