Tiga Fase Perubahan Budaya Menuju New Normal

Kolom Ediwar

Ediwar Ph.D. [Foto: Dok. Pribadi]

Corona mengubah sektor kesenian dengan sangat jelas. Walaupun demikian, secara nyata sesuatu hal positif adalah timbul energi kreativitas para budayawan, seniman, ilmuwan, dan lainnya untuk membuat daya hidup kesenian melalui berbagai media baru.

Relaksasi tak hanya dibutuhkan pada bidang kesehatan, ekonomi, dll. Namun, juga di bidang budaya, terutama kesenian. Bidang yang selalu mendapat “jatah” terakhir untuk dibincangkan dalam konstruksi bernegara. Padahal, budaya sebenarnya bisa menjadi garis terdepan dalam menyelesaikan bencana.

Setidaknya, ada tiga fase yang bisa dijadikan landasan dalam budaya menuju New Normal ini. Setidaknya bagi seniman – baik tradisi atau kontemporer.

Fase pertama adalah mempertahankan identitas. Kearifan lokal menjadi identitas bangsa Indonesia. Saling menghormati sesama anak bangsa sangat tinggi. Sikap kebersamaan dan kegotong-royongan, dan budaya santun adalah jati diri ketimuran.

Kesantunan itu akan terpatri dalam bersikap dan berbahasa. Bahasa komunikasi lisan dalam berntuk sikap dan bahasa komunikasi verbal menunjukkan fase dalam posisi normal sebelum Covid-19, diperkirakan sebelum bulan Maret 2020. Bangsa Indonesia telah dikenal luas di mata dunia sebagai negara yang menjunjung tinggi budaya, keramahan, sopan santun. Nilai kebudayaan Indonesia yang menjunjung sikap persaudaraan, saling menghormati, dan menghargai sangatlah kental. Ini tidak terlepas dari tradisi-tradisi yang sudah kita nikmati dengan penuh nilai (nilai sosial, nilai religius, nilai kultural, nilai estetis, nilai etika, dsb).

Kita menyadari apa yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita ketika Corona menjadi viral dan populer dalam dunia kehidupan kita hari ini, yaitu terhentinya berbagai aktivitas masyarakat yang selama ini menjadi identitas budaya mereka, seperti berkuraangnya ikatan solidaritas kebudayaan, ikatan sosial, aktivitas keagamaan berjemaah, tradisi-tradisi adat dan kebiasaan, dan banyak lagi.

Fase selanjutnya adalah migrasi media. Dalam fase ini beberapa budaya tradisional mulai berkurang. Berbagai peraturan pemerintah diterbitkan untuk pemutusan mata rantai Covid-19 seperti lockdown, physical distancing, social distancing. Tradisi berkumpul dan bermain bersama dalam dunia kesenian dan kebudayaan tidak bisa dilaksanakan.

Corona mengubah sektor kesenian dengan sangat jelas. Walaupun demikian, secara nyata sesuatu hal positif adalah timbul energi kreativitas para budayawan, seniman, ilmuwan, dan lainnya untuk membuat daya hidup kesenian melalui berbagai media baru. Hari ini, tampak nyata para seniman telah menjamur menciptakan karya seni di rumah-rumah seperti dari dapur studio mini yang ada di rumah mereka.

Walau berjauhan, akan tetapi dapat menciptakan karya seni melalui ruang diskusi Zoom dan sejenisnya. Selain itu, budayawan memperbincangkan eksistensi kebudayaan dan kesenian dalam masa Covid-19 melalui facebook, whatsapp, twitter, dan sebagainya. Ilmuwan juga mengkaji berbagai dampak Covid-19 terhadap ekonomi, kesehatan, politik, dan lain sebagainya.

Fase kedua ini, membuat seniman pertunjukan harus berkompromi jika tidak ingin hancur. Mengubah medium ruang pentas tersebut menjadi daring (online) jelas membuat seniman pertunjukan harus dan rela melakukan coding kembali akan daya artistiknya terhadap ciptaannya agar sesuai dengan atmosfir online.

Hal ini merupakan siasat/strategi kreatif seorang seniman. Hal ini sudah dilakukan oleh banyak seniman. Namun unsur estetika pun akhirnya terkoreksi tajam. Alhasil kualitas karya rentan berubah derajatnya. Jarak penonton dan seniman pertunjukan yang harus dikalkulasi cermat jelas terpisahkan oleh sekat layar digital layaknya pada smartphone, laptop, dan televisi. Tantangan yang muncul kemudian ialah ketercukupan akses data internet agar tampilan tidak malah tersendat atau tetap dapat diakses hingga akhir pertunjukan demi tersampaikannya pesan, lalu melihat ekonomi yang juga menghakimi rakyat.

