"Orang tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu, asal usul, dan budaya mereka seperti pohon tanpa akar." (Marcus Garvey)
"Sukses tidak diukur dari apa yang kamu capai, tetapi oleh perlawanan yang kamu jumpai, dan keberanian yang kamu miliki untuk mempertahankan perjuangan melawan peluang yang luar biasa." (Orison Swett Marden)
Lama sudah pemikiran tentang DIM mengendap di balik tirai cita-cita luhur akal sehat kita. Tercecer dalam dinamika hidup yang kian kompleks. Sebenarnya makin kompleks tantangan hidup bernegara makin kuat pula upaya antitesis koreksi terhadap kebijakan Pemerintah Pusat (PP).
Hal ini, jika abai akan menjadi sebuah kesalahan pada warisan agung falsafah ABS-SBK. Bahkan, dosa warisan pada anak cucu yang bakal penerima legacy dalam keadaan gamang.
Pada awal tahun 2021, semangat DIM kembali mengkristal dipicu oleh kebijakan PP yang dinilai kurang adil yakni SKB 3 Menteri. SKB dimaksud yang diduga dibuat serampangan tanpa kajian akademis yang mendalam ditandai dengan adanya pengabaian terhadap local wisdom yang sudah mendarah daging.
Perlawanan terhadap SKB dimaksud memberikan pesan yang jelas. Local wisdom ABS-SBK merasa dikangkangi dengan semena-mena tanpa musyawarah dan mufakat. Wajar daerah merasa dipaksa menerapkan ketentuan yang sekuler dan bertentangan dengan agama dan adat setempat. Semua komponen masyarakat di Minangkabau mengajukan protes keras.
Suasana ini tidak sehat bagi negara demokrasi. Kecuali jika bangsa ini secara gradual sudah meninggal sebagai negara demokrasi. Mestinya PP membuka ruang dialog yang bijak, nalar, dan konstruktif. Hindari perilaku otoritarian yang sok kuasa dan memaksakan kehendak dengan koersif kekuasaan. Dengarkan suara local wisdom agar bangsa ini stabil dari perspektif ekonomi politik.
Wajar saja muncul kembali kepermukaan cita-cita DIM guna memperkuat pertahanan diri ABS SBK yang "Tidak Lapuk Karena Hujan, Tidak Lekang Karena Panas". Meskipun tidak ada kaitannya sama sekali.
Secara umum konsep DIM adalah penerapan sistem pemerintahan yang sejalan dengan ABS SBK dalam berbagai sektor antara lain Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama, dan Syariah.
Derivasinya dapat diberikan gambaran singkat antara lain di bidang pendidikan dan akhlak; ekonomi bisnis, dan perdagangan secara syariah; produktifitas Tanah Ulayat; revitalisasi Tigo Tungku Sejarangan; Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, serta semua komponen informal Bundo Kanduang, Generasi Milenial Paga Nagari.
Dalam perjalanannya timbul berbagai dinamika yang secara idealisme memiliki perbedaan yang mendalam yaitu antara Bentuk DIM dan Provinsi Minangkabau yang dicanangkan belakangan.
Pilihan DIM atau Provinsi Minangkabau?
Dari uraian singkat di atas tampak dengan jelas bahwa DIM merupakan jawaban terhadap merosotnya berbagai ketahanan poleksosbud bangsa. Berbeda dengan "Provinsi Minangkabau" yang terkesan hanya sekadar mengubah nama tanpa substansi dari realitas kompleksnya masalah di Minangkabau.
Menurut DR. Mochtar Naim, mamakai istilah “Minangkabau” pangganti Sumbar alias Sumatra Barat yang dipakai selama ini untuk Provinsi Sumatra Barat, itulah yang diinginkan selama ini. Tapi bukan itu saja. Kita menginginkan Provinsi Sumatra Barat dengan menukar namanya menjadi Provinsi Minangkabau yang bersifat “istimewa” ataupun “khusus,” seperti yang dibukakan pintunya oleh Pasal 18 B UUD 1945.
Apabila diteliti dengan jujur banyak sekali unsur Keistimewaan Minangkabau dari berbagai aspek antara lain pernah menjadi ibu kota negara ketika PDRI. Selanjutnya, komplitnya kontribusi kepada bangsa dan negara dari tokoh-tokoh hebat secara merata dalam berbagai profesi.
Mulai dari politisi, pelaku bisnis, budayawan (penulis, penyair, sineas, pelukis, dll), militer, agama, pendidikan, profesionalis pemerintahan dan swasta. Selain itu, dalam ciri spesifik antara lain karakter entrepreneur yang kuat, perilaku suka merantau ke seluruh penjuru dunia, penerapan demokrasi tradisional yang egaliter. Semuanya sangat khas yang secara umum belum tentu dimiliki oleh daerah lain.
