Belajar dari drama hampir ketinggalan pesawat di Schiphol, Belanda di 2016, saya memutuskan untuk kembali ke Zurich sehari sebelumnya. Ketika pertama kali traveling ke Eropa saat itu, saya memutuskan untuk kembali ke Belanda dari Paris di hari yang sama pesawat saya balik ke Indonesia.
Dengan kereta cepat Thalys, saya bisa sampai di Schiphol pukul 13.30 siang. Pesawat saya masih pukul 6. “Jadi masih cukup waktu untuk check-in dan meluruskan kaki,” pikir saya. Ternyata, kereta yang saya naiki dari Paris telat hampir satu jam karena ada perbaikan rel. Karena berangkat sudah telat, saya tertinggal kereta koneksi dari Brussels ke Schiphol. Saya tiba di Schiphol tiga jam sebelum pesawat saya berangkat. Benar-benar sport jantung.
Untuk mencapai Zurich dari Milan, saya memilih naik kereta api Trenitalia – yang merupakan kereta api milik pemerintah Italia. Tiket dibanderol dengan harga EUR31 untuk kelas ekonomi. Saya sengaja mengambil kereta yang pukul 9 pagi agar tidak pergi ke stasiun pagi-pagi buta.
Karena musim dingin, pukul 7 pagi masih gelap. Jadi saya malas jika harus menggotong ransel dalam gelap dan dingin. Toh, Milan – Zurich hanya membutuhkan waktu kurang dari 4 jam. Jadi, saya bisa sampai di ibukota Swiss ini sebelum pukul 1 siang. Masih ada waktu untuk jalan-jalan untuk mengeksplor lagi pusat kota Zurich dan pergi ke Lake of Zurich. Itu rencana sederhana saya.
Pukul 09.05, kereta perlahan meninggalkan Milan Centrale – stasiun pusatnya Kota Milan. Kereta boleh dibilang tidak terlalu ramai. Untuk kompartemen dengan empat orang penumpang, saya hanya duduk sendirian. “See you again, Italy,” ucap saya dalam hati.
Perjalanan sangat menyenangkan dan lancar. Matahari sangatlah hangat hari itu. Semakin menjauh dari Kota Milan, pemandangan semakin bagus. Rute Milan – Zurich ini merupakan salah satu jalur yang terkenal dengan pemandangan yang indah (scenic panorama) karena melewati Pegunungan Alpen. Dari kereta ini juga, kita bisa melihat Kota Lake of Como yang terkenal dengan keindahannya itu.
Ketika kereta mulai mendekati Como, saya semakin excited. Dari kejauhan sudah mulai nampak Danau Como, dan benar, indah sekali. Saya memandang kota itu dengan takjub, meskipun saya hanya melihatnya dari dalam kereta api.Dari dalam kereta, kelihatan danau yang berkilau dengan cahaya matahari pagi, rumah-rumah yang ada di kota itu, dan tidak ketinggalan menara-menara gereja tua yang sudah menjadi saksi bisu kota ini selama ratusan tahun.
Sampai Como perjalanan lancar dan tanpa halangan. Saya lebih excited lagi, karena pasti setelahnya pemandangan yang ditawarkan juga tidak kalah indah. Begitu kereta memasuki Stasiun Chiasso, yang terletak di perbatasan Swiss, tiba-tiba kereta berhenti agak lama. Bahkan setelah para penumpang yang tujuan akhirnya di stasiun ini turun, kereta belum juga berangkat.
“Ada apa ini,” pikir saya. “Apakah nunggu kereta lain lewat?” Apakah drama Trenitalita yang dari Munchen ke Verona akan terulang lagi?” Begitu batin saya setelah pengalaman kurang mengenakkan dengan Trenitalia seminggu sebelumnya.
Tidak lama, seorang ibu-ibu di gerbongku mulai heboh. Dia berlari kesana-kemari cari informasi dengan tergopoh-gopoh. Baru kemudian dia bilang dalam Bahasa Inggris,
“Kita harus turun dari kereta ini. Pindah. Karena ada kecelakaan di jalur arah Zurich. Keretanya tidak bisa lewat….” Waduh, pikir saya. What a bummer. Sial banget. Saya mencoba tetap tenang. Tidak lama setelah pengumuman ibu-ibu penumpang tadi, petugas KAI Italia masuk ke gerbong. Dia bilang seperti yang dibilang ibu-ibu tadi, tapi dalam bahasa Italia.
Kami disuruh turun, dan pindah ke platform 7. Tanpa pengumuman lebih lanjut. Misalnya, kita harus naik apa, belum ada penjelasan. Yang penting kita disuruh turun dari kereta api, dan mencari platform 7. Ya sudah, dituruti saja.Ketika saya sampai di platform 7, ada informasi jika kami bisa mengambil kereta dari platform 4. Lhoh, yang benar yang mana? Informasinya sangat simpang siur, dan saya tidak memahami bahasa Italia atau Jerman. Harus bagaimana saya? Tidak ada cara lain selain mencari orang yang setujuan dengan saya.
Saya tanya beberapa orang yang tadi satu gerbong dengan saya, apakah mereka tujuan Zurich. “Tidak. Kami akan pergi ke Lugano….” Jujur, saya mulai panik, karena tidak ada informasi yang jelas dan hambatan bahasa. Tidak ada cara lain selain tanya secara publik, siapa saja yang akan pergi ke Zurich.
“Saya akan ke Zurich..” kata seorang perempuan modis berumur akhir 40 dari sekumpulan penumpang yang terdampar. Segera saya dekati perempuan itu. “Boleh tidak saya ikut kamu? Karena saya tidak paham Bahasa Jerman dan Italia….” Perempuan itu menjawab, “Iya, boleh….” jawab perempuan yang sebenarnya tinggal di Jenewa ini, dan kebetulan barusan ada pekerjaan di Milan.
Dia ke Zurich karena ada meeting di bandara kota itu, baru balik ke Jenewa. Begitu cerita singkatnya. Perempuan itu beberapa kali melihat arlojinya dengan resah, “Meeting-ku jam 2….”
Setelah menunggu hampir 20 menit, akhirnya ada update. Informasinya, kami harus naik kereta api regional, turun di stasiun yang saya lupa namanya, dan kemudian menyambung bus untuk mencapai Lugano, tempat dekat kecelakaan tadi.
Dari Lugano, kami baru naik kereta api ke Zurich. Tiba-tiba dari jalur 4 ada kereta api regional arah Lugano datang. Karena informasi awal di jalur 7, tetapi kereta malah datang di jalur 4. Sempat riuh di antara penumpang karena bingung. Dan tidak ada satupun petugas di sekitar platform itu. Ya sudah, kami semua pada naik ke sana. Kereta penuh. Sebagian besar penumpang yang terdampar tadi, naik ke kereta ini.
Untungnya saya masih kebagian tempat duduk. Selain perempuan yang saya “tempelin” tadi, duduk di depan saya seorang ibu-ibu dari Australia. Ini bukan kunjungan dia ke Italia yang pertama kali. Dia hanya tersenyum-senyum melihat semua drama ini.
“Biasalah Italia… Tidak pernah berubah. Ya sudah, kita nikmati saja yuk….” Saya yang sudah mengalami dengan kejadian kereta dari Munchen ke Verona, juga akhirnya paham dengan apa yang dimaksud ibu-ibu dari Australia ini.
Di dalam kereta para penumpang pada riuh tentang kejelasan nasib. Beberapa penumpang Italia berusaha membantu untuk mencari informasi dari aplikasi jaringan kereta api ini. Saya mencoba tenang, karena sudah ada perempuan yang tinggal di Jenewa tadi, dan ibu-ibu dari Australia ini juga tujuan akhirnya di Zurich.
