Debat Cagub Sumbar

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi

Wiko Saputra. [Karikatur: Dokumentasi Pribadi]

Menjemukan. Tak ada unsur debatnya. Tak ada saling serang. Hanya menyampaikan visi-misi dan program. Yang semuanya normatif dan abstrak. Mungkin itu gambaran umum debat pasangan calon (paslon) gubernur Sumbar yang akan berlangsung pada 23 November dan 3 Desember 2020.

Memang begitulah. Ajang debat, yang seharusnya menjadi bagian penting untuk menggali dengan dalam kemampuan masing-masing paslon, seringkali berakhir antiklimaks. Kita seakan-akan hanya mendengarkan pidato masing-masing paslon. Debat pun berubah menjadi lomba pidato. Bisa ditebak, yang dianggap unggul adalah paslon yang kemampuan pidatonya hebat.

Debat pilkada tak menjadi referensi penting bagi pemilih menentukan pilihannya. Itulah gambaran dari demokrasi elektoral di Indonesia saat ini. Parahnya, debat paslon hanya menjadi syarat wajib pada proses pilkada. Akhirnya, kegiatan penting ini pun hanya menjadi kegiatan seremonial.

Tentu kita tak berharap ini terjadi pada debat pilkada Sumbar. Harapannya, debat yang akan berlangsung dua putaran ini, betul-betul menjadi ajang bagi masing-masing paslon menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Oleh karena itu, kita berharap, masing-masing paslon menyiapkan diri sebaik mungkin. Begitu juga dengan penyelenggara debat, harus mendesain acaranya dengan profesional dan semenarik mungkin.

Tapi, jangan juga seperti debat pilpres Amerika Serikat (AS) pertama. Brutal! Saling caci maki. Apalagi Donald Trump, mengeluarkan semua karakter aslinya: suka menyerang lawan, fitnah dan penuh ujaran kebencian. Itu pun tak elok dipertontonkan di ruang publik.

Ada dua putaran debat yang telah disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar. Debat pertama dengan tema ekonomi, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Debat kedua bertemakan tata kelola pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua tema itu, telah mewakili konteks pembangunan Sumbar ke depan.

Dalam aspek ekonomi, kita tahu, siapa pun pemimpin Sumbar yang terpilih, akan menghadapi tantangan berat. Resesi yang memicu krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, telah menyebabkan perekonomian Sumbar porak-poranda. Dalam dua kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi Sumbar minus. Diprediksi, dampak krisis ini baru bisa pulih di 2022.

Ini tentu menjadi tantangan berat bagi pemimpin Sumbar ke depan. Sumbar membutuhkan pemimpin yang bisa mengelola krisis ekonomi ini dengan baik. Di debat ini, kita perlu lihat bagaimana kemampuan masing-masing paslon memaparkan agenda mereka dalam menghadapi krisis tersebut.

Jangan tergiur oleh paslon yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi tinggi. Jika ada paslon yang berani mematok pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada 2021 dan 2022, maka ia lagi bermimpi. Seperti dulu salah satu paslon presiden dan wakil presiden yang menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 7% per tahun. Itu mustahil terwujud.

Carilah paslon yang sedikit pesimis dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi, memiliki program-program yang terukur untuk mengelola krisis ini dalam jangka pendek. Salah satunya adalah bagaimana mendorong APBD 2021 dan APBD 2022 pro terhadap peningkatan daya beli masyarakat. Karena, krisis ini telah memukul daya beli masyarakat, terutama pada kelompok menengah dan miskin.

Perlu diketahui, tahun ini, implementasi APBD Sumbar sangat amburadul. Pengeluaran konsumsi pemerintah terburuk dibanding indikator lainnya dalam pertumbuhan ekonomi. Itu artinya, pemerintah daerah tak ada di tengah masyarakat, yang lagi bertarung menghadapi tekanan ekonomi. Kita tak mau, itu terulang lagi.

Dalam aspek pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, pasti semua paslon ingin menawarkan konsep tata kelola SDA yang baik dan pro terhadap pelestarian lingkungan hidup. Jadi, jangan terkejut, kalau nanti akan ada jargon “Sumbar Hijau” dari paslon.

Tapi, hati-hati juga dengan jargon tersebut. Biasanya, mereka dengan mudah bikin jargon pembangunan hijau. Meski demikian, implementasinya dalam kebijakan dan program bisa dikatakan nol. Buktinya sudah ada, “Riau Hijau”. Faktanya, setiap tahun masih sering terjadi kebakaran hutan dan lahan di sana.

Yang kita perlukan adalah bagaimana paslon memiliki visi-misi dan program yang terukur dalam mengalokasikan anggarannya untuk mendorong perbaikan tata kelola SDA dan pelestarian lingkungan hidup. Kita membutuhkan anggaran daerah yang berbasis ekologi dan bernilai manfaat terhadap perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup. Jika ada, paslon yang berani merestrukturisasi APBD berbasis ekologi, maka itulah paslon yang paham tentang konsep pengelolaan SDA yang baik dan pelestarian lingkungan hidup.

Terus bagaimana dengan tema tata kelola pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Saya sudah siapkan tulisannya. Tapi, sebaiknya kita ulas minggu depan. Mohon bersabar.

Selamat berdebat!


Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)