Buya Boy Lestari berpulang ke rahmatullah pagi ini di RSUP M. Djamil Padang. Kabar duka itu menyebar dengan cepat sebagai obituari di media sosial dan media massa. Orang-orang yang mengenal beliau memasang foto mereka dengan beliau dan menceritakan kebaikan-kebaikan beliau. Begitulah orang baik: dikenang dan disebut-sebut kebaikannya ketika sudah tiada. Bagi saya, beliau memang orang baik, dan setahu saya beliau tidak punya musuh. Tentu karena itu pula orang-orang merasa kehilangan ketika beliau pergi, termasuk saya.
Saya tidak punya foto bersama beliau walaupun puluhan kali berkunjung ke kantor, hotel, dan rumah beliau untuk wawancara ketika saya menjadi wartawan Haluan (2013—2018). Saya hanya punya satu cerita menarik tentang beliau. Cerita itu tentang lauk (dalam bahasa Minangkabau disebut samba) kesukaan beliau, yakni telur dadar. Setiap kali bertemu beliau, baik di kantor maupun di hotel beliau, saya sering melihat beliau makan dengan telur dadar. Telur dadar memang lauk yang enak, tetapi bukan satu-satunya. Banyak lauk lain yang enak. Jadi, saya bertanya-tanya sendiri: mengapa Buya Boy Lestari, orang sekaya itu, sering makan dengan telur dadar? Kalau mau, beliau pasti bisa membeli makanan lain yang enak dan mahal. Karena sering penasaran, saya menanyakan hal itu kepada beliau. Buya lalu menceritakannya kepada saya.
Sewaktu kecil beliau hidup sangat susah. Beliau tinggal di Dusun Kapecong, Kamang Mudiak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Orang tua beliau hidup sebagai pekerja upahan di sawah orang lain karena tidak punya sawah. Muhammad Nazir, nama kecil Boy Lestari, ikut membantu orang tuanya bercocok tanam di sawah orang. Beliau juga mengumpulkan kayu bakar (kayu baban) dari hutan dekat kampungnya. Kayu itu beliau jual di Pakan Sinayan (pasar). Uang hasil menjual kayu itu beliau belikan beras dan bahan pokok lainnya.
Kehidupan Nazir makin parah ketika usia beliau beranjak tujuh tahun. Ayah beliau meninggal dunia. Tak lama setelah itu, ibu beliau lumpuh karena jatuh saat mengikuti suluk kali ketujuh di Batuhampar. Sejak peristiwa itu, ibu beliau sakit dan hanya berdiam di rumah. Dengan begitu, tak ada lagi penopang ekonomi keluarga beliau, sementara hidup harus dilanjutkan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan merawat ibunya, beliau dan saudara-saudara beliau berjuang hidup tanpa mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Bagi keluarga ini, selama badan masih mengandung tenaga, membanting tulang dan menjual keringat untuk mendayung kehidupan bukan hal memalukan asalkan pekerjaan itu halal.
Walaupun hidup susah, Nazir tetap ingin melanjutkan pendidikan. Sebelum berangkat ke sekolah, beliau selalu bertanya kepada ibunya, “Mak, Amak ka buang aia ketek atau buang aia gadang ndak, Mak? Kok iyo, bialah Nazir tolongan kini. Nazir ka sekolah. Amak surang di rumah. Ndak ado nan mambantu Amak do.” (Mak, Emak ingin buang air kecil atau buang air besar? Kalau iya, biarlah Nazir tolong kini. Nazir ke sekolah. Emak sendirian di rumah. Tidak ada yang membantu emak). Setiap hari beliau menampung air kencing dan tinja ibu beliau. Sementara itu, ketiga kakak beliau (Nazir anak bungsu dari empat bersaudara) sehabis Subuh sudah keluar rumah untuk mencari kayu bakar.
Ketika semua anaknya pergi keluar rumah, sang ibu hanya bisa berdiam di rumah. Di dekat pintu depan, ibu Buya Boy Lestari menunggu anak-anaknya pulang. Walaupun sakit, ibunya tetap memperhatikan Buya Boy. Kalimat yang selalu diingat Buya Boy dari ibunya, “Alah makan waang, Yuang? Ala sumbayang waang, Yuang?” (Sudah makan kamu, Nak? Sudah sembahyang kamu, Nak?). Pesan-pesan ibunya itu sangat membekas di benak Boy sampai beliau dewasa. Oleh karena itu, sesibuk apa pun, beliau selalu ingat makan dan salat tepat waktu. Kelak sang ibu meninggal dunia saat Buya Boy berusia 40 tahun.
“Beliau meninggal dalam pangkuan saya, tepatnya saat azan Subuh berkumandang,” ujar Buya Boy suatu ketika kepada saya di kantornya.
Karena hidup susah, Buya Boy Lestari dan saudara-saudaranya jarang makan ikan dan ayam karena harganya cukup mahal bagi mereka saat itu. Mereka sering makan telur dadar karena harga telur murah. Mereka sering membuat telur dadar dan mencampurnya dengan nasi. Mereka memotong-motong telur dadar itu dan membagikannya untuk mereka makan bersama.
Singkat cerita, dalam perjalanan hidupnya, Buya Boy Lestari akhirnya menjadi pengusaha sukses. Beliau punya perusahaan periklanan (salah satu perusahaan periklanan terbesar di Padang) dan hotel (Buana Lestari Hotel Syariah dekat Bandara Internasional Minangkabau). Meskipun sudah berhasil, beliau tidak melupakan masa susah ketika tinggal di kampung sewaktu kecil agar selalu bersyukur dalam hidup. Untuk mengingat masa-masa itu, beliau sering memakan telur dadar. Bagi beliau, telur dadar adalah makanan yang enak. Beliau memakan telur dadar sambil mengenang masa lalu.
Begitulah cerita Buya Boy Lestari kepada saya di kantor perusahaan periklanan beliau di Ulak Karang, Padang, sekali waktu. Ketika beliau meminta saya untuk menulis buku biografi singkat beliau pada 2016, saya lupa memasukkan cerita tentang telur dadar ini. Saya kira ini cerita yang menarik dari Buya Boy Lestari untuk diketahui publik, khususnya orang-orang yang mengenal beliau, bahwa kita hendaknya mengingat masa sulit pada masa lalu agar selalu bersyukur pada hari ini dan hari depan.
Pagi ini Buya Boy Lestari, ulama kharismatik Sumatera Barat, yang foto-foto dan nasihat-nasihatnya (untuk selalu mengingat Allah dan tidak meninggalkan salat) sering dilihat warga Padang di baliho-baliho besar di setiap sudut kota, telah menghadap Sang Khalik. Saya mengenal banyak orang besar sebagai narasumber berita saya, tetapi saya tidak merasa kehilangan ketika mereka pergi karena tidak punya kesan mendalam terhadap mereka. Hanya ketika Buya Boy Lestari berpulang, saya merasa begitu sedih dan sangat kehilangan. Saya menulis cerita ini dengan mata berkaca-kaca. Selamat jalan, Buya nan elok budi (5 Mei 1958—9 Januari 2021). [*]
Holy Adib
Wartawan