Sumber Energi Terbarukan adalah Masa Depan Kita

Rio Lesmana

Rio Lesmana. [Foto: Dokumentasi Pribadi]

Cadangan minyak bumi Indonesia akan habis sekitar sembilan tahun lagi, dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru. Gas bumi kita pun demikian, diperkirakan akan habis dalam 22 tahun dengan cadangan yang ada saat ini sebesar 77,3 triliun kaki kubik. Sementara cadangan batu bara sebesar 37,6 triliun miliar ton akan habis dalam tempo 65 tahun jika dieksploitasi secara masif seperti saat ini.

Jadi sangat berat membayangkan jika 9 tahun lagi, motor atau mobil yang sering diajak mejeng mencari gebetan baru akan mangkrak di garasi atau di pinggir-pinggir kali Jakarta, Surabaya, Bandung, Padang, dan kota-kota besar lainya,  yang secara ilegal berubah menjadi tempat parkiran para pemilik mobil, tapi tak memiliki garasi atau justru rumahnya terjepit di antara gang-gang sempit. Itu bayangan yang lahir dari asumsi tak ada impor BBM. Tapi jika akhirnya harus impor, di mana para mafianya otomatis akan bertambah banyak, maka harganya akan sangat labil, bak mahasiswa baru yang bangga punya pacar baru tapi kurang puas dengan performanya, sehingga saat menemukan mahasiswa dari fakultas lain yang lebih menarik, langsung galau.

Untuk menghindari kegalauan semacam itu, diperlukan langkah dan persiapan untuk segera melakukan transisi energi secara nasional sedari hari ini. Sebenarnya keharusan untuk beralih ke jenis energi yang lebih bersih dan berkelanjutan bukan saja karena faktor cadangan yang terus menipis, atau karena antisipasi terjadinya galau nasional, tapi juga karena tingkat polusi yang disebabkan oleh berbagai jenis energi yang kita gunakan hari ini. Energi semacam itu terbukti menjadi sumber utama polusi dan perusak lapisan ozon, sehingga memicu perubahan iklim.

Dan secara komparatif, kesadaran untuk segera melakukan transisi energi bukan saja untuk Indonesia. Negara-negara lain di dunia juga berlomba untuk mewujudkan energi yang ramah lingkungan. Pun sebagai catatan pentingnya, Indonesia justru memiliki energi alternatif yang lebih berkelanjutan tersebut, bahkan berlimpah malah. Sayangnya, tingkat pemanfaatannya masih sangat minim. Para pengguna kendaraan tentu tak punya waktu untuk membayangkan bagaimana mendapatkan BBM dari kebun kelapa sawit, atau memperoleh energi untuk baterai ponsel yang hari ini diisi ulang dari salah satu colokan di kendaraan.

Namun faktanya, Indonesia memiliki panas bumi, energi surya, energi angin, arus laut, bahan bakar nabati (BBN), nikel sebagai bahan baterai, atau biofuel, dan beberapa jenis energi lain yang potensial dengan cadangan yang berlimpah. Apalagi jika kentut bisa dijadikan sumber energi, maka akan sangat banyak membantu ekonomi masyarakat Indonesia yang doyan makan pisang kepok. Dengan lain perkataan, kita memiliki sumber energi terbarukan secara berlimpah

Sebagai contoh, cadangan energi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 400 gigawatt (GW), tetapi yang di manfaatkan baru sekira 2,5%. Demikian pula BBN, Indonesia kaya akan minyak sawit sebagai bahan baku. Tapi saat ini, CPO dieksploitasi sebagai komoditas ekspor yang dilepas secara mentah-mentah ke pasaran global. Sementara di sisi lain, kita mengimpor BBM yang bikin neraca transaksi berjalan nasional kembang kempis setiap bulan. Setiap Rupiah tumbang, impor BBM selalu jadi kambing cokelat

Untuk itu, kita sebagai pengguna aktif BBM dan pemboros baterai ponsel kelas satu, harus senantiasa mendorong pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah transisi energi. Syukurnya, dalam roadmap EBT pemerintah, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan diekspektasikan akan naik dari 10 ribu megawatt (MW) saat ini menjadi 32 ribu MW pada tahun 2030, dan 52.300 MW pada tahun 2045.

Adapun pemanfaatan BBN direncanakan naik dari sekitar 10 juta kiloliter (KL) tahun ini menjadi 20,8 juta KL pada 2030, dan mencapai 43,2 juta KL pada 2050. Untuk memenuhi target besar tersebut, dibutuhkan investasi sedikitnya US$ 203 miliar. Investasi tersebut sekaligus untuk memenuhi target porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional, dari posisi 9% pada 2019 menjadi 23% pada 2025, serta 32% pada 2050.

