Kebiasaan Baru, (Mestinya) Mental Baru

Opini Padangkita - Kolom: Mohammad Isa Gautama.

Mohammad Isa Gautama. [Dok. Padangkita.com]

Mental baru lebih penting dibentuk, namun jangan hanya sampai di situ, butuh implementasi konkret untuk sama-sama berdisiplin, barulah kebiasaan baru yang kita jalankan efektif mengusir Corona dari negeri ini.

Pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Dari berbagai media kita simak, Presiden Jokowi, pada 24 Juni 2020 lalu malah mengatakan bahwa indeks keterpaparan virus Corona ini di beberapa provinsi masih tinggi. Imbauan yang disampaikan pun adalah imbauan yang sudah berkali-kali diterima oleh khayalak: disiplinlah menjalankan protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, hindari kerumunan.

Tak dinyana, hari-hari terakhir kita disentakkan pula oleh video tunda Presiden yang emosional dalam mengkritik kinerja para pembantunya dalam program aksi menghalau pandemi Covid-19. Video yang ternyata direkam saat rapat paripurna kabinet (18/6/2020) lalu tak pelak menyulut kontroversi, tidak saja dalam soal bagaimana koordinasi menghadapi musibah Covid-19 selama ini dijalankan oleh pihak eksekutif nasional, namun juga dapat dipertanyakan sejauh mana kesadaran yang bersumber dari mind-set (baca: mental) para pejabat tertinggi kita di level pusat.

Efektivitas Komunikasi versus Disiplin Masyarakat

Sebagai warga negara yang baik tentunya kita senang dan bahagia menyimak imbauan pemimpin. Apalagi imbauan itu bermuatan positif dan disampaikan secara persuasif. Terlebih, nilai kebenaran yang disampaikan dalam imbauan itu memang sesuai dengan data dan fakta. Memang benar, di sana-sini masyarakat rata-rata belum mematuhi protokol kesehatan. Dalam seminggu terakhir bahkan dua kali dipecahkan ‘rekor’ jumlah terpapar virus Covid-19 senasional. Ini menandakan bahwa pandemi Corona sebenarnya masih belum berakhir dan bahkan masih memuncak kurvanya. Sementara hampir di seluruh tempat justru dikampanyekan kebiasaan baru, New Normal.

Semua kita pasti tahu, kebiasaan baru mensyaratkan pola interaksi yang membolehkan masyarakat tidak lagi melulu berada di rumah, boleh keluar rumah tetapi tentunya dengan sederet catatan (baca: peraturan dan protokol kesehatan). Ironisnya, begitu pola interaksi dengan kebiasaan baru dirilis dan disosialisasikan, di berbagai tempat justru mengindikasikan ketidakberhasilan (kalau tidak boleh dikatakan gagal) dari segi efektivitasnya.

Sebagai contoh, tidak lama setelah Presiden Jokowi mengimbau masyarakat untuk patuh pada protokol kesehatan, kita simak di media keputusan Pemprov DKI untuk meniadakan Car Free Day pada akhir minggu ini, setelah sebelumnya sempat diadakan kembali. Ini ternyata disebabkan evaluasi atas CFD minggu lalu yang gagal, masyarakat ibu kota mayoritas masih melanggar penjarakan sosial (Social Distancing), malah banyak yang tidak memakai masker. Belum lagi berita di mana-mana mengenai ditemukannya cluster baru diakibatkan kesembronoan warga beraktivitas di pasar, terminal, pelabuhan dan tempat kerja.

Dalam tataran ini, dapat kita tinjau dan analisis dari perspektif komunikasi publik, aspek efektivitas penyampaian pesan ternyata memang sangat penting dipertimbangkan. Pesan yang disampaikan secara persuasif belum tentu secara efektif diterima dan dijalankan konten/instruksinya oleh khalayak. Dalam hal ini, perencanaan komunikasi publik yang disampaikan seorang Presiden hendaknya juga sudah mempersiapkan strategi agar bagaimana tingkat ketercapaian pesan disiasati melalui strategi di belakang layar yang bisa jadi dipersiapkan melalui regulasi lain oleh bidang lainnya, semisal sisi sosialisasi dan edukasi.

Apalagi jika pesan itu disampaikan dengan banyak sekali noise atau gangguan yang malah bisa menjadi faktor penentu komunikatif dan efektifnya pesan itu dijalankan oleh penerima pesan. Dalam konteks pesan sekaitan pandemi Covid-19, variabel itu malah lebih banyak ditentukan oleh tingkat kedisiplinan dan kemauan yang konsisten dari masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan para pakar, kedisiplinan terhadap protokol kesehatan itu mengambil peran empat perlima (80%) dalam hal kontribusinya terhadap penurunan kurva pandemi. Sementara yang lainnya, termasuk regulasi pemerintah paling banyak hanya seperlima (20%).

