A Fung pun menguatkan diri dan keluarganya sesama Muslim. Baginya, kebenaran seharusnya tidak dibiarkan sembunyi-sembunyi seperti halnya menjalani sebuah kebatilan.
Menurut A Fung, keluarga besar mengetahuinya sebagai muslim adalah ketika dirinya membelikan sebuah jilbab untuk ibunya.
Saat itulah, persoalan tentang agama yang kini mereka yakini secara terang-terangan terungkap setelah ibunya mengenakan jilbab saat bertemu dengan mereka.
A Fung ingat, yang pertama kali ibu dan saudara-saudaranya terima dari mereka adalah ujaran intimidatif.
Bagaimanapun, A Fung, ibu, dan adik perempuannya tetap bertahan. Sebab, ketiganya sudah bersungguh-sungguh sebagai Muslim.
Sejak saat itu, A Fung dan saudaranya terus berusaha mati-matian untuk mencari nafkah. Bahkan mereka mulai berjualan apa pun asalkan itu halal, termasuk menjajakan roti sobek dan buah-buahan.
"Alhamdulillah, Allah Maha Menolong. Perekonomian keluarga kami kembali bangkit,” ujarnya.
Tak hanya itu, A Fung pun kemudian bisa meneruskan kuliah di Universitas Bandung dan mengambil jurusan Perbandingan Agama.
Lalu pada 1997, ia memutuskan menikah dan telah dikaruniai dua orang anak hingga kini.
Lebih lanjut A Fung mengungkapkan kalau kehidupannya sebagai muslim kerap mendapat ujian dari Yang Maha Kuasa.
Diceritakannya, suatu ketika ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan memilih fokus berdakwah.
Suatu hari, anaknya membutuhkan susu. Namun, uang yang dimilikinya hanya tersisa Rp20 ribu, padahal harga susu saat itu mencapai Rp47 ribu.
Kebetulan, lanjut A Fung, saat itu hari menjelang salat Jumat. Namanya yang sudah banyak dikenal sebagai pengisi berbagai kajian keislaman kemudian dihubungi pihak masjid untuk mengisi khutbah Jumat.
Dalam hati A Fung berpikir akan mendapat balasan dari khutbah Jumat. Namun Allah berkehendak lain, yang ia datangi ternyata bukan masjid yang mengundangnya itu.
“Ini bukan salah panitia, tetapi aku yang salah lokasi. Jadi, bukannya uang Rp20 ribu bertambah, justru berkurang,” kata A Fung.
Sampai di rumah, ia pun bercerita kepada istrinya. A Fung pun kemudian tersadar bahwa peristiwa itu adalah teguran dari Allah SWT.
Sebab, niat dakwahnya sudah berbeda, tak lagi lillahi Ta'ala. Ia pun menyadari, berdakwah tidak boleh dijadikan sebagai sumber penghasilan.
Belajar dari pengalamannya itu, A Fung kemudian memiliki filosofi tersendiri dalam dunia dakwah.
Menurutnya, seorang dai bagaikan melihat laut yang indah, tetapi hanya dari pinggir pantai.
Dai belum sampai menikmati keindahan laut di kedalamannya. Namun bagi yang sudah menyelam, ia tentunya akan mampu memgang mutiara, begitu juga dengan mempelajari Islam.
Kini, namanya dikenal sebagai pemuka Masjid Lao Tse Kota Bandung, Jawa Barat. A Fung sudah tujuh tahun aktif memimpin takmir masjid tersebut.
Bahkan sudah ada sekitar 40 orang yang dibimbingnya untuk menjadi mualaf. [*/Jly]