Syofiardi Bachyul JB
Ketua Majelis Etik Nasional AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Ahli Pers dari Dewan Pers.
Pembedaan yang tegas tersebut bertujuan agar tidak bercampur "air dengan minyak", agar karya jurnalistik yang merupakan hasil kerja wartawan yang profesional tidak terkontaminasi oleh kepentingan bisnis.
Idonesia mulai memasuki musim pilkada (pemilihan kepala daerah) dan berita pilkada mulai menghiasi halaman media pers tanah air, baik cetak maupun siber dan televisi.
Sebagai salah satu alat untuk mempengaruhi publik, media pers pun menjadi elemen penting bagi para tokoh yang akan maju dalam pemilihan dan tim suksesnya untuk dimanfaatkan.
Sebaliknya, para pengelola media pun memanfaatkan momentum pilkada untuk keuntungan medianya, baik untuk mendokrak pembaca maupun mendongkrak pendapatan (bisnis).
Namun mengelola media pers tidak sama dengan mengelola bisnis yang tidak terkait dengan profesi (bahkan bisnis umum pun sangat berhati-hati dalam dukung-mendukung saat pemilu karena mereka sadar mereka membutuhkan dukungan dari pihak manapun agar pelanggan tetap banyak).
Bisnis pers adalah bisnis khusus. Mengelolanya tidak boleh sembarangan, karena kegiatan pers adalah bentuk kegiatan pelayanan publik melalui profesi di bidang jurnalisme.
Melalui UU No 40/1999 negara menjamin kemerdekaan pers, yaitu menjamin perusahahaan pers memberikan pelayanan publik di bidang jurnalistik. Namun agar kebebasan itu tidak disalahgunakan maka pengelola media harus bekerja dengan profesional.
Cara kerja profesional tersebut sebagian diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers dan sebagian besar diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers pun menerbitkan sejumlah pedoman sebagai menjelaskan cara kerja media profesional.
Salah satu yang diatur adalah pemisahan konten (baik tulisan maupun gambar) produk jurnalistik dengan iklan. Publik (pembaca atau permirsa) harus bisa melihat perbedaan kedua jenis produk ketika dimuat, bisa dengan memberikan judul rubrik atau penjelasan, bisa pembedaan jenis huruf (font), dan pencantuman nama penulis atau editor yang diiklan tidak boleh ada keterlibatan mereka.
Pembedaan yang tegas tersebut bertujuan agar tidak bercampur "air dengan minyak", agar karya jurnalistik yang merupakan hasil kerja wartawan yang profesional tidak terkontaminasi oleh kepentingan bisnis. Dalam jurnalistik ini disebut "pagar api", yaitu pemisahan tegas urusan jurnalistik (redaksi atau editorial) dengan bisnis (iklan).
Cara kerja wartawan profesional sudah cukup jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Terkait hal itu Dewan Pers melakukan berbagai upaya, di antaranya mewajibkan wartawan di Indonesia lulus uji kompetensi dan media pers terdaftar di Dewan Pers dengan proses syarat verifikasi di antaranya penanggung jawab atau pemimpin redaksi memiliki sertifikat kompetensi wartawan utama.
Prosedur seperti ini mestinya bisa menambah jaminan kepada publik bahwa wartawan dan media bisa bekerja lebih profesional, yaitu menghasilkan berita yang berkualitas (yang diproduksi sesuai etika).
Lalu kenapa masih ada berita yang partisan yang judulnya saja sudah berbunyi "ayo menangkan" ketika memberitakan seorang tokoh yang akan menjadi peserta dalam pilkada provinsi? Juga tidak ada penjelasan apakah konten tersebut adalah iklan (advetorial atau inforial).
Produk jurnalistik seperti ini telah mengabaikan salah satu asas dasar dalam jurnalisme, yaitu independensi. Lawan berat independensi adalah partisan. Partisan dalam pemilu setali tiga uang dengan kegiatan jurkam (juru kampanye) atau timses (tim sukses). Kegiatan partisan ini tidak termasuk yang dilindungi UU Pers.
Berikanlah informasi yang benar dan memadai kepada publik agar mereka bisa memilih pemimpin yang berkualitas. (*)