Sumur, dapur, kasur. Itulah stigma buruk makhluk hawa dulunya, mungkin sekarang juga masih ada. Stigma yang diskriminatif. Patut ditentang, karena kita menempatkan sosok perempuan pada tempat tak semestinya.
Perempuan itu harus sejajar dengan laki-laki, dalam semua hal. Kecuali, sesuatu hal yang dilarang dalam agama, seperti Islam melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki dalam salat berjamaah. Itu juga terjadi di ajaran Nasrani. Seorang tahbisan imam atau imam jabatan harus laki-laki. Tentu, itu ada alasan logisnya.
Tapi, dalam aspek kehidupan lainnya, seperti pendidikan, ekonomi, ketenagakerjaan, kesehatan dan politik, diskriminasi pada perempuan merupakah perbuatan tak beradab.
Perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang baik, selayaknya laki-laki. Perempuan berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan, perempuan berhak menjadi pengusaha sukses.
Perempuan pengusaha, itu sepatutnya menjadi aspek yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam memperkuat perekonomian.
Kenapa? Melibatkan perempuan secara aktif dalam perekonomian, mampu mempercepat akselerasi pembangunan ekonomi dan menanggulangi kemiskinan. Itu disampaikan peraih nobel ekonomi pada 1998: Amartya Sen.
Peranan perempuan tak sekedar sebagai pekerja, tapi menjadi pengusaha yang menentukan keputusan bisnis. Tapi dalam hal ini, proporsi perempuan pengusaha di Indonesia masih relatif kecil. Kuasa laki-laki masih dominan.
Sampai saat ini, Indonesia baru mempunyai dua orang pengusaha perempuan di jajaran 50 besar pengusaha terkaya di Tanah Air versi Majalah Forbes 2020.
Pertama, Kartini Muljadi berada di posisi 42 dengan total kekayaan sebesar USD 610 juta. Ia merupakan pemilik Tempo Scan Grup.
Kedua, Arini Saraswati Subianto, di posisi 43 dengan total kekayaan sebesar USD 610 juta, merupakan pemilik PT Persada Capital Utama.
Dalam wilayah yang lebih kecil lagi, yaitu Sumbar. Peranan pengusaha perempuan dalam perekonomian semakin minor.
Padahal, sistem matrilineal yang diusung oleh masyarakat Minang, menempatkan perempuan pada posisi penting dalam kehidupan sosial dan budaya. Garis keturunan mengikuti garis keturunan ibu, harta warisan diturunkan ke anak perempuan dan kekerabatan orang Minang lebih dekat ke garis keturunan ibu dibanding bapak.
Meskinya, dalam aspek ekonomi, posisi perempuan Minang sangat strategis.
Kenapa pengusaha perempuan Minang tak berkembang? Ini perlu lebih dalam melihat fenomena tersebut. Meski, di beberapa kasus, ada yang berhasil merintis bisnis, tapi itu tak banyak.
Saya berharap ada perubahan dalam aktor ekonomi di Ranah Minang. Di mana perempuan semakin memiliki peranan besar dalam perekonomian.
Saya yakin, perempuan Minang adalah perempuan yang tangguh. Secara karakter juga kuat sebagai pengusaha. Tapi, memang selama ini kesempatan itulah yang minim.
Saya tertarik, ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar (Mahyeldi-Audy) yang menawarkan program menciptakan pengusaha perempuan Minang dalam program prioritasnya jika terpilih. Saya respek dengan gagasan itu.
Saya bersyukur pasangan calon itu terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar lima tahun akan datang. Tentu, janji politik mereka itu harus kita tagih.
Bisakah itu mereka wujudkan? Memang membangun kewirausahaan itu tak seperti membalikkan telapak tangan. "Simsalabim", dalam satu minggu jadi. Itu tak mungkin. Butuh proses panjang, bahkan ujian kegagalannya bisa berulang-ulang.
Dalam kondisi ini, saya pesimis, program pemerintah mampu menciptakan pengusaha-pengusaha perempuan Minang dalam jumlah banyak dan cepat. Biasanya program pemerintah itu hanya bersifat jangka pendek, bahkan hanya sekedar workshop kewirausahaan saja.
Jika itu yang dilakukan oleh Mahyeldi-Audy, jangan harap akan tercipta pengusaha-pengusaha perempuan Minang yang tangguh. Itu hanya program yang menghabiskan uang rakyat saja.
Saya berharap yang dibangun itu berupa ekosistem kewirausahaannya. Ada dua pendekatan untuk itu. Pertama, ekosistem kewirausahaan itu bisa muncul jika perekonomiannya kondusif. Itu adalah hukum ekonomi: penawaran mengikuti permintaan. Jika tak ada permintaan, maka produksi akan mandek. Jadi jangan dibalik.
Kebanyakan program-program penciptaan kewirausahaan itu berorientasi pada menciptakan penawaran. Tapi, mereka tak membangun pasarnya.
Menjadi pekerjaan penting bagi Mahyeldi-Audy untuk meningkatkan daya saing perekonomian Sumbar. Agar permintaan barang/jasa itu meningkat. Jika tidak bisa, mereka harus mampu membuka akses ke pasar yang lebih luas, yaitu di luar Sumbar.
Kedua, membangun ekosistem kewirausahaan itu butuh kerja sama yang bersifat komunitas. Sekarang ini, banyak pengusaha-pengusaha di Ranah Minang tidak membangun jaringan komunitas. Yang terjadi, masing-masing mereka bersaing. Akhirnya, usaha mereka pun hancur oleh persaingan yang tak sehat. Ada yang tetap bertahan, tapi sulit ekspansi.
Saya berharap Mahyeldi-Audy bisa membangun ekosistem kewirausahaan perempuan berbasis kerja sama antar komunitas. Misalnya, komunitas tenun songket. Mereka bisa membentuk komunitas bisnis yang saling bekerja sama dan menciptakan persaingan yang produktif. Tugas pemerintah membangun fasilitasnya.
Saya sebenarnya ingin mengulas lebih panjang mengenai ekosistem kewirausahaan perempuan di Ranah Minang. Tapi, akan terlalu panjang tulisannya. Mungkin, lain kali, saya akan sambung lagi.
Alangkah baiknya, kita cerita ekosistem kewirausahaan ini dalam kondisi kita sudah divaksin. Agar kita lebih optimis mengulas dan membacanya. Punya harapan untuk mewujudkannya. Semoga program vaksin - menurut rencana di mulai 13 Januari 2021 ini, bisa berjalan sukses dan kita bersama segera keluar dari pandemi ini. [*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang