Masyarakat tiba-tiba dicokok pelbagai informasi di internet dan media sosial, yang berakibat sulitnya membedakan antara sampah dan fakta.
Sebulan lalu, Jaringan Bonus Demografi (JBD) ujug-ujug mendaku sebagai dalang gerakan para pemengaruh bayaran yang mempromosikan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Tak ada yang tahu kepentingan JBD, sehingga perlu membayar orang untuk mendapat dukungan masyarakat atas rancangan undang-undang sapu jagat itu. Di media sosial, mereka mengklaim berasal dari kalangan intelektual.
Masalah muncul karena materi yang didengungkan para influencer di media sosial tentang Omnibus Law justru menjerumuskan. Mereka mengampanyekan seolah undang-undang ini bakal menjadi juru selamat dari paceklik ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kenyataannya, Omnibus Law telah dirancang sejak 2018, jauh sebelum terjadi pagebluk. Sehingga, dalih sebagai juru selamat, terbantahkan. Ditambah pasal per pasal dalam rancangan undang-undang memuat aturan tentang insentif bagi pengusaha industri ekstraktif, perusakan lingkungan tanpa ujung, pengebirian kewenangan kepala daerah, hingga cara-cara mencekik kaum buruh.
Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl, memiliki istilah post-truth, yang disebutnya sebagai word of the year pada 2016. Dia memakai istilah ini untuk menyebut gerakan politik yang sengaja memainkan fakta dan data demi memanipulasi opini publik. Hal ini persis seperti yang dilakukan para pendengung (buzzer) pemerintah yang berharap dapat memanipulasi kesadaran masyarakat akan Omnibus Law.
Istilah post-truth, merujuk pada pascakebenaran. Pertama kali muncul pada 1992, ketika penulis asal Amerika Serikat, Steve Tesich, menggambarkan masifnya kampanye penolakan untuk mempercayai kejahatan Presiden Richard Nixon dalam skandal Watergate. Steve menyebut istilah "The Watergate Syndrome" akibat gerakan politisi dan pemerintah yang sengaja memanipulasi fakta kejahatan Nixon di masa lampau. Jika ingin mengetahui tentang skandal itu, silakan rujuk film All the Presiden't Men (1976).
Kamus Oxford memberi definisi post-truth, juga terhadap cara kerjanya. Dalam post-truth, fakta dianggap tidak terlalu berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Justru mereka mengarus-utamakan emosi dan memainkan keyakinan personal untuk tujuan tertentu. Hal ini ditandai merebaknya berita hoaks di media sosial dan runtuhnya kepercayaan masyarakat pada kerja-kerja jurnalistik. Pew Research Center, organisasi pemikir nonpartisan Amerika Serikat, menemukan fakta bahwa masyarakat Amerika Serikat kehilangan kepercayaan pada media massa arus utama medio 2007-2010.
Di Indonesia, istilah post-truth mewabah bersamaan teknologi informasi yang berubah menjadi disruptif. Suatu kondisi yang membuat media konvensional runtuh oleh perkembangan teknologi informasi. Masyarakat tiba-tiba dicokok pelbagai informasi di internet dan media sosial yang mengakibatkan orang kesulitan membedakan antara sampah dan fakta. Post-truth masuk seolah memancing di air keruh untuk mendapat pengaruh publik.
Bagaimana posisi media massa di era industri siber?
Kebenaran merupakan fakta dan obyektivitas yang selalu menjadi mahkota jurnalisme. Dalam bahasa Indonesia, kebenaran diartikan sebagai keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh adanya. Istilah Yunani menyebut "eletheid" yang dipandang sebagai lawan kata dari "kesalahan", "kesesatan", "kepalsuan", dan "kebohongan". Para filsuf kemudian membaginya dalam dua jenis; yakni kebenaran absolut atau universal dan kebenaran relatif atau fungsional.
Jurnalisme biasanya memakai kebenaran relatif karena fakta dan obyektivitas yang mereka sampaikan ke publik merupakan bagian dari kebenaran subyektif. Artinya setiap orang memiliki pandangan dan kebenaran masing-masing secara fungsional. Jurnalisme kemudian bertugas menapis informasi bohong dengan cara kurasi atau disiplin verifikasi. Satu metodologi kurasi sederhana yakni silogisme, proses penarikan fakta melalui premis-premis kemudian menjadi simpulan. Masing-masing simpulan didukung oleh bukti dan keterangan dari sumber yang akurat. Untuk mendapatkannya diperlukan penyaring berdasarkan lima lapis jenis narasumber menurut jurnalisme yang dikembangkan Tempo: Pelaku (bukti), saksi, ahli, otoritas, dan pengamat.
Tokoh pers Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyusun alur kemudi jurnalisme yang ia sebut "Sembilan Elemen Jurnalisme". Pertama, tugas praktisi jurnalisme memberitakan kebenaran fungsional yang sehari-hari dibutuhkan masyarakat. Kedua, loyalitas utama jurnalis yakni pada masyarakat atau dengan istilah lain sebagai "anjing penjaga" bagi publik. Ketiga, esensi jurnalisme yakni disiplin verifikasi. Keempat, wartawan harus independen. Kelima, jurnalisme harus memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas. Keenam, jurnalisme harus menjadi forum publik. Ketujuh, jurnalisme harus memikat dan relevan. Kedelapan, berita harus proporsional dan komprehensif. Kesembilan, praktisi pers harus mendengarkan hati nurani.
Lantas, apa perbedaan antara jurnalisme dan media sosial? Yakni produk informasi yang dihasilkan. Karya jurnalistik diperoleh dari proses verifikasi berdasar prasyarat yang harus dipenuhi di atas. Sedangkan informasi di media sosial dapat diproduksi, meski tanpa melakukan disiplin verifikasi dan tanpa memandang latar belakang subyeknya. Dewan Pers turut memastikan bahwa institusi pers harus berbadan hukum dan setiap produknya harus dapat dipertanggung-jawabkan ke publik. Pertanggungjawaban ke publik meliputi hak jawab, hak untuk mengetahui metodologi peliputan, dan beberapa hal elementer lain. Sebagai catatan, masih ditemui media massa yang belum menerapkan disiplin verifikasi, dan cenderung menjadi corong kekuasaan.
Media massa sebelumnya memiliki pengaruh dalam penentuan opini dan kesadaran publik. Edward S. Herman dan Noam Chomsky (Manufacturing Consent, 1988) pernah menyebut ini dengan istilah propaganda. Ia dinilai menjadi institusi ideologi yang paling efektif dan berkuasa dalam melaksanakan fungsi propaganda. Kini justru sebaliknya. Ketika arus informasi di era siber makin disruptif, institusi pers kehilangan kedigdayaan. Harus diakui mereka kalang kabut mengkaliberasi bisnis media massa di masa kini. Institusi pers justru kehilangan kepercayaan masyarakat. Kausalitasnya, publik tengah kehilangan sang penunjuk arah.
Gelombang teknologi informasi yang digawangi perusahaan raksasa seperti Facebook, Google, dan Twitter secara langsung menyapu peran media massa yang sebelumnya menjadi pemengaruh opini publik. Ekonom, Rhenald Kasali, dalam bukunya Self Disruption (2018) mengistilahkan Revolusi Industri 4.0, merupakan komoditas ekonomi yang sedang diperjualbelikan perusahaan raksasa penguasa teknologi. Setiap orang dipaksa konsumtif terhadap produk perusahaan raksasa tersebut.
Media massa boleh tumbang, tapi jurnalisme akan selamanya hidup. Masyarakat akan selalu butuh penunjuk arah di masa banjir informasi di media sosial. Aliansi Jurnalis Indonesia tahun lalu memetakan persoalan ini dalam sebuah diskusi bertajuk “The Biggest Challenge of Journalism in Digital Era”. Sebuah upaya untuk mencari bentuk bisnis baru di masa Society 5.0 dan upaya untuk memanfaatkan big data yang melimpah.