Selanjutnya DR. Mochtar Naim, menguraikan Empat Keistimewaan yang utama:
Pertama, masyarakat Minangkabau bersifat matrilineal, bukan patrilineal, dan bukan pula matriarkal, sistem ini jarang ditemukan di dunia. Intinyo adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kapada “Ibu” alias wanita atau perempuan dalam kehidupan berumah tangga dan bamasyarakat, seirama dengan ajaran Islam yang juga menempatkan Ibu sebagai nan sangat dihormati. Ketika ditanya, siapa yang paling patut untuk dihormati, maka jawabnya sampai tiga kali: “ibumu, ibumu, ibumu.” Tapi itu pula yang sudah menurun selama ini di Minang sendiri sebagai akibat dari masuknya pangaruh luar ke dalam masyarakat Minang. Jadi tugas kita mengambalikan penghargaan yang sudah luntur kapada wanita inin untuk diperbaiki kembali.
Kedua, filosofi kehidupan yang dipakai di Minang selama ini adalah filosofi ABS-SBK: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Adat yang dipakai adalah Adat yang sejalan dengan Syarak. Yang tidak sejalan dibuang.
Jadi urang Minang itu esensinya beragama Islam. Bukan urang Minang kalau jika tidak beragama Islam. Tapi itu pula yang terjadi belakangan ini, sehingga baik di Padang maupun di Jakarta kini telah ada organisasi gereja Minang. Dan sudah ada pula Injil berbahasa Minang. Urang Minang yang pindah agama juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Ketiga, melalui supremasi budaya Jawa ka seluruh daerah di Indonesia ini, sistem pemerintahan terendah di NKRI adalah Desa seperti di Jawa. Sedang di Minang selama ini bukan Desa tapi Nagari yang sistem maupun strukturnya berbeda dengan Desa di Jawa. Nagari di Minangkabau adalah bagaikan “republik-republik kecil” (petites republiques) yang unsur eksekutif, legislatif dan yudikatifnya ada di tingkat Nagari sendiri.
Sistem kepemimpinannya pun juga terbagi tiga: Niniak-mamak, Alim-ulama dan Cadiak-pandai, yang masing-masing mewakili unsur Adat, Agama, dan Budaya.
Keempat, masyarakat dan budaya Minang memiliki sistem kepemilikan harta dalam dua bagian: "Harato Pusako Tinggi dan Harato Pusako Randah". Harato Pusako Tinggi, termasuk tanah, perumahan, dan harta tidak bergerak lainnya, tidak diperjualbelikan tapi diturunkan kepada keturunan berikutnya. Semantara harato pusako randah boleh dijual dan dipindah-tangankan secara hukum faraidh, jika perlu.
Minimal untuk keempat Keistimewaan di atas berlaku hukum adat dan hukum faraidh sakaligus. Oleh karena itu, untuk keempat Keistimewaan tidak berlaku hukum negara. Makanya harus diistimewakan yang difasilitasi pula oleh UUD 1945 pasal 18.
Realitas Kondisi Minangkabau versus Nasional
Dari perspektif ekonomi politik, banyak hal terjadi ketimpangan dari aspek produksi, distribusi, dan exchange. Ketimpangan dimaksud disebabkan oleh kekuasaan oligarki kapitalis yang makin menguat sehingga kebijakan tidak pro-rakyat. Dari aspek produksi, kekuatan ekonomi rakyat yang direpresentasikan oleh UMKM terasa makin susah dan terabaikan.
Sebagaimana diketahui Minangkabau 99% adalah pelaku bisnis UMKM yang merasakan langsung ketimpangan dimaksud.
Dalam hal korporasi, sering terjadi penguasaan lahan industri perkebunan dengan mengabaikan hak Tanah Ulayat. Kalau tidak mau disebut perampasan. Tanah Ulayat di Minangkabau adalah suatu yang sakral yang akan dibela sampai mati oleh kaum pewaris ulayat dimaksud.
DIM akan menyiapkan persyaratan investor yang sesuai dengan ABS SBK antara lain menempatkan tanah ulayat dalam post "Penyertaan" sehingga menjadi produktif tanpa kehilangan hak ulayat.
Begitu terjadi ketimpangan pada aspek produksi, otomatis dari aspek distribusi juga mengalami hal yang sama sehingga pencapaian pemerataan yang menjadi parameter ekonomi Minangkabau makin jauh.
