Pada Sebuah Pasar

Pasar Seomun di Daegu, Korea.

Pasar Seomun di Daegu, Korea. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Pasar tidak hanya wajah sebuah kota, tetapi juga hati. Paulo Coelho pernah menulis, untuk memahami kehidupan sebuah kota, ada pada pub/bar lokal dan pasar. Bukan pada museum. Karena museum adalah saksi kehidupan di masa lalu. Bukan di masa kini.

Saya kurang suka bar karena cahaya lampu yang remang-remang. Dan musik yang kadang bikin gendang telinga bisa pecah. Selama berjalan ke sana kemari, saya hanya dua kali masuk ke bar, di Boston dan Washington DC. Keduanya adalah bar jazz kecil.

Mereka hanya memainkan lagu-lagu jazz dengan live. Tidak terlalu gaduh. Dan saya pergi dengan teman. Selebihnya, saya lebih suka mengunjungi pasar. Dan, bisa di sana selama berjam-jam.

Di pasar, saya tidak saja hanya bisa melihat penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli. Pasar memiliki seni tersendiri.

Dengan pergi ke pasar, paling tidak kita akan tahu apa yang dimakan oleh penduduk kota itu dari barang-barang yang dijual di pasar.

Pasar Tsukiji

Berbagai Macam Ikan di Pasar Tsukiji, Tokyo, Jepang.

Berbagai Macam Ikan di Pasar Tsukiji, Tokyo, Jepang. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Ketika saya pergi ke Pasar Tsukiji di Tokyo, saya terkesima dengan berbagai macam jenis jamur, akar-akaran, rumput laut, dan lainnya yang dijual oleh para pedagang di tempat itu. Tsukiji tidak saja tempat tujuan bagi orang ingin membeli ikan segar ataupun makan sashimi dari restoran-restoran di situ. Dengan melihat ini, saya jadi tahu bisa bahan-bahan untuk membuat masakan Jepang yang terkenal super sehat itu.

Satu tempat dengan lainnya pasti akan berbeda jenis barang yang dijual. Kalau misalnya kita pergi ke pasar-pasar di Belanda, kita akan lebih banyak melihat jenis keju atau barang-barang yang sudah dibuat acar (pickles) atau daging-daging yang sudah diasinkan (cured meat). Kalau di Prancis, akan ditambah dengan berbagai macam jenis butter yang dijual, selain keju.

Dengan pergi ke pasar, kita juga bisa melihat murah atau mahal sebuah kota. Yaitu, dengan melihat perbedaan harga bahan mentah dan makanan yang dijual di pasar.

Baca juga: Ambyar di Pasar Natal Augsburg

Di Pasar Seomun, Daegu, harga satu keranjang apel berisi 11 biji hanya seharga KRW5,000, sedangkan dan satu biji pear di Pasar Gwangjang Seoul, seharga KRW4,000. Meskipun barang yang dibeli berbeda, dari sini bisa dilihat jika biaya hidup di Seoul lebih mahal dibandingkan dengan biaya hidup di Daegu.

Tidak hanya harga buah yang bisa menjadi pembeda biaya hidup di satu kota. Tetapi juga bisa dilihat dari harga sebiji fish cake (eomuk). Di Pasar Seomun Daegu, sebiji dibanderol KRW 750, tetapi di Pasar Jungang, Gangneung masih KRW 500 per biji. Ini berarti, biaya hidup di Gangneung lebih murah dibandingkan di Daegu.

Sayuran di Pasar Tsukiji Tokyo, Jepang.

Sayuran di Pasar Tsukiji Tokyo, Jepang. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Pasar juga tempat kita untuk mendapatkan makanan dan jajanan yang enak dan murah. Terutama di negara-negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Dengan adanya jajanan yang enak dan berlimpah ini, bisa membuat tukang jajan seperti saya ini kalap sampai ampun-ampun.

Di Pasar Jungang di Gangneung, para penjual makanan akan dibagi dalam blok-blok tergantung pada makanan yang dijual. Misalnya bagian tteok (kue beras), ayam goreng Korea, tteokbokki, sundae (sosis darah), jeon (pancakes), buah-buahan, dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan para penjual eomuk dan twisted donut di counter-counter yang ada di pinggiran-pinggiran luar pasar.

Penataan ini membuat pencinta jajan menjadi galau dan mengalami salah satu krisis terbesar dalam hidupnya. Kita ingin makan semuanya, tapi apa daya, kita hanya punya satu perut. Dan kadang, ukuran perut kita berbeda-beda. Ini terjadi pada saya.

Sebagai pencinta kue beras, ketika saya berakhir dengan membeli tiga macam – ssuk injeolmi, gamja tteok, dan sirutteok. Kenapa tidak satu? Ya karena saya suka dan pengen icip semuanya. Tapi jelas, saya tidak bisa menghabiskan tteok ini di dalam waktu bersamaan. Karena saya tidak bisa menghabiskannya di Gangneung, mau tidak mau harus saya bawa ke kota berikutnya.

Pasar Korea

Jajanan di Pasar Gwangjang, Seoul, Korea.

Jajanan di Pasar Gwangjang, Seoul, Korea. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Ketika pergi ke pasar-pasar di Korea, tidak saja jajanan yang ingin kita coba. Buah tidak terkecuali. Karena, buah-buahan di Korea terkenal enak dan besar-besar. Misalnya saja apel, pear, jeruk Jeju (hallabong), strawberry, dan sebagainya.

Di Korea, umumnya ketika kita membeli buah di pasar, pedagang akan menempatkan buah-buahan dalam satu keranjang kecil. Biasanya harga ditetapkan untuk satu keranjang. Karena saya sudah kalap ingin makan apel Korea, ketika melihatnya di Pasar Seomun, saya sudah tidak tahan untuk tidak beli.

Maka saya belikan satu keranjang itu. Isinya tidak tanggung-tanggung, 11! Kalau mau coba, sebenarnya bisa satu atau dua. Tetapi, saya harus beli satu keranjang. Overwhelmed, saya bingung apa yang harus saya lakukan dengan  apel-apel itu karena saya harus pindah ke Busan sore itu. Akhirnya, saya tawarkan kepada orang-orang yang mau.

Baca juga: Roti, Roti Terus, Nasinya Mana?

Alhasil, ketika pergi ke Busan, saya masih membawa delapan biji apel! Dan, apel itu juga tidak bisa saya habiskan selama di Korea dengan banyaknya jajanan murah di kota-kota berikutnya. Percaya tidak, apel itu saya bawa ke Indonesia.

Jajanan murah di pasar, tidak saja ada di Korea. Pasar Albert Cuypt di Amsterdam juga tempat jujugan jika kebetulan kita sedang pergi ke kota ini. Harga-harga jajanan lumayan terjangkau. Misalnya saja, untuk satu gelas juice dari buah segar dan satu buah sandwich ikan haring mentah akan dijual dengan harga EUR1.

Gukbap Sapi di Pasar Jungang, Gangneung, Korea.

Gukbap Sapi di Pasar Jungang, Gangneung, Korea. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Namun memang, jika kita bandingkan jajanan di negara-negara bule dan Asia bedanya jauh sekali. Bagaimanapun juga, jajanan di pasar-pasar di Asia lebih bermacam-macam jenis dan rasanya.

Hal yang paling saya suka dari pasar adalah kita bisa ngobrol dengan penjualnya. Sebagai introvert yang kadang banyak cerita, saya paling suka ngobrol dengan pedagang. Dan, pasar adalah tempatnya. Ketika satu malam saya melangkah masuk ke dalam rumah makan yang jualan gukbab (nasi sup) di Pasar Jungang, untuk keberapa kalinya saya mencoba praktik Bahasa Korea saya yang patah-patah untuk order makanan.

Ajumma yang melayani nampak kaget ketika saya memesan makanan dalam Bahasa Korea sembari bilang tidak makan babi. Malam itu berakhir dengan saya mengobrol dengan orang-orang di dalam restoran itu. Saya merasa, bahwa iseng saya belajar Korea ternyata ada gunanya. [*]


Hariatni Novitasari
Penulis

Baca Juga

Kereta cepat italo
600 KM Hanya Tiga Jam
Pasar Natal di Munchen, Jerman.
Ambyar di Pasar Natal Augsburg
Menikmati sandwich Le-crobag di statiun Freiburg, Jerman.
Roti, Roti Terus, Nasinya Mana?
De Santis: A Panini to Die For
De Santis: A Panini to Die For
Jalan-jalan Padangkita.com: Catatan perjalanan di Italia.
Drama Trenitalia 2: Terdampar di Lugano, Terbayarkan Panorama Dunia Dongeng
Pasta Vongole di Milan, Italia.
Makan Minum di Italia: Waspada Adds On, Coperto dan Tavolo