Penyelenggaraan Pilkada serentak pada Desember 2020 sangat mempertaruhkan kualitas demokrasi lokal. Walau kemungkinan perubahan waktu pilkada masih dimungkinkan, baik melalui perubahan pasal pada persetujuan Perpu Pilkada menjadi undang-undang ataupun melalui Keputusan KPU sebagaimana diatur pada Pasal 201A juncto Pasal 122A Perpu Pilkada. Kita tentu masih berharap Pemerintah bersama DPR memikirkan hal ini lebih bijak.
Sempat mengalami ketidakjelasan, pemerintah akhirnya memutuskan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 dimundurkan, yang mulanya akan diselenggarakan pada 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020. Lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perpu Pilkada), pemerintah berasumsi tahapan penyelenggaraan pilkada telah dapat dilanjutkan dengan berakhirnya pandemi Covid-19 pada Juni 2020.
Sebelum terbitnya Perpu Pilkada ini, sejatinya telah ada tiga usulan skenario waktu penundaan Pilkada serentak 2020 yang berkembang, yakni pada Desember 2020, Maret 2021 dan September 2021. Opsi pertama yang dipilih pemerintah dinilai sangat berisiko terhadap kualitas penyelenggaraan pilkada secara lebih luas. Sebab, kemungkinan tahapan pilkada yang tersisa akan kembali dilanjutkan pada akhir Mei atau awal Juni 2020.
Pertaruhan kualitas dan asas pemilu
Kalaupun berakhirnya masa pandemi Covid-19 pada Juni 2020 dapat dipastikan, hal penyelenggaraan Pilkada Serentak pada Desember 2020 bukan berarti permasalahan kemasyarakatan dapat dianggap selesai. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarif pernah mengatakan setidaknya butuh enam bulan agar kehidupan bisa kembali normal setelah pandemi dinyatakan selesai (tirto.id). Sementara pada saat yang sama, hingga pertengahan Mei 2020, tanda-tanda penurunan penyebaran Covid-19 secara nasional masih jauh dari harapan. Bahkan kurva penyebaran tak kunjung melandai.
Keberadaan Covid-19 yang membuat berbagai aspek kehidupan menjadi terbatas, jelas berpotensi besar menurunkan kualitas penyelenggaraan pilkada. Bila merujuk pada aspek keadilan dan integritas penyelenggaraan pemilu, menurut Ramlan Surbakti (Kompas, 14/02/2014), setidaknya ada tujuh kriteria yang mesti dipenuhi untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.
Adapun ketujuh kriteria yang dimaksud adalah 1) kesetaraan antar-warga negara, baik dalam pemungutan dan penghitungan suara maupun dalam alokasi kursi DPR dan DPRD dan pembentukan daerah pemilihan; 2) kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu demokratis; 3) persaingan bebas dan adil antar-kontestan pemilu; 4) partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh rangkaian tahapan penyelenggaraan tahap pemilu; 5) badan penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan imparsial; 6) integritas pemungutan, penghitungan, tabulasi dan pelaporan suara pemilu; 7) penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.
Bila hendak dibayangkan, pemenuhan ketujuh kriteria tersebut, justru akan lebih sulit terjadi di masa pandemi. Sebagai akumulasi dari adanya pembatasan akibat Covid-19 dan ketidakpastian waktu penyelenggaraan. Di mana sewaktu-waktu dapat kembali dimundurkan apabila Covid-19 tak berhenti atau menurun drastis pada Juni 2020.
Keputusan penundaan Pilkada serentak 2020 dari September ke Desember dapat dikatakan sebagai perhitungan yang teramat sangat optimis. Alih-alih terlalu optimis dengan penyelenggaraan Pilkada yang bergantung kepada penanganan Covid-19, pemerintah justru sedang bertaruh dengan banyak hal. Karena penyelenggaraan Pilkada cenderung dipaksakan dalam ketidakpastian serta harus dilaksanakan dengan protokol khusus yang justru bisa saja mencederai asas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Permasalahan dan tantangan
Dengan situasi pandemi saat ini, rumus lebih cepat lebih baik mungkin hanya berlaku pada penuntasan penyebaran Covid-19. Di luar daripada itu, segala asumsi terjauh barangkali adalah yang paling realistis. Dibandingkan mempertaruhkan banyak hal, fokus pada penyelesaian Covid-19 adalah solusi terhadap semua hal.
