Rhogerry Deshycka

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi

Wiko Saputra. [Karikatur: Dokumentasi Pribadi]

“Pendidikan adalah bekal terbaik untuk perjalanan hidup”. Sepenggal kalimat dari Aristoteles ini - filsuf ternama dari Yunani (384 SM-322 SM), telah menginspirasi banyak orang untuk mengapai kesuksesan. Kalimat ini harus dibaca oleh mahasiswa baru dan ditancapkan dalam dadanya.

Minggu-minggu ini, menjadi perjalanan waktu yang penting bagi sebagian generasi muda kita. Waktu kuliah bagi mahasiswa baru telah tiba.

Suasana perkuliahan pada awal semester ini, sangat berbeda. Pandemi telah memaksa semua aktivitas pembelajaran di perguruan tinggi dilaksanakan secara daring. Mungkin tak semua kampus dan mahasiswa siap menjalankannya.

Masa indah pertama kali menginjakkan kaki di kampus impian, terpaksa ditunda. Tak adanya kontak fisik dengan pihak kampus, dosen dan sesama mahasiswa baru, jangan menurunkan semangat kita untuk menimba ilmu.

Semangat belajar harus terus dipompa. Karena itulah yang nanti menjadi bekal terbaik untuk perjalanan hidup. Yakinlah! Nanti, dikemudian hari akan merasakan manfaatnya.

Kalian beruntung. Tak semua teman sebaya kalian mendapatkan kesempatan berkuliah. Ada yang tak mampu karena biaya. Ada yang gagal lulus di perguruan tinggi negeri dan tak mau masuk ke perguruan tinggi swasta karena mahal. Dan berbagai alasan lainnya.

Bersyukurlah! Mari manfaatkan keberkahan ini untuk mengapai cita-cita Anda.

Tak ada yang sulit dalam mengapai impian, jika terus berusaha dan bekerja keras.

Rhogerry Deshycka membuktikan itu. Gerry bukan anak orang kaya yang memiliki fasilitas untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Bukan juga anak perkotaan yang infrastruktur pendidikannya mumpuni. Ia berasal dari keluarga kurang mampu, yang tinggal di pelosok kampung.

Namun, jangan ditanya prestasinya. Ia peraih mendali emas di The 24th International Biology Olympiad di Bern, Swiss pada 2013. Anak kampung yang mengalahkan anak Amerika Serikat (AS), Jepang, China dan berbagai negara lainnya.

Ia peraih beasiswa untuk program sarjana dan pasca-sarjana di Massachusetts Institute Technology (MIT) AS. Sekarang, di usianya yang baru 25 tahun, sedang menempuh pendidikan doktoral di University of California, San Francisco AS, juga dengan program beasiswa.

Gerry kecil tak punya impian bisa berkuliah di AS. Bagi anak kampung, jangankan berbahasa Inggris, melafalkan bahasa Indonesia yang baik saja mungkin susah.

‘Urang awak’ ini berasal dari kampung Lubuk Minturun. Meski secara administrasi masuk Kota Padang, tapi lokasinya sangat terpelosok. Kampung Gerry ini dekat dari tempat pembuangan sampah akhir dan kuburan umum bagi masyarakat Kota Padang.

Seperti mirip pedesaan di Indonesia. Infrastruktur di sana sangat minim. Kampung ini hanya memiliki satu sekolah menegah pertama (SMP) dengan fasilitas yang ala kadarnya.

Sebagian besar masyarakat di sana adalah miskin. Banyak anak yang putus sekolah. Pekerjaan sehari-hari masyarakat adalah bertani dan mencari batu di sungai.

Sama dengan anak sebayanya, Gerry kecil adalah perenang tangguh. Tempat tinggal Gerry itu dilintasi sebuah sungai besar: Sungai Lubuk Minturun, salah satu titik aliran dari Sungai Batang Kandis, sungai terpanjang di Kota Padang.

Sungai ini menjadi pusat mata pencaharian masyarakat. Saban hari, anak-anak dan pemuda mencari batu di sungai itu. Saban hari juga, puluhan truk pengangkut batu parkir di pinggiran sungai untuk membeli batu.

Mengambil batu dan menghasilkan uang bagi mereka lebih penting dibanding sekolah. Pikiran Gerry waktu kecil juga begitu.

Tapi, Gerry punya orang tua dan guru SD yang berpikir Aristoteles. Bakat yang ada dalam diri anak kampung ini harus terus diasah. Mereka memotivasi Gerry untuk belajar dan tak putus sekolah.

Benar bakat itu ada. Di kelas enam SD, ia giat belajar. Dari SD yang hanya punya 5 lokal ini, ia dapat masuk di SMP favorit di Kota Padang: SMP Negeri 1. Itu berkat motivasi dan kerja keras. Sekolah inilah yang menjadi jembatan bagi ia mengapai cita-citanya.

Bersekolah di sekolah favorit membuat Gerry minder. Ia merasa masih anak kampung. Yang tak layak bersekolah bersama anak kota – pintar dan kaya. Yang bahkan sebagian temannya ada yang tidak tahu dengan kampung Gerry ini.

Butuh kerja keras setiap hari bagi ia untuk berangkat ke sekolah. Jarak dari rumahnya ke sekolah mencapai 26 kilometer. Lama tempuhnya bisa sekitar satu jam dengan kendaraan bermotor. Ada angkutan umum, tapi jumlahnya terbatas. Kalau sekolahnya pagi, harus berangkat setelah Shalat Subuh, agar tidak terlambat.

Namun, di sana ia mendapatkan suasana belajar yang kompetitif. Yang akhirnya mengantarkan ia menjadi lulusan terbaik, tak hanya di Kota Padang, tapi di seluruh wilayah Sumatera.

Mendali perunggu disabetnya dalam Olimpiade Siswa Nasional. Prestasi ini menjadi tiket ia mendapatkan beasiswa di Pribadi Bilingual Boarding School, Bandung. Sekolah yang banyak melahirkan pemenang olimpiade internasional. Di kota Paris Van Java inilah, anak Minang perantauan ini menjadi yang terbaik.

Perenang Sungai Lubuk Minturun, yang sekarang memiliki hobi menyelam ini, akhirnya berhasil mengharumkan nama bangsa. Ia mendapatkan mendali emas di The 24th International Biology Olympiad di Bern, Swiss pada 2013.

Berkat prestasi cemerlangnya, Gerry di terima di Massachusetts Institute Technology (MIT) AS – kampus terbaik di dunia berdasarkan QS World University Rankings 2020. Dalam usia yang masih belia, penyuka riset bidang rekayasa jaringan, genetika, parasitology dan imunologi ini sedang menyelesaikan S3 di University of California, San Francisco AS.

Tak ada yang tak mungkin. Keterbatasan yang kita miliki, bukan hambatan mencapai kesuksesan. Gerry: dari anak kampung yang miskin, sekarang menjadi ilmuwan terkemuka di dunia.

Ia memiliki cita-cita mulia – setelah selesai S3, ia mau membaktikan dirinya untuk tanah airnya. Ia tak mau seperti rekan-rekannya dari Indonesia, yang lebih memilih berkontribusi untuk negara lain dibanding negara kelahirannya sendiri.

Cerita hikmah ini, jadi pelecut semangat bagi generasi muda. Terutama bagi mahasiswa baru. Yang baru mulai mengapai impian.

Masa ini dan berikutnya semakin sulit. Kompetisi semakin ketat. Hanya mereka yang unggul yang bisa bersaing.

Jadi unggul itu, tak mesti berasal dari orang tua kaya, anak pejabat, anak pengusaha sukses atau anak kota yang fasilitas pendidikan baik. Tapi, keunggulan itu tercipta dari karakter manusia. Perpaduan antara impian yang besar dan kerja keras, seperti Rhogerry Deshycka. [*]


Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)