Kebiasaan Baru dengan Mental Baru

Sementara itu, dari tinjauan sosiologis, apa yang terjadi saat ini tidak lepas dari konteks perubahan sosial. Akibat bencana penyakit yang disebabkan pandemi Covid-19, telah menyebabkan terjadinya semacam revolusi sosial sekaligus kebudayaan yang mendera seluruh elemen masyarakat global. Seluruh warga dunia, tanpa terkecuali, dibuat terhenyak, panik dan akhirnya harus beradaptasi dengan bencana jika tidak ingin menjadi bagian dari korban atau terdampak secara sosial, ekonomi dan politik.

Menariknya, sekaligus penting untuk digarisbawahi, dalam kacamata perubahan sosial dikatakan bahwa revolusi sosial lebih banyak menghasilkan ketegangan antara usaha untuk menyesuaikan perilaku baru itu (dalam hal ini kerap disebut sebagai kondisi New Normal) dengan regulasi yang diproduksi oleh pemegang otoritas (baca: pemerintah).

Jika kita sepakat mengatakan bahwa produk regulasi adalah bagian dari wujud semi-konkret dari produk kebudayaan, maka situasi saat ini cocok diparalelkan dengan teori Cultural-Lag (dipopulerkan William F. Ogburn) yang mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan sosial dan organisasi sosial selalu tertinggal di belakang perubahan kebudayaan (antara lain produk peraturan, undang-undang, regulasi, dsb).

Dalam konteks pandemi Corona, kita mestinya berusaha mencari strategi agar bagaimana kegagapan kita memahami apa itu protokol kesehatan dan kenapa warga belum juga sepenuhnya disiplin mematuhi aturan protokol dari WHO tidak membuat fenomena ketertinggalan secara sosial dan kultural ini semakin menjadi-jadi.

Sementara, dalam konteks kemarahan Presiden dalam sidang bisa jadi para menteri pun mengalami ketertinggalan mental serta kesadaran akan sense of crisis sehingga memberi dampak kepada akselerasi kinerja. Kinerja menteri melambat bahkan tak jarang hanya kebingungan tanpa program aksi yang efektif dan efisien menyasar ke jantung permasalahan di tengah masyarakat. Saking tidak efektif dan efisiennya, dana yang disalurkan pemerintah kepada kementerian kesehatan kabarnya tidak sampai dua digit triliun. Mengenaskan.

Menilik sengkarut ini, dari kacamata komunikasi politik dan komunikasi publik dapat disimpulkan, masyarakat boleh dihimbau, bahkan wajib selalu diingatkan, namun usaha edukasi dan sosialisasi mengenai prosedur menaati protokol kesehatan tidak kalah pentingnya. Faktor-faktor yang mampu membuat semua orang (termasuk para menteri) tersadar untuk senantiasa patuh terhadap protokol kesehatan dan cepat bertindak sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mestinya diukur dan dianalisis, diprediksikan tingkat efektivitasnya di tengah masyarakat dan dibarengi dengan strategi yang persuasif pula. Terakhir, jangan lupa, mesti ada evaluasi kontinu setiap hari sekaitan program aksi yang implementasinya mewujud pada program fisik.

Hal yang juga bukan hal gampang, demi menuju solusi tersebut, sekali lagi adalah masalah mental. Mental manusia Indonesia, sebagaimana yang pernah dikritik secara sarkastik oleh Mochtar Lubis di pertengahan 1970-an, yaitu suka menerabas dan melanggar aturan sudah seharusnya ‘diobati’ dan dikikis habis. Pekerjaan Jokowi sejak awal kampanye di periode pertama kepemimpinannya  mengenai revolusi mental sudah saatnya kembali digemakan dan diimplementasikan secara serius, masif dan sistematis.

Mental yang kuat dan berusaha keras untuk mendisiplinkan diri sendiri agar lingkungan semakin menjauh dari pandemi sehingga ikut mengeliminasi wabah global adalah modal utama agar ketertinggalan secara sosiologis dan kultural tidak malah menjadi kontra-produktif terhadap usaha kita menghalau pandemi Covid-19 di negeri ini.

Bagaimanapun, tontonan Presiden marah-marah di media sejatinya belumlah menjadi angin segar bagi kita sebelum memang berdampak kepada keseriusan segenap elemen pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya di tengah problem akibat pandemi mengerikan ini. Yang kita butuhkan tetap aksi nyata yang mampu menekan penyebaran pandemi ini, bukan malah semakin menjadi dari hari ke hari, sementara kebiasaan baru selalu dikampanyekan.

Kesimpulannya, mental baru lebih penting dibentuk, namun jangan hanya sampai di situ, butuh implementasi konkret untuk sama-sama berdisiplin, barulah kebiasaan baru yang kita jalankan efektif mengusir Corona dari negeri ini. [*]


Mohammad Isa Gautama
Pengamat Komunikasi Politik dan pengajar di jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)