Masyarakat (penikmat seni), tak semuanya mempunyai media seperti telepon genggam dan akses internet untuk melihat suatu pertunjukan. Migrasi besar-besaran dari dimensi offline menuju online dalam konteks live show pada berbagai lini seni petunjukan terasa berat. Dimensi lain yang menarik diperhatikan ialah product knowledge sang seniman dalam memainkan sistem online beserta perilaku penonton penikmatnya. Tontonan seni pertunjukan jelas lebih terasa murni dan menyentuh ketika dilihat langsung menampilkan sudut pandang luas. Kini dipaksa mengecil sehingga berpotensi membuat penonton kehilangan hasrat menikmati pertunjukan.

Siasat rekaman (tapping) menjadi opsi, tetapi jelas memunculkan dilema tersendiri karena berpotensi menjadikan seni pertunjukan malah menyerempet ke dimensi seni film atau bahkan terkesan dokumentasi semata. Dengan kata lain, terdapat ruang kreativitas keluaran seni pertunjukan yang menjadi terbatas ketika harus berbalut dengan sistem daring.

Kemudian, hal ini akan mempengaruhi rencana jangka panjang seniman dalam situasi pandemi maupun pasca pandemi. Sistem daring membuat seniman kesulitan untuk mengakses sumber pendapatannya seperti sponsor, cenderung mengerem karena keadaan. Biasanya itu datang dari walikota, perusahaan, pejabat, dan lainnya.

Dalam waktu dekat, seniman pertunjukan harus memutar otak agar identitas serta ekosistem industri ini mampu terus berkarya. Adaptasi ini nampaknya untuk mempersiapkan masa datang seandainya migrasi menuju platform semacam youtube dan instagram tidak terhindarkan. Masyarakat saat ini sedang mengalami akselerasi tumbuh kembang budaya menonton seni secara daring.

Menurut Syamsul Hidayat (pengamat seni pertunjukan), menyatakan bahwa pada fase kedua ini juga, terjadi suatu pergerakan dimensional bagi seniman pertunjukan. Suatu fase baru dari musibah pandemi ini. Pada saat pandemi, maraknya seniman yang beralih ke youtube atau instagram membuat para penikmat seni (masyarakat) akan terbiasa dengan hal yang demikian.

Namun kembali lagi, nilai sosial dan hasrat menonton secara langsung akan berkurang. Kemudian tata kreativitas tim seniman (Kru, Pimpinan Produksi, Manajer Panggung) menjadi lebih terhalang lagi. Manajemen suatu pertunjukan yang biasanya melibatkan banyak orang menjadi berkurang bahkan hilang, dan berganti dengan manajemen yang sama sekali baru dan menghadapi tantangan yang juga baru.

Fase ketiga adalah Normal Baru. Fase ini akan muncul kebudayaan baru sebagai dampak fase kedua. Sebagian fase pertama hilang dan tidak kembali. Budaya baru akan menggeser budaya lama yang penuh nilai tersebut. Akan terjadi keragu-raguan, kecurigaan dan prasangka, dan sebagainya.

Perubahan-perubahan kebudayaan pasca-pandemi dalam fase ini kemungkinan akan terjadi secara disadari atau tidak disadari. Walau istilah tersebut berhubungan dengan persoalan dalam wacana kesehatan, akan tetapi akan berdampak pada persoalan kebudayaan.

Menurut Febri Yulika, menanggapi tulisan saya di Grup WhatsApp LPPMMP ISI Padangpanjang, fase ketiga (New Normal) ini, selain akan menciptakan budaya baru yang akan menggeser budaya lama. Namun, di sisi lain juga akan berdampak positif jika bangsa ini mampu menunjukkan kecerdasan kultural sehingga kondisi abnormal.

Pada fase kedua kita jadikan energi nasional bahkan imunitas nasional bagi terciptanya peradaban yang tinggi (Up Normal) melalui kerjasama lintas budaya dan partisipasi tanpa batas. Ibarat sebuah orkestrasi yangg menyatukan seluruh potensi kebhinekaan anak bangsa menuju kehidupan yang lebih maju.

Walaupun demikian, Pasca-Corona dalam ranah Normal Baru akan terjadi berbagai perubahan tradisi kebudayaan yang selama dibanggakan. Mari kita simak apa yang terjadi fenomena kebudayaan tradisional kita masa depan. Dan kapan perlu pemerintah Indonesia yang dikenal akan budayanya memberikan akses ruang tersebut agar nilai budaya tetap jalan, dan budaya Indonesia dikenal di ranah global. Maka Indonesia mempunyai taring yaitu budayanya dalam ruang Bhinneka Tunggal Ika. Maka fase pasca-pandemi ini, seharusnya bagaimana seniman bisa mengambil keduanya atau meramu menjadi suatu yang baru tanpa menghilangkan unsur yang lama (sebelum pandemi). [*]


Oleh Ediwar, Ph.D
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padang Panjang

Tag:

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)