Siapa yang Anda pilih? Calon gubernur kaya. Mungkin alasannya, sudah mapan. Sukses berkarir sebelumnya. Ia berani meninggalkan semua pekerjaan, yang telah menghasilkan pundi-pundi uang. Sehingga, risiko korupsinya berkurang. Semangatnya hanya untuk mengabdi pada masyarakat.
Calon gubernur miskin. Alasannya, lebih merakyat. Tidak haus dengan kekayaan. Jika jadi gubernur, bisa memahami kondisi riil masyarakat. Terutama kelompok masyarakat kelas menengah dan miskin.
Tapi faktanya tak seperti itu. Kalau ukurannya adalah integritas. Alat ukurnya korupsi. Banyak juga pejabat yang sudah kaya raya, tapi korupsi. Begitu juga yang miskin, korupsi juga. Ternyata korupsi itu tak pandang kaya atau miskinnya seorang pejabat.
Harusnya bagaimana? Laporan harta kekayaan dari calon gubernur dan calon wakil gubernur bisa menjadi salah satu indikator bagi pemilih untuk menentukan pilihannya dalam Pilkada. Untuk itulah, salah satu persyaratan bagi calon kepala daerah adalah melaporkan harta kekayaannya ke KPK.
Dari laporan itu, masyarakat bisa menelisik kapasitas calon. Apa ia telah melaporkan harta kekayaannya secara jujur. Kejujuran itu penting sebagai seorang pemimpin. Kita bisa melihat bukti kejujuran itu. Misalnya, ada calon gubernur yang melaporkan harta kekayaannya kecil sekali. Padahal, dari rekam jejak pekerjaannya, angka itu tak sebanding. Artinya, ia menyembunyikan harta kekayaannya.
Ada yang melaporkan lonjakan harta kekayaannya. Misalnya, calon gubernur tersebut merupakan petahana atau sebelumnya menjabat bupati/walikota. Selama menjabat harta kekayaannya naik signifikan. Tak logis jika dibanding penghasilannya. Bukan pula ia mendapatkan harta warisan. Jika itu terjadi, artinya, ada harta kekayaannya yang didapat dari perbuatan tak wajar.
Yang menarik, calon itu punya harta kekayaan kecil. Tapi berani maju jadi gubernur atau wakil gubernur. Dari mana dana kampanyenya? Sudah bukan rahasia publik. Untuk maju jadi gubernur dan wakil gubernur itu butuh modal besar. Menurut kajian KPK bisa mencapai Rp 20 miliar sampai Rp 100 miliar. Tentu harta kekayaannya tak mencukupi untuk biaya kampanye.
Disinilah cukong politik beraksi. Cukong ini bertindak sebagai pemodal bagi pasangan calon. Sebagian besar biaya Pilkada ditanggung mereka. Termasuk biaya upeti ke partai politik pengusung. Yang jumlahnya sangat besar sekali. Tentu itu ada konsekuensinya.
Praktik ini seperti ijon. Setelah berhasil, para cukong itu minta imbal hasil. Seperti apa? Proyek APBD. Ada juga jabatan strategis. Perizinan, seperti izin perkebunan sawit, izin tambang dan lainnya. Peraturan dan kebijakan yang memihak mereka. Yang pasti, nilai imbal hasilnya jauh lebih besar dari biaya ijonnya. Selama periode jadi gubernur dan wakil gubernur yang dimodalinya itu, mereka ini seperti benalu bagi pembangunan daerah. Itulah biang kerok maraknya kasus korupsi oleh kepala daerah.
Bagaimana masyarakat mengetahui adanya ijon politik? Saya sudah bahas di artikel sebelumnya di sini. Yang paling mudah dipahami adalah jika kekayaannya kecil, tapi kampanyenya jor-joran, bahkan berani memberikan uang kepada pemilih, maka di belakang mereka ada cukongnya. Ada juga melakukan ‘serangan fajar’. Membagi-bagi uang dan sembako di detik-detik akhir sebelum pemilihan. Itu dananya dari cukong tersebut. Maka, hati-hatilah dengan pasangan calon yang ada cukongnya.
Masyarakat Sumatera Barat sebentar lagi akan memilih gubernur dan wakil gubernur. Laporan harta kekayaan masing-masing pasangan calon sudah disampaikan ke KPK. Masyarakat sudah bisa mengaksesnya. Dokumen ini sangat berguna sebagai salah satu referensi untuk menetapkan pilihan politiknya.
Di sini ada calon gubernur kaya, tapi calon wakil gubernurnya miskin. Ada calon gubernurnya miskin, tapi wakil gubernurnya kaya. Ada calon gubernur dan wakil gubernurnya sedang-sedang saja. Ukuran kaya dan miskin di sini relatif, berdasarkan tinggi dan rendahnya harta kekayaan pasangan calon. Silakan mana yang Anda pilih. Kalau saya tak memilih satu pun. Karena tak punya hak pilih di Pilkada Sumatera Barat.
Tentu selama proses kampanye, Anda sudah melihat pasangan mana yang memiliki kapasitas dan integritas untuk memimpin Ranah Minang dalam lima tahun ke depan. Kita tak butuh gubernur dan wakil gubernur kaya atau gubernur dan wakil gubernur miskin. Kita butuh pemimpin daerah yang jujur. Tidak terindikasi melakukan politik uang. Karena itulah modal dasar bagi seorang pemimpin yang baik.
Baca juga: Harta Kekayaan 8 Calon Pilgub Sumbar, Paling Banyak Audy Rp58,1 M, Paling Sedikit Mahyeldi Rp3,35 M
Terakhir, selamat berdemokrasi bagi masyarakat Sumatera Barat. Semoga kita bisa mendapatkan gubernur dan wakil gubernur terbaik. Yang mampu membawa Sumatera Barat menjadi provinsi terdepan dalam pembangunan. Tak hanya di nasional, tapi juga di kawasan global. [*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang