Bumi sanang padi manjadi
Padi masak, jaguang maupiah
Anak buah sanang santoso
Taranak bakambang biak
Bapak kayo, mandeh batuah
Mamak disambah urang pulo
Pantun di atas mengambarkan sebagian falsafah hidup orang Minang. Dulu, sebelum modernisasi pembangunan. Saat smartphone belum ada. Uda-uni belum tersambung ke facebook/youtube/twitter/instagram. Para saudagar belum setamak sekarang. Cadiak pandai (ilmuwan) belum suka hoaks. Alim ulama belum pandai berdagang ayat Al-Quran/hadist. Penghulu (kepala suku) belum tahu cara mengadaikan tanah ulayat. Dan para pamong tak pandai korupsi.
Masa itu, alam menjadi modal utama penghidupan. Krisis ekonomi bukan diakibatkan oleh kenaikan inflasi, suku bunga atau apalah istilah-istilah moneter yang keren-keren itu. Tapi, terjadi karena alam yang tak bersahabat, seperti kemarau panjang, banjir, dan sebagainya. Oleh karena itu, kepatuhan menjaga alam menjadi penting. Sampai dijadikan falsafah hidup oleh masyarakat Minang saat itu.
Alam yang lestari menjadi berkah bagi perekonomian masyarakat (bumi sanang, padi manjadi//padi masak, jaguang maupiah//taranak bakambang biak). Hasil panen melimpah ruah. Bisa dikatakan, tak ada krisis pangan yang terjadi saat itu, apalagi kelaparan. Tak seperti sekarang, satu dari tiga anak balita di Ranah Minang mengalami masalah gizi akut atau stunting (Kementerian Kesehatan, 2018).
Itu dulu. Masa dimana musyawarah menjadi cara mengambil keputusan (bajalan batolan//bakato baiyo//baiak runding jo mufakat). Bukan demokrasi liberal yang melahirkan pemimpin perusak alam. Demi kekuasaan, hutan ditebang seenaknya untuk mendapatkan modal Pilkada. Hasrat kekuasaan itu meremehkan kekuatan alam. Karena dieksploitasi, alam memberontak sedemikian rupa. Tapi, bagi mereka, kemarau, banjir dan tanah longsor hanya musibah belaka. Yang merupakan takdir dari Maha Kuasa.
Sekarang, alam semakin melihatkan kekesalannya. Bila kemarau panjang, banjir dan tanah longsor sudah dianggap biasa. Kini alam menciptakan virus maha dahsyat, di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia pada zaman modern ini: virus SARS-CoV-2. Sumatera Barat tak luput dari wabah ini.
Ternyata wabah ini tak bisa juga menghilangkan kepongahan manusia. Di saat kasus infeksi sedang tinggi-tingginya. Setiap hari ratusan orang yang terinfeksi meninggal dunia. Sistem kesehatan pun tak sanggup mengantisipasi lonjakan kasus. Dan tenaga medis, satu demi satu sudah berguguran. Kita masih berhuru-hara dengan Pilkada. Nyawa tak ada nilainya, dibanding hasrat politik.
Kini kita hanya berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan tetap berusaha menegakkan protokol kesehatan. Sembari itu, kita berharap Pilkada Sumatera Barat yang akan datang, mampu melahirkan pemimpin yang tak sekadar paham dengan falsafah hidup orang Minang tersebut, tapi aktif dalam pelestarian alam (ekologi). Harapannya, kita ingin Provinsi Sumatera Barat menjadi provinsi ekologi. Bisa mambangkiak batang tarandam (mengembalikan falsafah hidup yang hilang).
Tak rugi menerapkan konsep pembangun berbasis ekologi. Apalagi, dalam konteks Sumatera Barat. Ini bisa menjadi pondasi dalam pembangunan daerah. Bumi Ranah Minang kaya dengan keanekaragaman hayati dan ekosistem lingkungan. Itu ibarat mutiara yang belum dipoles. Yang bisa mendatangkan pundi-pundi kesejahteraan.
Pandemi ini juga telah mengubah landscape pembangunan global. Pembangunan hijau (green development) akan menjadi tren baru bagi peradaban manusia. Itulah new normal. Yang dulu, mereka seenaknya saja merambah hutan untuk kepentingan ekonomi. Di era new normal, melestarikan hutan adalah sumber ekonomi baru.
Bahkan beberapa negara sudah menginisiasi konsep integrasi pembangunan: ekonomi, sosial dan ekologi. Konsep ini disebut dengan ‘ekonomi donat’ (doughnut economy). Konsep yang pertama kali disampaikan oleh Kate Raworth, ekonom lulusan Oxford University pada 2017.
Donut dianggap simbolik dari sebuah sistem ekonomi. Dimana lingkaran dalamnya dianggap sebagai pembangunan yang berorientasi pada penguatan pondasi sosial dan ekonomi (pemenuhan hak dasar kehidupan). Sedangkan, lingkaran luarnya adalah penguatan kapasitas sumber daya ekologi. Dalam konsep ini, ekologi jadi benteng atau pondasi mewujudkan kemandirian ekonomi dan ketahanan sosial.
Kota Amsterdam Belanda menjadi kota pertama di dunia yang mendeklarasikan pembangunan ‘ekonomi donut’ pada April 2020. Banyak kota-kota lain yang segera mengikutinya, seperti beberapa kota di Selandia Baru, Skotlandia, Wales, Afrika Selatan dan China. Inilah arus utama model peradaban pembangunan ke depan.
Tak hanya kebijakan pembangunan yang berubah. Tapi, para investor yang memiliki modal pun bertransformasi ke investasi hijau (green investment). Faktanya, selama pandemi, hanya indeks saham hijau yang berjaya, di saat yang lain rontok.
Data dari Morningstar pada 2020 menunjukan pada kuartal II/2020 tercatat 534 dana indeks hijau dengan nilai kapitasi pasar mencapai US$ 250 miliar. Jumlah aset secara global yang dikelola sebesar US$ 1 triliun. Tren itu juga terjadi di Indonesia. Indeks hijau yang dikelola oleh Yayasan Kehati tetap tajir, disaat indeks lain terjungkir.
Sumatera Barat harus masuk ke dalam peradaban baru ini. Oleh karena itu, kita butuh pemimpin yang punya visi tersebut. Pemimpin yang bisa membawa Ranah Minang menjadi provinsi ekologi. Provinsi yang mengadopsi konsep ‘ekonomi donut’.
Sebenarnya, sebelum Kate Raworth memikirnya, orang Minang sudah menerapkannya. Bahkan sudah menjadi falsafah hidup. Tapi, sekarang falsafah hidup itu hilang dalam peradaban orang Minang. Sudah selayaknyalah falsafah itu dihidupkan lagi.
Kalaulah falsafah hidup itu benar-benar diamalkan oleh masyarakat, maka masyarakat Sumatera Barat akan masuk ke era baru peradaban pembangunan global. Kelestarian alam akan menjadi berkah bagi kemajuan pembangunan di Sumatera Barat.
Bapuntuang suluah sia
Baka upeh racun sayak batabuang
Paluak pangku adat nan kaka
Kalanggik tuah malambuang.
[*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang