Ada satu istilah dalam industri sepak bola yang memiliki kaitan erat dengan dunia politik Sumatra Barat (Sumbar) hari ini. Istilah itu ialah Pandit.
Pandit, berasal dari bahasa Inggris Pundit, ialah seorang atau sekumpulan ahli tentang sepak bola. Mereka sangat paham seluk-beluk persepakbolaan. Mereka punya segudang data statistik, mulai dari data sebuah tim termasuk data-data bersifat manajerial, mau pun data pemain per pemain, terutama pemain terkenal.
Dari sana mereka memetakan kekuatan berbagai tim. Mereka menulis di media-media cetak serta di situs-situs sepak bola, memberi analisa atas kekalahan atau kemenangan sebuah tim, membentangkan strategi suatu tim, dan seterusnya.
Karena keahliannya itu, analisa mereka terhadap suatu pertandingan yang akan berlangsung menjadi rujukan bagi rumah-rumah judi untuk menetapkan pasar taruhan.
Industri sepak bola, kita tahu, adalah industri. Sama seperti industri-industri lainnya. Di luar kontribusinya terhadap perekonomian suatu negara, industri sepak bola tetaplah paling menguntungkan bagi para pemegang saham. Baik itu pemegang saham klub, atau pun pemegang saham pemasok apparel.
Ia pada akhirnya tidak memiliki hubungan langsung dengan kelangsungan hidup orang-orang banyak, dengan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari serta jaminan kesejahteraan orang kebanyakan di hari depan. Inilah beda industri sepak bola dengan apa yang kini disebut sebagai politik praktis.
Namun perbedaan itu tampaknya telah dihapuskan. Pilkada, sebagai praktik politik, kini tak ada bedanya dengan industri sepak bola. Dugaan saya itu makin terbukti dengan makin banyaknya—dalam konteks tulisan ini—pandit-pandit Pilkada di Sumbar.
Politik di Tataran Elite
Setiap menjelang Pilkada, pandit-pandit politik muncul untuk menulis di koran-koran atau situs-situs daring sampai di laman facebook-nya masing-masing. Mereka akan menulis tentang kemungkinan tokoh A bergabung dengan partai X. Tentang perkiraan strategi apa yang akan dipakai partai Z dalam Pilkada akan datang, atau tentang seberapa besar peluang seorang calon menghadapi calon lainnya.
Semua itu dilengkapi dengan data-data statistik dari hasil suatu survei, rekam jejak suatu partai atau cagub/cawagub dari arsip-arsip yang mereka punya, sampai istilah-istilah teknis dari khazanah ilmu politik. Perkara-perkara seperti itu mereka anggap penting sekali untuk diketahui publik.
Tak lupa mereka membungkus kerjanya itu sebagai ‘pendidikan politik’ atau usaha untuk ‘mencerdaskan pemilih’. Padahal yang dibicarakan adalah politik di tataran elite, bukan politik di tataran akar rumput. Mereka, misalnya, tak pernah sama sekali menyinggung-nyinggung bagaimana strategi politik rakyat badarai dalam memastikan tuntutan-tuntutan mereka tercapai. Atau soal bagaimana strategi politik untuk meminta pertanggungjawaban jika kelak para pemimpin terpilih mengingkari janji-janji politiknya.
Dengan kata lain, mereka ini sebetulnya adalah konsultan gratis bagi partai-partai serta elite-elitenya. Mereka bukan ‘intelektual politik’ dalam arti intelektual publik yang berbicara dan berpikir demi kepentingan orang banyak. Mereka tidak berbicara pada publik, pada rakyat badarai, tapi pada para elite politik.
Politik bagi mereka, dengan begitu, bukan lagi sebagai upaya untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik, bukan juga upaya strategis publik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari dan di masa akan datang.
