“Banyak-banyak baca! Biar tidak banyak-banyak marah!”
Begitu tulisan yang terpampang tepat di majalah dinding sekretariat lembaga kesenian mahasiswa di fakultas saya. Seringkali kalimat sederhana ini menjadi bahan perenungan saya, apa yang sebetulnya saya dapatkan dari membaca? Bagaimana kemudian pengetahuan dikaitkan dengan ‘marah-marah’?
Tidak jarang kita melihat orang-orang di kedai kopi yang mengumpat sembari menyaksikan berita di televisi. Para penonton tidak bisa menahan ungkapan kebencian saat baru menyaksikan berita penangkapan tersangka kasus korupsi. Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi sebuah tragedi terkait anggota organisasi dengan aparat penegak hukum yang meninggalkan korban jiwa.
Mayoritas orang melemparkan berbagai spekulasinya-tentu saja selaku orang ketiga atau yang tidak menyaksikan kejadian secara langsung. Spekulasi acap kali berkeliaran di luar koridor teori bahkan melompat jauh dari temuan di lapangan. Bukan hanya penonton, tetapi juga berita-berita di TV atau di koran seolah-olah bermaksud sekadar memuaskan imajinasi penontonnya dengan mengantarkan pemberitaan bersama narasi-narasi yang menentukan.
Sebut saja misalnya kasus pidana. Suatu tindak pidana baru memiliki putusan yang in kracht van gewijsde (putusan berkekuatan tetap) bila para pihak yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum menerima putusan pengadilan atau tidak tersedia lagi upaya hukum. Saat itulah seorang terduga/tersangka pelaku tindak pidana benar-benar dikatakan bersalah. Namun, bukan hanya para penonton saja yang terjebak dalam penilaiannya, pers juga sering pula memelintir isu demi memikat para pembaca.
Sebetulnya adalah hal yang wajar bila reaksi kebencian muncul ketika kita mengetahui adanya tindak kejahatan atau pelanggaran. Namun sering kali kita naif bahkan tidak adil memandang persoalan. Kita terlebih dahulu menghakimi keadaan atau orang sebelum benar-benar menilai secara ilmiah. Tentu saja hal ini pertanda degradasi intelektual yang mewabah di kalangan terpelajar. Belum lagi bila ia berbicara di panggung publik sehingga berpotensi membahayakan persepsi khalayak.
Berpikir kritis dapat menjadi solusi biar tidak cepat-cepat marah. Proses berpikir itu sendiri bermula dari pengetahuan dasar dan ‘tidak cepat marah’ adalah manifestasi kebijaksanaan. Oleh sebab itu pengetahuan yang mendalam mengantarkan kita kepada pemahaman. Pemahaman mendorong kita memiliki kepekaan (empati). Kepekaan adalah syarat lahirnya kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita memaklumi situasi dan kondisi. Bukannya menjadi reaktif, justru kita dapat menata sikap saat menghadapi isu-isu yang beredar di masyarakat. Lalu apa sebetulnya komponen berpikir kritis?
Untuk memudahkan kita memahami beberapa komponen dasar dalam berpikir kritis, ada baiknya kita melihat sebuah tayangan berita atau artikel di media untuk dicermati. Setidaknya ada tiga jenis tulisan yang dimuat di halaman-halaman koran atau media online dan juga tayangan pada media elektronik, yaitu teks/tayangan; 1) eksposisi yang hanya memuat laporan mengenai temuan-temuan di lapangan (5W+1H), 2) argumentasi yang memuat penjelasan-penjelasan ilmiah terhadap suatu fenomena dan; 3) persuasi yang memuat ajakan untuk sepakat dengan pendapat penulis.
Tiga teks di atas memiliki konstruksi informasi dan maksud yang berbeda-beda. Eksposisi tidak akan luput dari sajian fakta-fakta. Fakta tersebut juga dapat dibuktikan kepastiannya. Argumentasi adalah penjelasan ilmiah yang bisa saja saling berbantah-bantah. Namun, tidak ada tendensi pada asas penyikapan terhadapnya. Artinya, tulisan disajikan sebatas memberikan deskripsi berdasarkan teori atau landasan yang kuat—tidak diragukan lagi—dan faktual.
Bila mana kemudian hari teorinya dibatalkan oleh teori baru, publik tidak akan terjebak dalam kecenderungan emosional karena tulisan ini sudah seharusnya membebaskan diri dari anasir-anasir di luar pengetahuan akademis. Sedangkan persuasi, hampir sama dengan argumentasi tetapi penekanannya adalah bagaimana memepengaruhi persepsi publik dengan didukung oleh teori-teori yang relevan terhadap sikap si penulis.
Tulisan berbentuk opini lebih tepat digolongkan ke dalam teks persuasi. Sekalipun tidak ada seruan secara eksplisit agar para pembaca mesti mendukung penulis, tetap saja opini mengandung setuju-tidak setuju atau bagusnya begini-bukan begitu. Sikap yang dibangun oleh penulis dalam opini memberikan pilihan-pilihan bagi para pembacanya untuk setuju, tidak setuju atau justru melahirkan sintesis setelah membacanya. Itulah mengapa tulisan atau tayangan tersebut dikatakan persuasi—karena ia melahirkan tindakan.
Komponen berpikir kritis yang pertama adalah terhindar dari kesalahan konfirmatif. Kita harus memastikan kebenaran fakta-fakta di lapangan ketika menghadapi sebuah isu atau fenomena. Bila membaca sebuah teks eksposisi, akan jelas padanya temuan-temuan di lapangan. Teks eksposisi tidak menuntut apa-apa terhadap kita.
Sebab yang diinginkan oleh reporter hanyalah informasi terkini. Sekalipun demikian, dalam rangka menjadi seorang pembaca atau pemikir yang kritis tentu saja kita membutuhkan referensi lebih dari satu yang melaporkan peristiwa a quo. Bukannya kita tidak percaya terhadap lembaga pers tersebut—yang nyata-nyata sudah menasional bahkan internasional. Akan tetapi, untuk kasus tertentu kita memang membutuhkan lebih dari satu sumber berita untuk mendapat ketepatan data. Terutama peristiwa-peristiwa yang melibatkan suatu disiplin keilmuan. Tidak sedikit tulisan atau tayangan eksposisi di televisi yang salah dalam menggunakan istilah-istilah pada kasus hukum, misalnya sang reporter tidak bisa membedakan mana yang dikatakan tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Seseorang yang baru saja mendapat putusan di Pengadilan Negeri atas kasus tidak pidana langsung dilaporkan oleh sang reporter sebagai terpidana, padahal seseorang tersebut melanjutkan perkara ke tingkat banding atau Pengadilan Tinggi. Tentu saja bagi para pembaca akan timbul kehebohan. Mungkin saja seseorang tersebut dibebaskan atau tidak bersalah pada putusan Pengadilan Tinggi lalu sudah berkekuatan hukum tetap, sementara sang reporter sudah terlebih dahulu menghakimi orang tersebut?
Kemudian, perlu ditelusuri juga sumber informasi yang dicantumkan oleh reporter atau penulis berita. Media elektronik kini tidak sedikit yang melaporkan beritanya dengan menyadur informasi dari media-media besar. Ciri khasnya, “disadur dari…” atau “dilansir dari…”. Sah-sah saja sebetulnya mengutip dari media-media terpercaya berikut. Akan tetapi, penggunaan informasi yang demikian tidak dapat digunakan pada semua kasus pemberitaan.Artinya, ada memang kasus yang dapat menggunakan jenis sumber informasi langsung dan tidak langsung. Tidak langsung bisa seperti mengutip cuplikan tanyangan video mengenai putusan di Mahkamah Konstitusi. Reporter tidak perlu langsung ke sana karena bobot dan format informasinya sudah cukup hanya dengan cuplikan video putusan pengadilan. Sementara, kasus-kasus seperti FPI (telah dibubarkan Pemerintah) dan Polri tidak dapat dipastikan ketepatan informasinya kecuali memang langsung diperoleh di lapangan. Bahkan, reporter harus hati-hati dalam melaporkan karena temuan-temuan di lapangan sangat erat kaitannya dengan hubungan kekuasaan negara (gezagzverhouding).
Komponen kedua adalah, terhindar dari kesalahan naratif. Sebagaimana yang sudah kita bicarakan sebelumnya, mengetahui jenis-jenis teks atau tayangan berita yang kita cermati merupakan langkah utama untuk berpikir kritis. Eksposisi harus membebaskan dirinya dari anasir naratif serta deskripsi yang memainkan framing atau cara pandang terhadap tulisan.
Suatu berita eksposisi tidak boleh ditayangkan atau ditulis dengan narasi sebab narasi mengandung kecenderungan dalam menduga-duga yang secara tidak sadar didorong oleh repoter. Contohnya tidak perlu narasi untuk menyampaikan berita penangkapan Joko Tjandra untuk berita reportase sehingga para pembaca atau penonton akan terjebak dalam dugaan-dugaan sesat. Maka baik penonton maupun reporter harus bijak menghadapi realitas yang dihadapi: apakah ini laporan kejadian semata atau memang analisis sang reporter? Bila memang analisis maka para pembaca atau penonton harus bijak memilih informasi: mana yang fakta dan mana yang kecenderungan atau penyikapan si penulis.
Adapula berita yang sudah terbebas dari redaksi-redaksi naratif, tetapi masih terjebak dalam sudut pandang naratif. Ternyata, tidak cukup memperhatikan unsur redaksional dan kumpulan informasi yang terkandung di dalamnya, tetapi juga sajian berita yang ditawarkan dalam sudut pandang subjektif dapat mempengaruhi konfigurasi berita tersebut.
Yang diharapkan pembaca adalah sebuah laporan peristiwa, tetapi sajian reporter seolah-olah memicu temuan-temuan baru yang sejatinya tidak dapat dipertanggungjawabakan. Artinya ada eksposisi yang mengandung narasi, tetapi bukan karena redaksinya. Sebagai contoh ada perbedaan sudut padang pada redaksi dua berita berbeda berikut “Kebakaran hutan gambut di musim kemarau disebabkan oleh...” dan “Musim kemarau mempercepat kebakaran yang melanda hutan gambut…”.
Faktanya adalah hutan gambut terbakar oleh percikapan api di musim kemarau. Namun pada berita pertama dan kedua muncul kemungkinan-kemungkinan lain yang menyusup di benak para pembaca. Padahal sejatinya kita hanya ingin melaporkan “ada kebakaran hutan gambut, yang dipicu oleh percikan api, pada musim kemarau”. Kita juga harus cermat dalam mengidentifikasi fakta: mana fakta yang relevan dan mana kecenderungan.
Last but not least adalah terhindar dari kesalahan interpretatif. Lahirnya hipotesis setelah seorang membaca atau menonton berita adalah sebuah keniscayaan sekalipun hanya berbentuk eksposisi. Sering kita bertanya, “bagaimana kelanjutan proses kasus HAM yang lalu? Mengapa setelah bertahun-tahun tetap tidak ada titik terang? Apa yang dilakukan Pemerintah?”.
Ada banyak kemungkinan yang muncul di pikiran para pembaca dalam rangka menyikapi realitas tersebut. Ada yang memakluminya karena kasus-kasus HAM yang lalu memiliki keterbatasan informasi atau kesukaran penyelesaian dan ada pula yang terus-terus mendesak pemerintah dengan berbagai argumentasi. Namun yang menjadi catatan kita pada poin ketiga ini adalah hendaknya pernyataan yang kita lontarkan berangkat dari asumsi dan konsepsi yang relevan. Pernyataan ini bisa berupa hipotesis atau bahkan landasan kita dalam bersikap.
Kemampuan hermeneutika harus didukung dengan kekayaan referensi dan sudut pandang untuk memproses sebuah teks atau tayangan lebih lanjut. Interpretasi yang mendekati kebenaran tentu saja dibangun dari kajian yang tidak sederhana. Seperti kasus FPI—sebelum dibubarkan dan dinyatakan terlarang oleh Pemerintah--dan Polri. Siapa yang tahu kebenarannya? Bukankah FPI adalah ancaman bagi Pemerintah? Dan Pemerintah adalah subjek ‘politik’ (eks) FPI? Terjadinya ketegangan di antara dua belah pihak, siapa yang akan memastikan kebenaran fakta-fakta di lapangan? Bukankah kita sendiri sudah pernah belajar pada masa-masa sebelumnya bahwa kebenaran adalah apa yang keluar dari corong pemerintah? Namun, apakah kita sudah yakin bahwa paparan (eks) FPI merupakan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan?
Interpretasi kita sering kali keluar dari koridor persoalan karena tidak sanggup membuat terang duduk perkara masalah. Kita dibingungkan dengan fakta dan narasi. Sudahlah tengah menghadapi keterbatasan informasi, kita justru melayangkan opini-opini yang tidak berdasar dan menyesatkan. Apakah kita masih dapat menafsirkan persoalan? Tentu bisa, tetapi hanya sebatas sikap-sikap yang relatif netral, seperti tidak memihak dan mendukung lembaga independen yang melakukan penyidikan lebih dalam.
Ada banyak komponen lainnya yang membantu kita berpikir kritis terhadap sebuah isu baik yang disajikan melalui institusi media pemberitaan, maupun isu-isu yang berkembang bebas dalam interaksi kemasyarakatan. Setidak-tidaknya kita dapat mengindentifikasi kategori informasi yang kita peroleh apakah ia termasuk fakta atau bukan. Sehingga, sikap kita terhadap isu tersebut dapat terbebas dari kesalahan konfirmatif, naratif, dan interpretatif. [*]
Nikko Anderson
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas