Alasan utama saya ke Eropa pada saat musim dingin adalah Pasar Natal (Christmas Market). Saya benci musim dingin, jadi harus ada alasan legit untuk pergi ke sana di musim itu. Saya ingin melihat maraknya pasar yang hanya ada pada masa empat minggu Advent dari akhir November sampai 25 Desember, seperti cerita-cerita teman saya yang pernah berkunjung ke arena ini.
Diselenggarakan pertama kali pada 1434 di Dresden, pasar ini lebih populer dengan nama Weihnachtmarkt atau Christkindlemarkt di Jerman. Dari Dresden, pasar ini menyebar ke seluruh wilayah Jerman dan negara-negara di Eropa lainnya.
Konon, sebelum Pasar Natal pertama ini di selenggarakan di Dresden ini, pasar-pasar serupa sudah dilakukan di beberapa negara di Eropa, seperti di Wina pada 1298 dan Munchen pada 1310. Tapi namanya saat itu belum Pasar Natal, tetapi dikenal dengan Pasar Desember.
Karena pasar ini dikunjungi bisa jutaan orang dalam sebulan, biasanya diselenggarakan di tempat yang luas. Sebagai acara yang diselenggarakan setahun sekali, tentunya di pasar ini banyak kios-kios menjual makanan-makanan khas yang ada tiap tahun saja. Yaitu yang khusus ada di waktu Natal.
Misalnya, makanan khusus ada saat musim dingin antara lain kentang panggang, pancakes kentang (kartoffelpuffer), kastanye panggang (maroni), dan tidak ketinggalan christstollen atau roti yang adonannya dicampur dengan manisan buah.
Yang tidak kalah khas dari Pasar Natal adalah gluhwein atau anggur merah yang dimasak dengan campuran rempah-rempah dan buah-buahan. Enak diminum panas-panas karena bisa menghangatkan badan di Desember yang beku. Minuman ini bisa mengandung alkohol ataupun tidak. Tergantung penjualnya.Namun, bisa juga mencoba minuman panas tidak mengandung alkohol seperti kinderpunch atau berarti punch untuk anak-anak atau orang yang tidak minum alkohol. Biasanya berasal dari buah-buahan seperti apel atau jeruk dan dicampur dengan rempah-rempah.
Selama traveling di Eropa, saya mengunjungi tiga Pasar Natal. Di Pasar Natal di Zurich, Swiss, dan dua Pasar Natal di Jerman – Munchen dan di Augsburg. Dari ketiga pasar ini, saya paling suka yang di Augsburg. Augsburg adalah satu kota kecil yang bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar satu jam dengan naik kereta dari Munchen. Pasar Natal di kota ini tidak sebesar dan seruwet yang di Munchen, tetapi lebih lengkap dan tertata dibandingkan dengan yang d Zurich.
Di Pasar Natal Augsburg ini, ambyarlah isi dompet saya, karena tidak tahan godaan. Di Pasar Natal, orang tidak saja menjual makanan dan minuman khas Natal, tetapi juga barang-barang lainnya, yang kebanyakan adalah handmade atau buatan tangan. Tahu kan, barang-barang buatan tangan di Eropa itu alus-alus dan bagus-bagus yang bisa bikin kemecer.
Kami awalnya pergi ke Augsburg hanya karena iseng saja. Tidak ada tempat spesifik yang ingin kami kunjungi. Hanya ingin melihat ke kota-kota di sekitar Munchen dengan menggunakan Bayern pass. Karena saat itu yang sudah siap di stasiun adalah kereta jurusan Augsburg, kami tinggal naik saja kereta ke kota ini.
Di Bavaria, Augsburg adalah kota ketiga terbesar setelah Munchen dan Nuremberg. Di Augsburg, kami hanya jalan ke sana-kemari, dan tiba-tiba menemukan Pasar Natal di dekat Balai Kota. Tentunya, kami mampir dengan sukarela.
Saya tidak berniat berlanja. Karena memang juga uang saku pas-pasan. Obsesi saya di Pasar Natal ini hanya tiga: gluhwein, roti stollen, dan bratwurst sapi. Ketiganya saya sudah dapatkan semua. Gluhwein di Zurich, roti stollen dan bratwurst sapi di Munchen. Jadi, sebenarnya saya tidak ada alasan lagi untuk tergoda di Augsburg ini.Namun, ketika akan meninggalkan pasar ini, tiba-tiba kami melihat satu kios yang menjual tas dan dompet vintage dari kulit sapi dan kerbau. Saya langsung jatuh cinta dengan tas ransel kecil dari kulit kerbau yang antik dan maskulin. Tas itu sudah seperti dibuat hanya untuk saya. Melihat tas itu, saya tiba-tiba menjadi terbius.
Saya tanya ke penjualnya, seorang laki-laki berusia sekitar 70-an tahun.
“Boleh dicoba?” Dia mengangguk. Lalu mengambilkan tas dari etalase dia. Saya coba. Eh, kok bagus ya…. Beneran pas. Seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Just made in heaven for me, bahasa lebay-nya.
“Berapa?” tanya saya.
“149 Euro…”
“Hah?” Mahal, pikir saya. Saya lihat saya masih nyimpen duit utuh EUR200 di dompet terdalam saya. Uang saku buat makan dan metro atau bis kota. Sebab, untuk biaya-biaya yang lain sudah dibayar. Perjalanan saya masih panjang, lebih dari satu minggu lagi. Masih ada tiga kota lagi yang menggunakan Euro akan saya kunjungi: Verona, Milan, dan Roma.
Saya beneran dalam krisis membuat keputusan, antara harus ambil uang dari ATM (lagi) atau melepaskan tas itu dan tidak akan pernah ketemu yang model seperti itu.“Ya sudah, saya beli tas-nya…” Langsung saya bayar jreng jreng jreng EUR149 tanpa berpikir panjang. Saya dekap tas itu sambil ketawa-ketawa tidak jelas. Gila, tiba-tiba saya jadi bokek. Ternyata, yang kalap tidak saya sendiri. Kedua teman jalan saya juga kalap….
Borong tas dan dompet yang lebih banyak dari saya. Beneran, kami dibius di kios pedagang yang kemudian kita nama kasih julukan “Abah” karena feature dia mengingatkan dengan abah-abah yang banyak jualan di pasar di Indonesia.
Kekalapan lebih parah kami di kios itu diselamatkan oleh matahari yang hampir tenggelam.
“Eh, kita belum Ashar lho….” Kata teman saya, sambil sibuk mencari letak masjid terdekat untuk salat Ashar. Akhirnya ketemu satu masjid Turki di dekat Balai Kota. Kami mulai berjalan menjauh dari pasar itu, dengan tentengan di tangan masing-masing.
“Nanti kita mampir ATM ya….”Bisik saya kepada teman seperjalanan. Dia ngakak tidak karuan.“Beres. Ada bank dekat stasiun kan tadi?” katanya.
Kami mempercepat jalan kami menuju masjid. Karena, matahari keburu hilang, dan dingin yang semakin menusuk kulit. Malam itu, mungkin kita harus “puasa”, karena jatah makan malam itu sudah ikut terbelanjakan di Pasar Natal. [*]
Hariatni Novitasari
Penulis