Gelora pemilihan Gubernur terasa cukup menggema, meski dalam masa pandemik. Hanya saja, beberapa hal yang kurang signifikan terlihat lebih menonjol ketimbang urgensi kontestasi kepemimpinan provinsial itu sendiri. Euforia pasangan calon yang berhasil masuk arena kontestasi bersama dengan tim suksesnya (terutama berhasil dalam mendapatkan restu dari DPP Partai), terkesan mengalahkan niatan publik dalam menemukan calon pemimpin Provinsi Sumatra Barat. Bahkan belum lama ini, silih sikut jelang finalisasi pencalonan juga menjadi topik panas yang menyita ruang publik.
Aksi jegal salah seorang kandidat, aksi rayu DPP partai, dan aksi teknis politis sejenis, cenderung mengalihkan perhatian publik dari persoalan-persoalan yang sedang dihadapi Sumatra Barat. Sehingga, isu tentang strategi dan grand strategi tentang bagaimana membawa Sumatra Barat keluar dari masalah atau membawa Sumbar lebih maju dan lebih baik dalam lima tahun mendatang, jauh tertinggal di belakang. Ruang publik terbajak oleh aksi-aksi teknis politik, publik pun terbawa arus untuk menjauh dari reason de'tre Pilkada yang sebenarnya.
Tentu proses politik harus dihargai. Tapi, agar tidak melenceng dari substansi Pilkada itu sendiri, arah proses politik semestinya sejalan dengan substansi Pilkada. Proses politik untuk menemukan kandidat, sejatinya sepaket dengan proses identifikasi masalah daerah dan identifikasi kapasitas calon kepala daerah. Jadi satu proses untuk dua sasaran. Namun yang terjadi justru satu proses untuk satu sasaran. Proses politik untuk mengangkat dan membawa nama kandidat ke arena kontestasi, sehingga proses politik hanya berdiri untuk politik itu sendiri.
Pada tahapan awal, targetnya adalah untuk mendapatkan kandidat yang legitimate secara politik dan layak secara legal-prosedural. Lalu pertanyaan lanjutannya, apakah proses tersebut mampu melahirkan kandidat yang layak secara kontekstual? Artinya, apakah kandidat-kandidat tersebut memahami persoalan yang ada dan memiliki kapasitas yang layak untuk melahirkan grand strategy dan solusi-solusi programatik untuk persoalan yang ada tersebut? Bagaimana publik mengetahui kapasitas ini jika justru sedari awal babak penyisihan, yang disajikan ke ruang publik hanyalah cerita-cerita teknis politis sekelas aksi saling jegal.
Saya kira, semua pihak sepakat bahwa Sumbar membutuhkan grand strategi yang tepat untuk keluar dari stagnasi ekonomi dan kebekuan politik, agar yang terpilih tidak hanya menjadi pemimpin yang menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasanya, as usual, tapi juga pemimpin yang benar-benar bekerja mendekati masalah-masalah yang dihadapi daerah sedekat-dekatnya, lalu menggunakan segala wewenang yang nanti akan dimiliki, baik wewenang fiskal, administratif, dan politis, untuk menyelesaikannya. Mengapa? Karena jika inisiatif mengetengahkan isu strategis semacam itu tidak datang dari lingkaran elite politik dan elite intelektual, maka berkemungkinan kecil akan datang dari bawah.
Karena pemilih, atau masyarakat pemilih, cenderung lebih menikmati segala sesuatu yang disajikan oleh para elite, ketimbang menginisiasi dari bawah. Hal ini sangat bisa dipahami, mengingat begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, apalagi setelah diberlakukannya protokol pandemik. Oleh karena itu, peran elite politik dan elite intelektual dalam menjaga arah proses politik yang sedang berlangsung agar tidak saja berjalan dalam koridor pertama (mencari kandidat yang legitimate secara hukum dan layak secara legal prosedural), tapi juga tetap pada koridor kedua, yakni kandidat yang paham persoalan Sumatra Barat dan memiliki kapasitas untuk merumuskan serta mengeksekusi grand strategi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Masalahnya, goresan grand strategi tersebut, tidak lahir dari proses politik yang berjalan sendiri-sendiri. Grand strategi tentang bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan di Sumbar dan membawa Sumbar ke level kebaikan yang lebih tinggi, tidak lahir begitu saja dari proses teknis politik, yang dijalankan atas hitung-hitungan popularitas, akseptabilitas, elektabilitas, dan konfigurasi kepartaian yang melingkarinya. Karena itulah, sampai hari ini, kita masih buta tentang grand strategi Sumbar untuk lima tahun mendatang dari para kandidat yang telah dinyatakan legitimate secara politik dan layak secara legal-prosedural itu, la wong memang tak pernah diarahkan prosesnya ke sana. Sumbar mau ke mana? Mau seperti apa lima tahun mendatang? Dengan cara dan instrumen apa menuju ke sana? Publik masih belum melek tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu
Yang jelas, grand strategi tersebut tak jatuh dari langit, tak pula dari mimpi di sepertiga malam. Saya mendapatkan gambaran teknis yang cukup bagus soal grand strategi ini dari Ganesh Sitaraman, Profesor Hukum di Vanderbilt Law School yang sekaligus penulis buku The Great Democracy: How to Fix Our Politics, Unrig the Economy, and Unite America, saat beliau menulis analisanya di majalah Foreign Affair edisi bulan lalu (September-Oktober), berjudul A Grand Strategy of Resilience:American Power in the Age of Fragility. Beliau menulis begini, "Grand strategy is won, not found. It emerges from argument and debate. And it is useful precisely because it offers guidance in a complex world"
Jadi, grand strategi harus dimenangkan, bukan ditemukan begitu saja. Grand strategi lahir dari proses perdebatan dan adu argumentasi yang rasional. Karena itulah dikatakan grand strategi, yang akan menjadi guidance dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Inilah tahapan yang semestinya diinjak hari ini oleh ke empat pasang calon yang telah dinyatakan layak masuk arena. Mulailah dari hari ini, walaupun sudah agak terlambat. Angkat perkara umum yang dialami Sumbar, kemudian jejerkan persoalan demi persoalan yang ada sebagai penopang persoalan umum, lemparkan ke ruang publik, dan tawarkan grand strategi serta rencana programatis-teknisnya.
Untuk apa? Untuk diperdebatkan, untuk disanggah atau dikritisi atau dilengkapi, oleh para elite politik dan elite intelektual yang ada, untuk ditantang oleh pasangan kandidat lain dengan sudut pandang dan kacamata lain, serta dengan grand strategi lain. Mengapa saya mengatakan ini? Karena saya melihat proses dengan sasaran pertama telah tercapai, tapi prosesnya belum juga mengarah ke sasaran kedua, yakni untuk menguji pemahaman para pasangan kandidat atas berbagai persoalan yang ada dan untuk memastikan kapasitas serta kreativitas mereka dalam melahirkan grand strategi yang mumpuni dan konstektual.
Dan saya melihat, proses ini belum jua terjadi. Jika hanya mengandalkan masa kampanye dan debat publik sebagai ajangnya, saya pikir kita belum akan memiliki pemimpin provinsi yang di kantongnya terisi grand strategi teruji, di tahun mendatang. Karena masa kampanye dan masa debat publik, lebih dominan pesan-pesan politis yang dipergunakan untuk menarik pemilih, ketimbang menjadi ajang adu argumentasi strategis. Semoga proses penemuan dan pengasahan grand strategi para pasangan kandidat ini, segera berlangsung di ruang publik kita. Mari kita tagih. [*]
Ronny P Sasmita
Cendekiawan Muda Sumatra Barat