Cerita ini termuat dalam naskah kuno peninggalan Kesultanan Buton Kanturuna Mohelana yang bermakna Pelitanya Orang Berlayar.
Dikisahkan pada abad ke-16 seorang pimpinan kapal dari Portugis menikah dengan gadis bangsawan dari Pulau Siompu, bernama Waindawula.
Ia merupakan anak dari La Laja, bangsawan Wolio yang juga berkerabat dekat dengan La Ode Ntaru Lakina Liya, seorang Raja Liya yang berkuasa tahun 1928.
Baca juga: Ini Desa Kurcaci di Dunia, Ada di Iran
Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah anak-anak campuran yang memiliki fisik khas Asia namun bermata biru seperi bangsa Eropa.
Sejak kepergian Portugis dan tanah nusantara jatuh dibawah kekuasaan Hindia Belanda, anak campuran dari orang tua pribumi dan bangsa asing dipandang sebelah mata.
Bagi bangsa Belanda, pribumi adalah kaum hina yang tidak setara dengan mereka, sehingga anak campuran adalah aib. Sedangkan bagi pribumi, anak campuran adalah darah pengkhianat.
Akibat stigma negatif ini membuat anak-anak campuran menyingkir ke beberapa wilayah seperti Liya (Kabupaten Wakatobi), Ambon, hingga Malaysia.
Anak-anak campuran juga menjadi tertutup dengan orang baru, meraka lebih memilih hidup di hutan atau kebun dan menghindari jalan-jalan ramai untuk menuju suatu tempat.
Belakangan stigma negatif tersebut mulai menghilang. Kelompok warga yang bermata biru pun mulai membuka diri kepada masyarakat umum.
Bahkan jika terdapat acara-acara di Kesultanan Buton, warga bermata biru turut diundang sebagai salah satu tamu kehormatan. [*/Son]