Setelah karir politiknya meningkat di Makassar, Charlotte mendapatkan berbagai tekanan dari Belanda sampai dipenjara beberapa kali.
Pascakemerdekaan, Charlotte menyatakan diri sebagai pejuang nasional dan mendukung kemerdekaan RI. Ia juga menolak pembentukan negara federal karena tidak ingin menjadi negara bonekanya Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Charlotte Salawati pindah ke Jakarta lalu menjadi sosok penting dalam pendirian Gerakan Wanita Sedar (Gerwis).
Kemudian organisasi yang berafiliasi dengan PKI ini berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Kemudian ia terpilih menjadi anggota MPR di 1955, karena diangkat (dari) oleh PKI.
Charlotte Salawati dikenal cukup dekat dengan pendiri bangsa, Sukarno. Bahkan, dia sempat mendapatkan penghargaan Bintang Tanda Jasa dari Presiden Pertama Indonesia ini. Meski dekat, Charlotte tetap memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah Sukarno.
Bersama anggota Gerwani lainnya, ia mengkritisi keberadaan bahan makanan pokok yang sempat bermasalah saat itu. Bahkan, ia secara individu pernah mempertanyakan keputusan poligami yang dilakukan Sukarno.
Memasuki babak akhir di masa demokrasi terpimpin mulai terjadi banyak penangkapan. Tak terkecuali Charlotte yang harus tertangkap di tempat persembunyiannya bersama rekan MPR perempuan lainnya. Dia tertangkap sepekan setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) lalu dipenjara di Bukit Duri sampai 1978.
Bersama tahanan politik lainnya, Charlotte mendapatkan pengalaman kurang baik selama di penjara. Dia dan tahanan lainnya acap mendapatkan makanan tidak layak seperti basi dan lainnya.
Situasi ini membuatnya melawan dan mempertanyakan sikap yang dilakukan para penjaga penjara. Bahkan, ia menilai perlakuan Belanda terhadap tahanan lebih baik dibandingkan di masa orde baru.
Setelah dibebaskan, penderitaan Charlotte tidak sepenuhnya berakhir. Ia diwajibkan membuat surat izin setiap melakukan perjalanan, bahkan ke kampung halamannya sendiri. Perlakuan ini terus dirasakannya sampai Charlotte tutup usia di 1986.
Kedekatan Charlotte dengan PKI dan Gerwani membuatnya mengalami pengrusakan sejarah. Terlebih posisinya sebagai perempuan, ia mengalami tekanan tersendiri.
Baca juga: Perjalanan Cinta Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran yang Kini Resmi Bercerai
Dalam tulisannya yang terbit di surat Kabar Indonesia Timur, Charlotte menerima mosi tidak percaya di Sidang MPR. Saat itu, ia tidak diinginkan menjadi anggota MPR kembali bukan karena kinerja buruk, tapi gendernya. Saat itu, anggota MPR didominasi oleh laki-laki.
Di tulisannya, Charlotte mengungkapkan, alasan ia ingin terlibat dalam keanggotaan MPR. Dia bukan semata-mata hendak mendapatkan jabatan, tapi misi keperempuanannya yang telah melekat. Charlotte hanya ingin mengangkat derajat perempuan lebih baik di mata laki-laki kala itu. [*/Son]