Menurut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), era digital mendesak jurnalis untuk lebih profesional dalam mengolah big data dan menyajikannya kepada publik. Keahlian ini, kini dibutuhkan publik sebagai upaya menyaring banjir arus informasi. Di saat yang sama, jurnalis juga berhadap-hadapan dengan pelbagai pembungkaman yang dilakukan penguasa. Beberapa di antaranya yakni teror, kriminalisasi, kill the messenger (silakan tonton film dengan judul serupa), doxing, dan penganiayaan terhadap jurnalis.
Bagaimana post-truth berhubungan dengan pembungkaman jurnalis?
Laporan Majalah Tempo akhir Agustus lalu membeberkan pengakuan seorang agen kampanye digital, yang dibayar oleh politisi dan pemerintah untuk mendengungkan kebohongan. Agen itu terlibat dalam kampanye pemilihan presiden 2019. Alur kerja mereka dimulai dari pemberi kerja yang memberi instruksi, ihwal narasi yang bakal diangkat di media sosial. Masing-masing bahan kampanye post-truth digarap oleh tim riset khusus. Untuk menjaga kerahasiaan, para pendengung tidak diberi tahu masing-masing profil dan kolega mereka.
Seorang rekan satu profesi pun menceritakan hal serupa. Ketika itu, dia terlibat sebagai buzzer dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017. Beberapa kawan lain juga demikian, mereka tengah menjadi pendengung seorang menteri dan politisi. Para jurnalis ini dibayar untuk mengampanyekan kebijakan pemerintah atau bahkan memelintir fakta untuk memanipulasi kesadaran publik. Belum ada riset mendalam tentang ini, namun disinyalir banyak jurnalis yang terjerumus menjelma pendengung post-truth. Fakta-fakta tersebut merupakan analogi bagaimana Jaringan Bonus Demografi bekerja.
Di saat bersamaan, media massa yang mengkritik pendengung RUU Cipta Kerja dibungkam secara brutal. Tempo.co dan Tirto.id dibajak oleh peretas (diduga) bayaran pada Agustus lalu. Halaman depan situs Tempo.co tiba-tiba gelap dengan atribusi @xdigeeembok. Tirto.id diretas dengan cara masuk dalam sistem dan menghapus artikel-artikel kritis, di antaranya berita yang mengkritik keterlibatan tentara dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pengadaan obat virus Corona. Reporters Sans Frontieres (RSF), organisasi hak asasi manusia dan kebebasan pers, mengamini ini dengan menemukan pola pembungkaman baru dengan dalih pandemi Covid-19.
Post-truth dan pembungkaman adalah dua hal yang tak terpisahkan. Manipulasi kesadaran tidak akan efektif jika tetap membiarkan jurnalistik bekerja secara merdeka dan independen. Karena jurnalis akan terus mengejar dan memverifikasi setiap informasi yang didengungkan pemilik kepentingan. Tak mengherankan apabila kritik pelibatan BIN dalam proyek penelitian obat Covid-19 justru dibalas dengan pembungkaman. Suatu contoh buruk yang bakal berakibat fatal pada iklim demokrasi di Indonesia.
Committee to Protect Journalists (CPJ) bulan lalu merilis laporan mengenai kecenderungan negara-negara penganut otoritarianisme melakukan teror dan pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik. Lebih dari 250 jurnalis dipenjara karena kritik-kritiknya terhadap pemerintah. Cina merupakan negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis dengan jumlah mencapai 48 orang.
Laporan itu belum termasuk dengan 222 kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi di 13 negara dalam beberapa dekade terakhir. Ironinya, pelaku biasanya mendapat impunitas, dan tak tersentuh terhadap upaya penegakan hukum. Di Indonesia, lebih dari 12 jurnalis dibunuh karena pemberitaan. Aliansi Jurnalis Independen juga mencatat 53 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun lalu.
Avit Hidayat
Jurnalis Kompartemen Nasional Koran Tempo