De Santis: A Panini to Die For

De Santis: A Panini to Die For

Restoran de Santis di Corso Magenta 9 Italia. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Ketika membaca berita lockdown Kota Milan karena pandemi Covid-19, teman traveling saya mengirimkan pesan. “Astaga.. Milan di-isolasi.” Kami terkejut, kota yang kami kunjungi tiga bulan yang lalu ditutup. Milan adalah kota yang cantik dan vibrant. Tidak hanya sebagai salah satu pusat mode di dunia, tetapi juga tempat banyak makanan yang enak. Jika akhir pekan, berjalan di area Duomo Milan adalah sebuah perjuangan untuk menyibak puluhan ribu pejalan kaki.

Salah satu makanan yang sangat enak adalah panini yang dijual oleh restoran kecil bernama “De Santis” di Corso Magenta 9. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Duomo Milano. Tidak kurang dari 2 Km. Sambil berjalan kaki dan window shopping, jarak sejauh itu tidak akan terasa.

Restoran kecil yang menjual sandwich yang ditekan (pressed) atau dipanggang (grilled) ini merupakan tempat makan langganan para pemain sepak bola terkenal, presiden, bahkan Luciano Pavarotti.

Panini atau panino yang berarti “roti.” Kalau di Italia, sandwich ini dibuat dengan roti khas Italia seperti ciabatta atau michetta.

Dua roti ini, menurut banyak orang termasuk dalam kategori “roti keras”, karena tidak seperti umumnya roti tawar yang biasa kita kenal. Di dalamnya, akan ditaruh berbagai macam isian yang kita kehendaki, seperti keju, sayuran, ikan, daging asap, prosciutto/ham, dan sebagainya.

Berasal dari Italia, panini ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Amerika Utara. Jika di Amerika Serikat, panini yang saya temui lebih banyak menggunakan roti tawar biasa, bukan roti keras macam ciabatta atau michetta.

Kami menemukan tempat itu juga “dengan tidak sengaja.” Bukan karena lihat Trip Advisor atau situs perjalanan lainnya. Kami hanya berjalan ke sana ke mari tidak jelas, dan sesekali naik trem. Ketika asyik naik trem yang modelnya sangat vintage, kami melihat tempat itu. Saya adalah penggemar panini.

Mendapatkan panini yang enak tidaklah mudah. Ketika tinggal di Amerika Serikat, panini yang paling saya suka adalah “cheese tomatoes” punya Panera Bread.

Menemukan orang jualan panini di tengah restoran-restoran yang menjual pizza dan spaghetti, ini seperti menemukan oasis di tengah gurun. Meskipun panini merupakan menu andalan di Italia.

Melihat sign De Santis, mata saya langsung terbelalak. Saya ajak teman seperjalanan saya untuk melipir ke situ, melihat-lihat menu yang ditempel di luar restoran.

Alamak, banyak banget. Lebih dari 100 variasi sandwich. Baik yang isinya sayuran, keju, daging sapi, daging ayam, ikan, ham, dan masih banyak lagi.

Harganya juga sangat masuk akal, berkisar sekitar EUR5 – EUR9.

Ketika kami sedang melihat-lihat menu dan bingung karena terlalu banyak pilihan, seorang laki-laki tengah baya dan seorang perempuan muda keluar dari restoran itu.

“Hello.. Masuk saja. Enak banget lho panini-nya. Kamu tidak akan rugi….”

“Hmmm.. Kamu rekomendasikan apa?”

“Semuanya enak…. Tinggal kalian suka apa”

“Hmmm… Kamu sudah coba yang apa?”

“Hampir semua sudah pernah saya coba…” Kami tertawa terbahak. “Aku jamin, enak banget panini-nya. Susah di kota besar seperti Milan ini untuk dapat panini yang enak. Saya asli Milan. Jadi ya saya tahu… Biasanya kalau mau panini enak, harus nyetir ke daerah pedesaan…”

Sebelum kami berpisah dengan pasangan ini, laki-laki setengah baya itu bilang, “Si Mas Chef-nya bisa beberapa bahasa lho….” Kami tertawa bersama-sama, sambil kami ucapkan terima kasih untuk rekomendasinya.

Kami putuskan untuk masuk. Akhirnya kami pesan satu buah panini bernama Alex. Alex ini berisi kalkun panggang, sun dried tomatoes, keju mozarella, biji zaitun, dan artichoke. Harganya cukup ekonomis, EUR6,50.

Image Attachment

Panini Alex - berisi smoked turkey, artichoke, sundried tomatoes. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Selain karena porsinya besar, kami minta dibagi dua. Kami masih sangat kenyang dengan makan siang kami yang besar dan jajan kopi sana-sini. Meskipun sudah kami bagi dua, kami juga masih struggling untuk menghabiskannya. Karena, ya, besar sekali.

Panini kami menggunakan ciabatta. Roti dibelah dan dipanggang sampai hampir penyet. Baru di dalamnya diisi dengan lima macam isian tadi. Enak banget. Karena kalau kita makan sendiri-sendiri saja, rasanya juga sudah enak.

Diakui atau tidak, roti-roti di Eropa itu sangat enak karena menggunakan sourdough (ragi hidup) untuk membuat adonannya. Meskipun sesederhana apapun bahannya, rasanya sangat enak.

Oh ya, untuk ciabatta sendiri bahannya hanya terdiri dari tepung terigu, ragi sourdough, air, minyak zaitun, dan garam.

Image Attachment

Menikmati Alex. [Foto: Dokumentasi Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

Terletak di jalan yang tidak terlalu padat, restoran ini tidak terlalu besar. Tidak lebih dari 15 tempat duduk yang tersedia di dalamnya. Dua pasang kursi untuk dua orang. Sama dengan kursi untuk empat orang, ada dua pasang. Selebihnya, kursi yang ada di depan bar. Interiornya sangat klasik sekali, dengan berbagai dekorasi orang-orang yang pernah makan di situ. Dan, tidak ketinggalan satu jersey tim sepak bola, entah tim apa. Saya tidak hafal.

Satu hal lagi, di restoran ini kami bertemu dengan toilet khas Italia yang air bersih untuk mencuci tangan dari wastafel tidak menggunakan kran dengan puteran, tapi dengan menginjak pedal yang ditaruh di bawah wastafel. Sehingga tangan yang sudah bersih tidak perlu lagi menyentuh kran wastafel yang bisa membuat tangan yang sudah bersih menjadi kotor lagi.

Hanya saat itu, kami bingung di mana puteran krannya. Dan kami anggap bahwa wastafel di De Santis tidak ada krannya. Baru ketika saya di Roma, saya dikasih tahu teman saya, “Puteran krannya dengan injak pedal di bawah wastafel ya….” Ohhh…

Image Attachment

Dalam Restoran de Santis. [Foto: Hariatni Novitasari untuk Padangkita.com]

“Dapur” restoran ini juga terbuka. Kita bisa kalau di Mas Chef-nya memotong daging dengan mesin dan dijadikan slice kecil-kecil. Kita juga bisa melihat dia memanggang roti, ataupun membuatnya menjadi lempengan tipis. Sementara di counter Mas Chef terletak berbagai macam kondimen yang nantinya dibuat isian panini. Kita tidak saja bisa melihat keseluruhan proses persiapan makanan ini dari dalam restoran, tetapi juga dari luar.

Selama di Milan, saya makan di tempat ini dua kali. Pertama kali dengan teman seperjalanan saya. Kedua kalinya sendirian, saat saya transit semalam dari Roma ke Zurich. Ketika makan di sana sendirian, saya mencoba menu yang lain bernama Fiordo – nama yang membuat saya teringat Frodo Baggins dari cerita Lord of the Rings. Isinya adalah smoked salmon, white wine caprino cheese (keju kambing), lemon, dan pepper.

Harganya lebih mahal dari Alex, EUR8,50. Memang, di banyak tempat makan di Eropa, jika kita memilih ikan memang, harganya akan lebih mahal dibandingkan dengan ayam atau daging.

Ketika membayar makanan yang saya pesan, saya bilang “Gracias…”

Kemudian Mas Chef-nya bilang sambil ketawa-tawa, “It’s GrazieNot Gracias. Gracias is Spanish..” Saya ketawa, karena selama di Italia, saya bilang “gracias” di mana-mana. Orang tidak ada yang protes. Dan ternyata, saya salah.

[jnews_carousel_1 show_nav="true" number_post="4" exclude_post="38331" include_category="3140"]

Ah, is that so? So, I’ll say thank you, instead….” Setelah saya ucapkan terima kasih, saya tinggalkan De Santis. Hari masih pukul 6 sore, tapi gelapnya sudah seperti pukul 9 malam. Sementara itu, lampu-lampu dan hiasan Natal lainnya sudah mulai dipasang. [*]


Hariatni Novitasari
Penulis

Baca Juga

Kereta cepat italo
600 KM Hanya Tiga Jam
Pasar Seomun di Daegu, Korea.
Pada Sebuah Pasar
Pasar Natal di Munchen, Jerman.
Ambyar di Pasar Natal Augsburg
Menikmati sandwich Le-crobag di statiun Freiburg, Jerman.
Roti, Roti Terus, Nasinya Mana?
Jalan-jalan Padangkita.com: Catatan perjalanan di Italia.
Drama Trenitalia 2: Terdampar di Lugano, Terbayarkan Panorama Dunia Dongeng
Pasta Vongole di Milan, Italia.
Makan Minum di Italia: Waspada Adds On, Coperto dan Tavolo