Generasi “nunduk” mulai muncul menjadi jargon ejekan buat generasi muda sejak awal tahun 2010 di Indonesia. Generasi yang keranjingan bermain handphone. Di halte, di kamar, di kafe, di tempat wisata, sibuk dengan gawai. Ada yang bermain game, ada yang chatting, dan ada yang sedang menuntaskan candu dengan media sosialnya.
Yang membuat ejekan tentu orang-orang yang lebih tua, yang terlanjur muda di tahun 90-an atau 80-an, kalau masih sudi bersuara. Namun ada juga yang muda, yang menolak keras adanya teknologi dalam hidupnya. Mereka tidak suka melihat orang yang kerjanya menunduk saban hari. Memang seberapa asyiknya bermain handphone, sehingga lupa dengan sekitar?
Perlahan, tapi pasti, yang menunduk semakin banyak. Yang dulu bicara keras menghakimi si generasi nunduk, lupa begitu saja setelah dia juga dilamun teknologi. Banyak yang terjadi, semakin banyak berubah. Perlahan-lahan semua kita mulai suka menunduk. Istilah generasi nunduk tinggal sejarah yang seperti tak pernah ada.
Di dalam ketundukan berjejer kenikmatan. Gawai menjadi segalanya. Dikutip dari kompas.com, lembaga riset berbasis di Amerika Serikat, Internasional Data Corporation (IDC) menyebutkan, 80 persen pengguna handphone mengecek ponselnya selama 15 menit sesaat setelah tidur. Mau tak mau ada candu yang hendak dituntaskan. Melihat isi pesan Wa, melihat siapa saja yang me-like status fenomenal yang baru di-upload malam tadi, atau harapan mendapat kejutan dari e-mail.
Generasi nunduk bertambah populasinya. Karena mayoritas, istilah itu dibuang jauh-jauh. Seorang teman pernah bersikukuh tidak mau pakai Wa. Cukup telepon kecil merek Nokia keluaran entah kapan, yang hanya bisa menelepon, kirim SMS dan main ular-ularan.
Namum ya bagaimana lagi, semua orang yang dia kenal menggunakan Wa dalam berkomunikasi. Tetap bersikukuh menggunakan HP jadul terasa mulai menyakitkan hati, karena komunikasi tak harus lagi pasang paket nelpon atau kirim sms yang harus dibayar dua kali lipat kalau menulis lebih dari batas huruf yang ditentukan.
Kesepian cukup mengganggunya, apalagi kalau dalam satu hari tak ada telepon atau pun pesan yang berdering. Maka ia pun berpindah haluan, beli handphone harga dua juta. Pasang semua aplikasi favorit sesuai rating di Play Store. Lama-lama, selain Wa, banyak juga permainannya. Sampai wajah jelek pun bisa terlihat rupawan.
Di tahun 2020, terjadi pandemi Covid-19. Virus ini merebak ke segala penjuru dunia. Bersentuhan menjadi perilaku yang harus dihindarkan, karena bisa menularkan virus corona. Harus jaga jarak minimal satu meter. Kalau perlu tidak usah keluar rumah.
Teknologi bernama internet kemudian menyelamatkan kita. Teknologi jadi solusi untuk tetap bisa berkomunikasi, melumpuhkan sepi. Orang-orang beralih ke video call. Dari yang sebelumnya cukup tahan untuk memasang paket nelpon tengah malam, sekarang hanya butuh paket data. Rapat mulai online, seminar jadi webinar, wartawan meliput dari kamar, guru mengajar dari rumah, dan murid juga mahasiswa tidak tahu ke mana. Entah menyimak entah tidak.
Teknologi pastinya juga menciptakan perubahan dalam dunia industri. Revolusi Industri 4.0, begitu sistem yang mulai digadang-gadang. Hal ini menjadi pembahasan di perguruan tinggi, karena mau tidak mau lulusan harus mampu bersaing di dunia kerja dengan sistem industri yang diterapkan zaman.
Dilansir Encyclopedia Britannica (2015), tahun 1750 mulai terjadi perubahan pada bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi. Karena di zaman itu manusia mulai menciptakan sesuatu. Hal ini menjadi awal mula kemudian terjadi revolusi industri. Ditandai dengan ditemukannya mesin uap, pada abad 18 Revolusi Industri 1.0 dimulai.
Peralatan kerja yang biasanya menggunakan hewan dan manusia, perlahan muncul alatnya yang diciptakan dari mesin. Mesin uap yang ditemukan James Watt membuat perubahan cukup besar, karena transportasi laut bisa lebih cepat. Positif negatif, di sisi lain, bangsa Eropa menjadikan kapal bermesin ini untuk mengirimkan kapal-kapal perangnya ke seluruh penjuru dunia. Di masa ini juga, pencemaran udara mulai terjadi akibat penggunaan mesin uap.
Industri kembali mengalami perubahan, Revolusi Industri 2.0, pada abad ke-20 listrik ditemukan. Dengan adanya listrik, penemuan manusia juga semakin hebat, yang hingga kemudian pada akhir 1800-an mobil mulai diproduksi. Perakitannya pun sudah menggunakan alat-alat yang menggunakan tenaga listrik yang jauh lebih murah dibanding mesin uap.
Kemudian Revolusi 3.0 dimulai tahun 1970. Era komputer mulai masuk ke dalam dunia industri. Sejumlah pabrik mulai menggunakan komputer dalam proses produksi. Peran manusia tetap ada sebagai pekerja, walaupun satu persatu mulai digantikan mesin otomatis.
Perubahan terus terjadi. Segala macam mesin otomatis mulai diciptakan. Pekerjaan yang dulunya harus menyewa jasa, mulai bisa dikerjakan sendiri. Hingga kemudian, sejak internet mulai ditemukan, revolusi kembali terjadi. Setelah masuknya internet, terjadi kemajuan pesat dalam hal informasi dan teknologi, mencetus Revolusi Industri 4.0. Banyak pekerjaan baru yang muncul, banyak juga jenis pekerjaan yang hilang. Seiring juga dengan penggunaan telepon pintar yang sudah menjadi kebutuhan primer manusia.
Kemunculan Corona kemudian memicu perubahan ini. Teknologi yang sudah dikenal, mulai dibiasakan penggunaannya dalam rutinitas sehari-hari. Solusi yang ampuh dalam keadaan yang harus jaga jarak dan bekerja dari rumah. Perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai membahas dan memasukkan sistem pembelajaran online pada 2011. Yang kemudian karena penyebaran Corona, pada 2020 ini hampir 90 persen kampus menerapkan sistem itu.
Revolusi terus terjadi. Melumpuhkan sistem lama, dan masuk ke dalam tatanan baru. Tak lama lagi, Revolusi Industri 5.0 dimulai. Kendaraan tanpa sopir, men-download MP3 hanya butuh waktu satu detik, dunia maya menjadi lahan, sebuah peradaban baru di era Society 5.0. Siap? Informasi dari Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu, akan ada kekurangan 2,5 juta SDM di dunia industri Indonesia pada 2024. [*]
Wahyu Alhadi
Jurnalis dan Seniman