Namun setelah adanya aturan penanaman pohon tersebut, banyak keluarga mulai berupaya dapat memiliki anak perempuan. Peratuan ini sebenarnya juga ia buat sebagai salah satu upaya memerangi budaya aborsi janin perempuan.
Sepuluh tahun setelah aturan ini diberlakukan, desa tersebut dikenal dengan ‘eco-feminisme’ yang sangat berkembang.
Baca juga: Kisah Pilu Seorang Janda Tinggal di Gubuk, Membuat Warga Empati
Dari hasil tanaman yang diwajibkan tersebut telah mendatangkan keuntungan ekonomi tersendiri bagi keluarga yang bersangkutan.
Mulai dari buah mangga, neem, sheesham dan amla, dan lain sebagainya. Selain itu, penduduk desa juga menanam lidah buaya di sekitar pohon sebagai pestisida alami. [*/Nlm]