Dari aspek exchange, tampak Minangkabau lebih percaya diri dalam mengatur sendiri terutama dalam komoditi value in use karena memiliki kekuatan perdagangan masyarakat yang handal. DIM yakin mampu mengatur dan meningkat pertumbuhan ekonomi terutama pemerataan yang sering diabaikan secara nasional.
Dari perspektif politik, jelas sekali timbulnya ketidaknyamanan atas kebijakan PP yang cenderung sekuler yang sangat bertentangan dengan local wisdom ABS SBK.
Dalam hal dukungan PP terhadap "Islam Nusantara", bagi Minangkabau juga dianggap mencederaikan ABS-SBK. Begitu juga dalam meningkatkan akhlak generasi milenial bagi DIM lebih yakin dengan pola kultural yang sudah terbukti efektif dan sukses selama ini yang buktinya dapat ditelusuri secara historis.
Dalam hal risiko narkoba, DIM meyakini dapat memberantasnya dengan menggunakan hukum adat dan perangkat Tigo Tungku Sejarangan yang dapat menimbulkan efek jera. Dengan demikian DIM merupakan mitra dan perpanjangan tangan efektif bagi PP dalam mengatur daerah sebagai subsidiary-nya.
Strategi Perjuangan DIM
Perjuangan Sumbar menjadi DIM adalah dalam koridor NKRI. Sebuah upaya riil guna memperkuat NKRI melalui penguatan kultural daerah. Kestabilan NKRI sangat ditentukan dari kestabilan daerah sebagai sebuah bagian integral entitas nasional.
Dengan demikian, terdapat simbiosis mutualistis antara DIM dan PP. Semua kepentingan PP dapat dilaksanakan dengan bijak oleh DIM sejalan dengan local wisdom yang dimiliki sehingga benar-benar menjadi kekuatan yang mengakar dalam masyarakat ABS SBK.
Dengan demikian, perjuangan DIM harus memiliki strategi yang tepat, antara lain:
Pertama, secara politis, perlu dikaji lebih prudent dari SWOT antara lain menelisik berbagai hambatan proses yang akan dihadapi. Dalam hal ini, perlu diteliti lebih cermat arena kontestasi antarkelompok kepentingan yang pro dan kontra DIM di PP, mengingat sedang berlangsung proses metamorfosis kebijakan PP dalam orientasi politik nasional.
Kedua, secara populis, DIM harus melakukan internalisasi ke seluruh komponen masyarakat yang ada di akar rumput baik di Ranah maupun di Rantau sehingga dukungan "kok bulek dapek digolongkan, kok picak dapek dilayangkan".
Ketiga, menggalang dukungan dari tokoh non-Minang secara nasional dan internasional mengingat banyak dukungan tokoh-tokoh non-Minang atas keberadaan DIM. Dukungan ini, lebih pada keyakinan atas keistimewaan Minangkabau yang mereka pahami dari pengalaman perjuangan bangsa, dinamika kehidupan, hasil kontribusi Minangkabau secara nasional, dan literasi.
Keempat, secara psikologis, hindari perjuangan DIM atas dasar dorongan emosi masyarakat sesaat. Perjuangan DIM adalah atas dasar kajian akademik yang rasional, nalar, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kelima, secara tehnis, kajian akademik yang sudah disiapkan sebaiknya direvisi, menyesuaikan dengan dinamika politik nasional yang bergerak cepat.
Kesalahan dalam strategi perjuangan DIM dapat saja memperoleh hasil diluar yang diharapkan misalnya terjadi "stagnan" proses karena adanya penolakan secara hukum.
Berangkat dari uraian di atas, dapat disarankan, bahwa proses perjuangan DIM di PP sebaiknya memperhatikan "momentum" yang tepat dengan mencermati dinamikan politik yang sedang berlangsung di PP.
Perjuangan DIM harus terencana dengan baik didukung kajian akademik yang holistik sehingga tidak terkait secara langsung dengan masalah SKB 3 Menteri yang sedang hangat.
Baca juga: Guspardi Gaus Sebut Usulan Penggantian Nama Daerah Istimewa Minangkabau Sudah Diterima DPR RI
Hindari terjadinya stagnan proses yang menuju jalan buntu (dead lock) sebagai akibat dari kesalahan strategi yang tidak perlu. Begitu sampai pada titik dead lock maka semua amunisi akan habis untuk memulai dan melanjutkan kembali perjuangan DIM. Demikian, "kurenah" dunia politik sehingga perlu ekstra hati-hati. [*]
Iramady Irdja
Doktor Ilmu Politik, Unas dan Mantan Deputi Dir. Bank Indonesia