Karena membutuhkan investasi besar dan beberapa bahkan cenderung kurang ekonomis dan berisiko tinggi, dibutuhkan peran pemerintah, termasuk dalam pembiayaan. Namun nahasnya, dana APBN pun terbatas. Oleh karena itu, Pertamina dan PLN sebagai BUMN energi sangat perlu menjadi pionir dalam pengembangan EBT. Jika kedua BUMN energi ini mampu memelopori gerakan EBT dan terbukti berhasil, pada akhirnya swasta akan berani masuk secara masif.

Sejauh ini, Pertamina cukup serius mengembangkan sejumlah proyek EBT. Perseroan yang satu ini akan mengembangkan energi panas bumi menjadi 1,3 GW dalam 3-4 tahun ke depan. Pertamina juga akan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berikut pabrik manufaktur sel surya. Untuk biodiesel, Pertamina konsisten melanjutkan program percampuran 50% sawit ke dalam BBM atau dikenal dengan B50.

Inisiatif lainnya, perseroan akan menggarap proyek gasifikasi batu bara rendah kalori menjadi dimethyl ether (DME) untuk menghasilkan energi yang lebih bersih dan mengurangi impor gas minyak cair (liquefied petroleum gas/LPG). Dan berdasarkan rencana terbaru pemerintah, Pertamina sedang bersiap mendirikan pabrik baterai untuk kendaraan listrik sekaligus membangun infrastruktur pengisian baterai. Untuk semua itu, Pertamina siap merogoh kocek sebesar US$15 miliar, dengan harapan memperoleh pendapatan US$8 miliar pada 2026.

Jadi, berangkat dari kesadaran berenergi bersih, kita harus senantiasa mengingatkan pemerintah untuk terus mendorong dan mengawal Pertamina, agar konsisten dengan langkah-langkah prospektif menuju transisi energi. Bukan saja untuk kepentingan bisnis, tapi juga untuk kepentingan ketersediaan energi pengganti yang harganya masuk akal bagi rakyat Indonesia.

Jangan sampai saat terjadi peralihan energi nanti, Pertamina menjadi pemain utama satu-satunya, sehingga harganya pun menjadi suka-suka. Jika demikian, kegalauan pun akan tetap melanda dan sangat berbahaya untuk perkembangan psikologis anak muda ke depan. Karena jika energinya saja mahal, maka teknologi kendaraan yang kompatibel dengannya juga akan mahal. Walhasil, peluang untuk mejeng murah mencari gebetan baru akan semakin tipis. Dan Pertamina akan menjadi kambing cokelat baru jika terjadi peningkatan masif jumlah jomblo baru di Indonesia.

Dan, untuk pemerintah, tugas utamanya adalah memperbaiki kerangka regulasi agar mendukung akselerasi lahirnya energi terbarukan, termasuk aneka rupa insentif yang dibutuhkan. Lalu, menyiapkan lembaga khusus yang benar-benar menangani energi terbarukan. Dan yang tak kalah penting, menyiapkan bantalan alternatif sumber pembiayaan agar tidak bergantung pada APBN, mengingat investasi EBT membutuhkan dana sangat besar.

Masalahnya hari ini, harga listrik energi terbarukan relatif mahal, sehingga sulit memenuhi ketentuan agar berada di bawah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Regulasi harga listrik inilah yang membuat negosiasi untuk perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) menjadi berlarut-larut. Masalah lainya adalah soal kebutuhan lahan  Sebagai gambaran, proyek PLTS berkapasitas besar membutuhkan lahan luas. Setiap pembangunan satu MW energi surya membutuhkan lahan satu hektare. Sementara itu, proyek panas bumi sering kali berada di hutan lindung atau cagar alam sehingga dilarang dieksploitasi. Dan yang tak kalah pelik, masalah pembiayaan, mengingat imbal hasil energi terbarukan relatif lebih rendah.

Namun apapun kendala yang dihadapi, mengingat pendeknya waktu yang kita miliki, maka pemerintah harus segera mencarikan solusinya. Indonesia tetap harus sungguh-sungguh menyiapkan pengembangan program EBT, jika tak mau mayoritas generasi muda setelah 9 tahun mendatang menjadi jomblo atau sulit bertemu gebetan yang pas untuk diajak ke pelaminan.

Baik karena kelangkaan BBM, atau karena ponsel acap padam karena sulit mendapatkan energi isi ulang, atau pula karena tak bisa berkendaraan lagi lantaran semuanya mendadak mahal. Alangkah malangnya, toh.

Ciayo Pertamina, buktikan bahwa energi terbarukan adalah alternatif yang layak, sehingga banyak pelaku swasta pun ikut menceburkan diri dalam penyediaannya. [*]


Rio Lesmana S
Petani Sehat Ceria dan Alumni Fakultas Kehutanan IPB

Tag:

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)