Jadi ya saya dapat teman seperjalanan dengan tujuan sama. Kalaupun tersesat, tidak sendirian. Sejelek-jeleknya kami tersesat dan terdampar, jaringan kereta api di Eropa ini saling terhubung. Jadi pasti akan ada solusi dan sampai ke Zurich hari ini. Toh, pesawat saya ke Jakarta baru besok. Saya tidak perlu tergesa-gesa juga.
Kemudian salah satu penumpang Italia memberikan update. “Kereta ini terus ke Lugano. Bekas kecelakaan tadi sudah dibersihkan…” Jadi kami tenang, tinggal memikirkan nasib naik apa dari Lugano ke Zurich.
Lugano ini adalah sebuah kota di Swiss, tetapi banyak orang masih menggunakan bahasa Italia untuk komunikasi sehari-hari. Turun di Lugano, sudah tidak kelihatan petugas kereta api Italia. Yang ada adalah petugas kereta api milik Swiss, Swiss Federal Railways (SBB). Petugas ini yang kemudian “kejatuhan” limpahan penumpang dari Trenitalia.
Petugas SBB menjelaskan beberapa alternatif bagaimana mencapai Zurich dari Lugano. Akan tetapi, karena kondisi musim dingin, maka jadwal kereta regional juga berubah karena adanya keterlambatan. Memang, boleh dibilang, semakin dekat dengan Alpen, semakin dingin rasanya. Apalagi jika kita berdiri di platform kereta api yang terbuka sehingga angin musim dingin yang tertiup terasa ngilu di tulang.
Awalnya kami disarankan naik kereta regional dan turun di Arth-Goldau – stasiun terdekat jika kita ingin pergi ke Luzern. Dari sana, kami bisa sambung kereta regional ke Zurich. Karena kereta regional yang disarankan telat datang, akhirnya petugas bilang, “Kalian bisa juga naik SBB… Malah langsung sampai di Zurich, tidak perlu ganti-ganti lagi….”
Sebagai penumpang “transferan”, kami bisa naik gerbong yang manapun, tanpa harus membayar tiket kembali. Karena ibu-ibu dari Australia dan dari Jenewa tadi naik kelas bisnis dari Milan, kami sampaikan salam perpisahan. Saya ucapkan terima kasih sudah mau saya “turuti”. Tidak lama kemudian kereta datang. Saya sekarang naik ke atas kereta api.
Ketika akhirnya kereta mulai meninggalkan stasiun Lugano, saya merasa lega. Saya bisa balik ke Zurich hari ini. Paling tidak, sebelum gelap saya sudah sampai di kota itu. Sepanjang perjalanan, pemandangan memang membuat saya berdecak kagum karena indahnya.Kadang kita akan melewati tempat yang seperti danau setengah beku itu ada pas di jalur kereta. Kadang-kadang kita akan melihat padang rumput yang luas, di mana biri-biri dan sapi bisa berkeliaran dengan bebas.
[jnews_carousel_1 show_nav="true" number_post="3" exclude_post="37188" include_category="3140"]
Kadang-kadang kita akan melihat rumah-rumah penduduk desa yang dilengkapi dengan chimney (cerobong asap). Benar-benar seperti di negeri dongeng rasanya. Indahnya jalur ini benar seperti cerita-cerita yang sering saya dengar.
Pukul 03.30 kereta memasuki stasiun utama Zurich (Zurich HB). Perut saya rasanya lapar sekali. Saya baru teringat kalau pagi hanya sarapan croissant pistachio dan minum kopi di café kecil dekat hotel.
Turun dari kereta api, saya menjumpai banyak stall penjual makanan dan barang-barang lainnya di hall stasiun. Oh, ada Pasar Natal juga di dalam stasiun. Segera saya mencari makanan yang bisa saya makan cepat dan kenyang.Pilihan saya jatuh pada kentang rebus yang disiram oleh keju raclette yang disajikan dengan acar timun dan bawang putih. Enak dan kenyang. Keluar dari Zurich HB menuju hotel saya di kawasan Techno Park, hari mulai gelap. [*]
Hariatni Novitasari
Penulis