Di tahun 2012, Amar mulai memberanikan diri mencari seorang psikolog. Hal itu ia lakukan untuk bisa mendapat jawaban dari keresahan yang selama ini ia alami.
Amar memutuskan untuk pergi ke Semarang hingga Yogjakarta, agar bisa bertemu dengan psikolog yang bisa membantu dirinya.
Kurang lebih 2 tahun lamanya, Amar bertemu dengan sejumlah prsikolog yang justru membuatnya semakin tertekan. Hingga di 2016, ia menemukan bantuan atas masalahnya itu.
“Sejak 2014 tiga kali bertemu psikolog, dari Kendal ke Semarang dan Jogjakarta. Sayangnya mereka transphobic dan justru menceramahi saya. Pada 2016 di Jogjakarta, Alhamdulillah akhirnya bertemu psikolog yang bisa mengidentifikasi masalah saya,” tuturnya.
Selama enam bulan Amar menjalani observasi bersama psikolog tersebut. Hasilnya, ia didiagnosa mengidap dysphoria gender. Yaitu, kondisi di mana identitas gender tidak sesuai dengan genitalia.
Amar merasa lega, pertanyaannya selama ini terjawab sudah. Amar lantas menjelaskan keadaannya kepada kedua orang tua. Meski sempat merasa takut, Amar bersyukur karena Ayah dan Ibunya menghargai pilihannya.
“Saya bersyukur karena mereka masih menganggap saya sebagai anak dan memperhatikan hak-hak saya. Saya tidak diusir, ibu saya juga lega karena saya sudah mau cerita,” ujarnya.
Lantaran pilihan Amar tersebut, ayah dan ibunya sering mendapat cemoohan dari orang sekitar. Ditambah lagi, status mereka sebagai Kiai dan Bu Nyai, dan pengasuh pondok pesantren membuat ayah dan ibu Amar sering dipandang sebelah mata.
Ning Amalia yang dulu memakai kerudung, bertransformasi menjadi Gus Amar, berkopiah dengan jambang lebat di wajahnya. Amar pun tak henti meyakinkan dan memberi pemahaman jika yang ia lakukan diakui dan dihargai dalam Islam.
Lambat laun, orang tuanya mulai menerima kondisi anak bungsu dari tiga bersaudara itu. Keduanya saling menghormati dan mendukung, bahkan saat Amar melakukan sidang pergantian nama, orang tua dan kakak Amar hadir untuk memberi kesaksian.
Baca juga: Anjing Diduga Jelmaan Pelajar SMP Dikubur Hidup-hidup, Begini Reaksi Warganet
“Saya dengar penjelasan kiai kalau yang dilihat Allah itu ketakwaan kita, bukan gender kita. Saya juga sering diskusi dengan tokoh Islam yang humanis dan menghargai keberagaman. Orang tua saya sendiri alhamdulillahnya tidak memaksa pun menyerang,” ungkap Amar.
Meski tak mudah, Amar mengaku beruntung dibandingkan dengan orang lain yang tak mendapat dukungan dari orang tuanya sendiri.
Ia berharap kisahnya itu mampu menggerakkan empati warganet pada kelompok gender minoritas, dan mengikis berbagai ancaman serta kekerasan yang banyak dialami oleh kaumnya.
“Saya ingin mengedukasi masyarakat tentang keberagaman gender. Saya beruntung orang tua saya mendukung menjadi transman, tetapi di luar sana banyak yang tidak. Ada yang sampai diruqyah, diusir, bahkan diperkosa,” katanya. [*/Prt]
Baca berita viral terbaru hanya di Padangkita.com