Kita, Corona dan Kuasa Tuhan

Kolom - Opini Syahrial Bakhtiar

Syahrial Bakhtiar. [Foto: unp.go.id]

"Bajalan indak tagaliciak dek batu gadang, tapi dek karikia nan ketek namun runciang." Begitu kira-kira peribahasa warisan muatan lokal kita mengajarkan betapa kewaspadaan justru kadang harus lebih ekstra terhadap segala hal yang kecil dan tidak terlihat secara kasat mata.

Sudah berbulan wabah pandemi Covid (Corona Virus Desease) 19 merebak dan melanda sampai ke depan batang hidung kita. Sampai tulisan ini dirancang (9/4/2020 siang), berdasarkan data resmi sebanyak 2.956 jiwa dinyatakan positif Covid-19 di Indonesia (kompas.com). Meskipun sudah ada sebanyak 222 orang yang sembuh, namun angka kematian tetap tinggi, yaitu 240 orang, berarti masih nyaris 10% dari jumlah yang positif. Yang paling menyedihkan, di antara 240 orang itu ada belasan dokter dan paramedis yang wafat di tengah-tengah perjuangannya menjadi garda terdepan perang melawan bencana penyakit ini.

Tak pelak kita semua sedang berada di waktu yang tidak normal, darurat. Semua orang terdampak, semua negara bahkan yang mengaku dan diakui sebagai negara adidaya kelimpungan dan panik.

Di Amerika Serikat, hingga jam ini, COVID telah menghinggapi sebanyak 435.160 orang, dan 14.797 di antaranya meninggal dunia (worldometers.info). Kabar gembiranya, jumlah yang sembuh di Amerika Serikat lebih tinggi dari angka kematian, yaitu 22.891.

Meski demikian, jumlah pengidap positif maka Amerika Serikat kini tertinggi di dunia. Namun mirisnya, untuk rasio kematian, Indonesia termasuk 3 besar tertinggi.

Dari segi para korban, maka penyakit dari jenis virus baru ini telah menjangkiti pula para tokoh dunia. Mulai dari Ratu Elizabeth II, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, beberapa menteri di kabinet eksekutif Italia, Iran dan beberapa negara lain, serta tidak luput pula beberapa menteri kita, Walikota dan Bupati selain Kepala Dinas dan sederetan artis.

Serangan virus ini tidak pandang bulu, bahkan tidak pandang sejauh mana pola kebersihan lingkungan, dia bisa menyasar dan hinggap di mana pun, mulai dari lingkungan kelas bawah sampai kelas atas.

Terlebih lagi, berbeda dengan berbagai penyakit lain, Covid 19 kadang tidak menampakkan gejala signifikan dari pengidapnya. Orang yang terpapar virus ini bisa nampak sehat dan aman-aman saja, tiba-tiba sudah sekarat dan meninggal.

Ini sering terjadi di kalangan yang literasi kesehatannya rendah dan kepeduliannya juga minim. Alhasil, lebih baik curiga dan mengantisipasi secara ekstra ketimbang merasa diri aman dan steril dari virus ini.

Dari segi ekonomi, musibah dari pandemi Covid 19 telah ‘berhasil’ menghantam ekonomi kita, baik lokal, nasional maupun internasional.

Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya sebesar 2,5%. Angka itu turun separuhnya dari tahun 2019 sebesar 5,0%. Sementara untuk dunia, terjadi penurunan dari perkiraan 3% menjadi paling tinggi hanya 2,5%.

Belajar dari Tiongkok

Lantas apa hikmah di balik fenomena yang membelit ini?

Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel yang tiga bukunya (Sapiens, Homo Deus dan 21 Lessons for the 21st Century) telah memberi sumbangan signifikan terhadap kajian filsafat sejarah umat manusia, mengatakan bahwa krisis akibat Covid 19 merupakan terbesar yang menghinggapi generasi manusia yang hidup zaman ini (dalam The World After Coronavirus, rilis pertama 20 Maret 2020 secara daring).

Dampaknya bagi kehidupan manusia tak terkira. Harari meyakini bahwa pandemi ini diyakini akan mengubah konstelasi dunia nyaris di seluruh lini kehidupan, baik politik, kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, olahraga, keagamaan dan tentu saja sistem kemasyarakatan.

Lebih lanjut Harari mengatakan, dunia yang selama ini sudah mencapai taraf perkembangan teknologi yang begitu mengagumkan dan drastis percepatannya membutuhkan siasat baru menghadapi ancaman pandemi apa pun.

Tidak ada yang siap menghadapi bencana ini, namun diyakini juga masih banyak peluang bagi penemuan-penemuan baru dalam rangka mengkonsolidasi masyarakat global agar peduli dan lebih berhati-hati.