Nasib Pilkada serentak 2020 memang sangat amat tergantung pada penyebaran Covid-19. Memaksakan pilkada tetap terselenggara pada Desember 2020 sekalipun Covid-19 berakhir pada Juni 2020 tetap saja akan mengubah wajah penyelenggaraan pilkada. Sekalipun pandemi berakhir, beberapa protokol khusus pencegahan sudah bisa dipastikan tidak akan serta merta hilang.
Jika hendak dilihat lebih rinci, setidaknya terdapat beberapa permasalahan dan juga tantangan utama dari keputusan penyelenggaraan Pilkada serentak pada Desember 2020. Pertama, persoalan kepastian hukum. Dengan bergantungnya waktu dan bagaimana penyelenggaraan pilkada pada penyebaran Covid-19, dengan kata lain kemungkinan berubah-ubahnya waktu penyelenggaraan dapat saja terjadi. Apalagi Perpu Pilkada sendiri mengakomodir ketidakpastian kondisi tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 201A ayat (3). Walaupun dari sisi sebaliknya ketentuan tersebut dapat dipandang sebagai aturan yang bersifat adaptif.
Namun demikian permasalahan kepastian hukum ini akan berimplikasi pada permasalahan kedua, yaitu permasalahan beban anggaran yang meningkat dan tanggung jawab kinerja yang lebih lama. Rentang waktu penyelenggaraan yang dijalankan dalam ketidakpastian waktu jelas dapat membuat beban anggaran akan meningkat dan tanggung jawab kinerja akan lebih lama. Bergantung pada penyebaraan Covid-19, tahapan penyelenggaraan pilkada bisa saja berubah atau ditunda tergantung dengan situasi dan kondisi.
Beban anggaran dan tanggung jawab kinerja tersebut tidak sekadar ada di pihak penyelenggara, tetapi juga akan dialami oleh peserta bersama dengan tim pemenangannya. Begitu juga penyelenggaraan pilkada dengan protokol khusus, alokasi anggaran khusus untuk penerapan protokol khusus sebagai logistik penyelenggaraan pemilu jelas harus dialokasi dan dilaksanakan sejak awal tahapan dilanjutkan.
Ketiga, politisasi bencana dan keuntungan para petahana. Kondisi pembatasan sosial jelas mempersempit ruang kandidat baru untuk memperkenalkan diri secara langsung kepada masyarakat. Hal ini jelas lebih menguntungkan petahana. Sebab para petahana jauh lebih dimungkinkan untuk menjangkau masyarakat secara langsung dalam situasi pandemi karena menjalankan tugas. Dibandingkan dengan para penantangnya. Belum lagi persoalan program-program bantuan sosial dan ekonomi pada saat bencana yang berpotensi kuat untuk dipolitisasi sebagai media kampanye hingga jual beli suara.
Keempat, kemungkinan menurunnya partisipasi dan pengawasan dari berbagai pihak. Pembatasan sosial dan sikap preventif terhadap Covid-19 sangat memungkinkan menurunnya partisipasi serta pengawasan pilkada. Rendahnya partisipasi dan pengawasan jelas akan berimplikasi pada legitimasi hasil pilkada. Sebaliknya, rendahnya partisipasi dan pengawasan akibat pembatasan sosial serta sikap preventif terhadap virus justru menjadi peluang praktik curang. Karena tidak dapat dimungkiri, praktik pelanggaraan karena keberpihakan penyelenggara kepada salah satu peserta masih terjadi hingga saat ini.
Dari keempat permasalahan dan tantangan utama tersebut, penyelenggaraan Pilkada serentak pada Desember 2020 jelas sangat mempertaruhkan kualitas demokrasi lokal. Walau kemungkinan perubahan waktu pilkada masih dimungkinkan, baik melalui perubahan pasal pada persetujuan Perpu Pilkada menjadi undang-undang ataupun melalui Keputusan KPU sebagaimana diatur pada Pasal 201A juncto Pasal 122A Perpu Pilkada. Kita tentu masih berharap Pemerintah bersama DPR memikirkan hal ini lebih bijak. [*]
M Nurul Fajri
Alumni Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Program Scholarship pada Radboud University