Kearifan aparat di lapangan sangat dituntut, sekalipun soal Covid-19 itu memang membahayakan bagi siapa saja. Jika saja sedikit memahami maka kita tak perlu takut dan harusnya optimis, serta dengan bahagia menjalani keadaan ini. Bukan dengan kabar pertakut, arogan, egois, serta melanggar hak konstitusi, moral, etika, yang harusnya kita jaga bersama.
Teman baik saya, Dr. Abdullah Khusairi, MA menulis opini di inioke.com berjudul Layanan Publik Masih Berjalan Buruk. Saya membaca lamat-lamat kolom tersebut. Doktor Khusairi mengkritik keras buruknya komunikasi verbal seorang petugas yang berjaga di Pos Pemeriksaan Covid-19 di batas Kota Padang pada Jumat (15/5/2020) kemarin. Tidak sampai di sana, Dr. Khusairi juga mencuitkan di akun Twitter miliknya @abd_khusairi bahwa kepuasan pelayanan publik hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Terkait video adanya seorang petugas di perbatasan Kota Padang itu, pada awalnya saya tidak mempercayai adanya video tersebut sampai saya benar-benar menonton dan mengikuti dengan penuh ketelitian kata demi kata yang disampaikan petugas wanita tersebut. Kesimpulan saya, benar adanya Khusairi, bahwa ada nilai-nilai etika yang dilanggar dalam kata-katanya. Dan parahnya, lebih dari sekadar etika berkata-kata, si petugas itu bahkan sempat meng-upload identitas pribadi (KTP) milik Ketua Komisi Pemilihan Umum Sumatra Barat, Amnasmen, S.H. pada akun media sosialnya. Ini jelas pelanggaran dan dapat diproses hukum.
Heran, tentu saja saya tidak habis pikir, ternyata ada petugas yang masih seperti itu. Sebuah sikap yang jauh dari maksud dan tujuan pelayanan publik secara teoritis dan diucapkan para kepala daerah. Maka benar, manajemen hospitality dalam pelayanan publik kita masih belum berubah. Begitu banyak mental yang tak cukup layak untuk melayani.
Pengalaman saya sebagai jurnalis, soal-soal begini sudah sering dihadapi dan dapat dimaklumi. Kadang-kadang dianggap remeh, receh oleh pegawai-pegawai macam begini. Namun sebagai pekerja media, biasanya kami menghibur diri dengan cepat dan memaklumi pandangan seperti itu dengan menyatakan, bahwa orang-orang seperti itu tidak mengerti tatanan dan tidak belajar banyak. Kalau sudah keluar pendapat itu, di teman-teman jurnalis, biasanya redam sendiri dan tak akan sakit hati lagi.
Dapat diduga, sepanjang menjalani tugas, aparat seperti ini telah banyak melukai hati rakyat. Maka sebab itulah kemudian di sebuah grup percakapan media sosial, saya mendukung kasus ini diselesaikan secara hukum dan berlanjut sampai ke meja hijau. Tentu saja, bukan karena dendam atau amarah, tetapi hendaknya menjadi pembelajaran dan menimbulkan kesadaran kepada aparat, rakyat, pejabat dan siapapun itu. Harusnya sebagai pejabat publik dan pelayan masyarakat, mereka tetap dapat bersikap tenang dan sadar diri berperan sebagai pelayan publik. Tak ada guna sedikitpun untuk arogan, sebab di atas langit ada langit.
Bagi kami, para jurnalis sering sekali menguji hal-hal serupa ini. Walau biasanya mendapatkan privilege jabatan tetapi ingin dilayani seperti orang biasa. Sayangnya, kenyataan serupa video viral itu akhirnya memaksa agar menggunakan privilege sebagai jurnalis. Disadari sekali, itu tidak elok. Apa boleh buat, aparatur kita memang belum meresapi pelatihan-pelatihan standar manajemen hospitality service satisfaction yang pernah ia dapatkan. Menurut saya, hal itu bahkan tidak pernah menjadi bagian dari diri, sehingga yang dikedepankan kondisi psikis personal.
Inilah yang menjadi pembeda ketika pelayanan didapatkan di bank dan perusahaan swasta. Di mana kepuasan pelanggan dan keramah-tamahaan menjadi hal utama bagi kemajuan perusahaan. Saya berharap para kepala daerah serius menyikapi soal ini jika tak hendak melihat staf dan bawahannya berurusan ke meja hukum.
Khusus kasus di check point yang viral, harus diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi, kapan perlu kepala daerah. Segera mohon maaf secara terbuka bersama aparat yang telah mencoreng nama baik orang, pejabat publik, diri sendiri, institusi, serta daerah ini. Viral ini memalukan kita semua, betapa tidak manusiawinya dalam melaksanakan tugas.
Bila melihat dari video viral tersebut, apapun kilah berlindung di balik aturan, hampir-hampir tidak bisa diterima. Arogansi melampau batas wewenang, sehingga kata-kata kasar dan menantang seakan-akan bisa dibenarkan dalam pelayanan publik. Sekalipun benar tetapi lagi-lagi caranya sangat keliru. Keliru besar. Apalagi sampai-sampai menggunakan data personal pejabat publik untuk di-publish di akun pribadi, itu keliru dan membahayakan pemilik data personal. Jelas, ini ada hukumnya dalam Konstitusi dan diatur lengkap UU ITE.
Semoga kisah sedih kita menghadapi pandemi saat bulan puasa ini tidak ada lagi ada dan menambah runyam keadaan. Bagaimanapun, masyarakat akan menghormati segala kebijakan bila dijalani dengan maksud penuh dengan kebajikan.
Kearifan aparat di lapangan sangat dituntut, sekalipun soal Covid-19 itu memang membahayakan bagi siapa saja. Jika saja sedikit memahami maka kita tak perlu takut dan harusnya optimis, serta dengan bahagia menjalani keadaan ini. Bukan dengan kabar pertakut, arogan, egois, serta melanggar hak konstitusi, moral, etika, yang harusnya kita jaga bersama.
Dengan demikian, "Omong kosong manajemen hospitality service satisfaction," seperti diungkapkan Engku Doktor di atas tadi hendaknya bisa terbantahkan pada masa di depan. Pelayanan yang maksimal, memuaskan, sehingga publik menghargai, memuji seluruh kinerja aparatur pemerintah. [*]
Boby Lukman Piliang
Pekerja Media