Lebih jauh, Harari mencontohkan apa yang sudah dilakukan Tiongkok. Pemerintah dari level tertinggi sampai terbawah secara disiplin dan tegas menerapkan kewajiban bagi warganya untuk terhubung di aplikasi yang sudah tersedia melalui gawai masing-masing, sehingga teknologi pengawasan via daring di gawai masing-masing mampu mendeteksi mobilitas setiap warganya.

Ini mirip yang sudah pernah dilakukan oleh Uni Sovyet melalui KGBnya di era musim dingin, dan Israel yang bahkan sejak 1948 belum mencabut Undang-Undang darurat perangnya sehingga setiap warganya wajib melaporkan diri ke manapun ia pergi agar negara mampu memantau keberadaan dan nasibnya secara fisik.

Bagi Harari, dibutuhkan trust, kepercayaan. Seluruh elemen masyarakat mesti saling percaya, dan publik harus percaya kepada tiga yang paling utama, yaitu ilmu pengetahuan, pemerintah, dan media.

Pemerintah juga harus percaya kepada ilmu pengetahuan, jangan sampai kekuasaan menafikan temuan dan rekomendasi dari ilmu kesehatan, misalnya.

Untuk mencapai situasi pemulihan yang menjamin adanya usaha melepaskan diri dari krisis memang dibutuhkan pemerintah yang cepat tanggap, tidak cuek terhadap rekomendasi para pakar (yang notabene sudah melakukan penelitian khusus dan serius terhadap segala sesuatu sesuai objek kajiannya).

Demikian pula media, dibutuhkan media yang informatif, objektif dan komunikatif. Bukan media yang mengeruk keuntungan di dalam situasi krisis yang mengancam nyawa semua orang.

Selanjutnya, tentu dibutuhkan strategi dan perencaan baru secara global dalam menghadapi situasi krisis serupa di masa depan.

Di titik ini, Harari menghimbau seluruh pihak untuk menepis ego masing-masing dan membuka diri untuk bekerjasama.

Melawan Kesombongan

Terlepas dari semua analisis yang tentu saja terlalu berat ke arah ‘duniawi’ dari seorang Harari, sebagai masyarakat yang religius, tentu kita tak bisa lari dari renungan bahwa semua ini adalah kuasa dari maha pencipta.

Inilah takdir sekaligus ujian yang harus kita hadapi bersama secara global. Sangat mungkin, apa yang kita alami sekarang bisa jadi buah dari kesombongan kita selama ini.

Dengan kata lain, apa sih yang tidak bisa dibuat oleh negara sekelas Amerika Serikat?

Mulai dari teknologi militer sampai teknologi kesehatan, semuanya sudah dan akan mereka teliti, produksi dan jual.

Namun, tiba-tiba, hanya disebabkan oleh virus berukuran nanometer, mereka kelabakan. Manusia biasa untuk mampu mengelak dari ‘bahaya besar dan tampak’, kini harus tergelincir oleh si maha kecil dan tidak tampak.

Begitulah, bajalan indak tagaliciak dek batu gadang, tapi dek karikia nan ketek namun runciang. Begitu kira-kira peribahasa warisan muatan lokal kita mengajarkan betapa kewaspadaan justru kadang harus lebih ekstra terhadap segala hal yang kecil dan tidak terlihat secara kasat mata.

Tidak ada cara lain selain berikhtiar untuk melawan virus ini melalui apa yang bisa kita lakukan. Tiongkok sudah menunjukkan usahanya dan terbukti berhasil.

Sejak virus itu melanda Wuhan, kota itu bagai kota mati, benar-benar tidak ada yang berkeliaran di jalanan apalagi wilayah publik tempat berkumpul seperti stasiun, bandara, sekolah, kampus, lapangan olahraga. Bahkan pasar pun ditutup.

Ternyata disiplin dan sence of crisis adalah kuncinya. Di kita, jujur saja, itu benar yang masih kurang.

Kini, sudah saatnya kita bangkit. Tingkatkan keimanan, jauhi pencitraan, tempatkan lagi kebersihan diri dan lingkungan sebagai syarat utama kesehatan. Ini kondisi darurat, perlu aksi nyata yang di luar kebiasaan.

Dilarang ke luar rumah jika tidak penting-penting amat, bahkan Kapolri pun sudah mengeluarkan instruksi umumnya.

Patuhilah itu dan jangan melawan. Dengan cara inilah penyebaran virus ini bisa diputus mata rantainya. Melanggarnya berarti tidak peduli dengan hajat hidup diri sendiri dan orang banyak.

Bisakah kita patuh demi keselamatan umat manusia?

Saya yakin bisa. Kuncinya: lakukan dan sabar. Ikhtiar seoptimal mungkin, baru tawakal. Badai pasti berlalu, dan Tuhan tidak akan memberi ujian yang kita tidak mampu. [*]


Syahrial Bakhtiar
Wakil Rektor IV Universitas Negeri Padang, Ketua Umum Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia.

Baca Juga

Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Antivaksin di Sumbar
Opini Holy Adib
Salah Kaprah Penggunaan Frasa Tes Swab di Media Massa (Daring)