Keberpihakan pada Masyarakat Luas
Kondisi mengenaskan ini tentu tidak jatuh begitu saja dari atas langit. Ada sebab-sebabnya. Selain persoalan di dunia kampus tempat ilmu politik dipelajari, berubahnya fungsi intelektual politik dapat kita lacak dalam sejarah panjang Sumbar. Mari kita mulai dengan melihat bagaimana para intelektual di Sumbar pada era kolonial memahami politik itu sendiri.
Mulai dari Hatta, Sjahrir, sampai dengan Tan Malaka serta Datuak Batuah, melihat politik sebagai alat untuk mengubah tatanan masyarakat. Pada waktu itu konteksnya tentu saja untuk mengubah tatanan sosial kolonial yang diskriminatif dan memiskinkan menjadi tatanan sosial yang adil dan menyejahterakan orang banyak. Ini tampak dalam tulisan-tulisan politik mereka, baik berupa pamflet atau esai koran. Dari sana terlihat jelas kalau mereka menjadi intelektual politik untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik.
Selain itu, mereka juga berbicara atas nama suatu aliran politik atau pemikiran. Mereka tidak bersusah payah agar kelihatan netral sebagaimana para pandit Pilkada hari ini yang seolah objektif padahal tengah memihak elite politik. Mereka, misalnya, tidak mengulas panjang lebar soal bagaimana strategi Demang Z dalam menghadapi saingannya, Demang Y, yang ujung-ujungnya hanya akan mengukuhkan kolonialisme. Sebaliknya, menulis esai-esai politik bagi mereka adalah bagian dari keberpihakan pada masyarakat luas, masyarakat terjajah.
Kecenderungan seperti ini terus bertahan sampai masa-masa 1950-an. Dari tulisan-tulisan politik para intelektual di Sumatra Tengah menjelang akhir 1957 yang didokumentasikan sejarawan Gusti Asnan (2006), kita dapat melihat bagaimana para penulis esai politik pada masa itu dengan tegas dan jelas mewakili dan mengusung gagasan tertentu.
Mereka tidak membahas tentang bagaimana seharusnya strategi Masyumi atau PNI dalam pemilu 1955, misalnya. Atau mendedahkan soal basis suara Masyumi lalu membandingkannya dengan basis suara PNI. Pada masa-masa ini, hal-hal macam itu tampaknya lebih ke urusan internal partai, bukan urusan publik.
Yang mereka ketengahkan ke publik pembaca ialah tawaran gagasan. Dari mulai membahas otonomi sampai federalisme. Dengan begini, mereka memberi bayangan pada para pembacanya: masa depan macam apa yang baik bagi kita semua.
Terlepas dari watak intelektual sentris serta argumentasi-argumentasi para intelektual jaman itu yang bisa saja diperdebatkan lebih jauh, kecenderungan macam ini menunjukkan bahwa menulis esai politik bagi mereka adalah bagian dari upaya untuk mengubah keadaan ke arah lebih baik.
Namun, setelah 1965 keadaannya jauh berbeda. “Perbedaan yang barangkali paling tajam” tulis Feith dan Castles (1988) “dalam pemikiran politik pada kedua periode itu adalah terjadinya profesionalisasi” di kalangan intelektual politik. Profesional dalam arti mengambil posisi netral, objektif, tidak memihak garis ideologi di luar ideologi negara, yang pada gilirannya membuat orang menjadi “pragmatis”. Inilah asal-usul pandit-pandit Pilkada Sumbar hari ini.
Tentu saja tidak semua penulis politik bersikap demikian. Di Sumbar, masih terdapat segelintir kecil pengamat politik yang menulis untuk dan demi publik. Namun, karena sebab-sebab historis tertentu, mereka pun sudah terpisah dari rakyat badarai di akar rumput. Menulis sebanyak apapun rasanya tidak akan berdampak luas tanpa adanya sokongan riil dari rakyat badarai.
Walau begitu, satu upaya untuk mengaitkan kembali pembahasan politik dengan urusan kelangsungan hidup rakyat badarai mau pun menawarkan gagasan politik demi masa depan yang sejahtera jauh lebih berharga dari ratusan ‘analisa’ politik para pandit Pilkada. [*]
Randi Reimena
Penulis