Tunjangan dan Pemberian Hari Raya

Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Ist]

Saya mengusulkan sebutan pemberian hari raya (PHR). Saya memilih pemberian sebab kata ini belum tentu mengandung arti ‘pemberian sebagai bantuan’. Hadiah ulang tahun yang diberikan kepada kawan ialah pemberian, bukan bantuan. Sementara itu, kata sumbangan memiliki arti pemberian khusus, yakni pemberian sebagai bantuan.

Polda Metro Jaya tidak melarang organisasi masyarakat (ormas) dan pihak lainnya mengajukan permintaan tunjangan hari raya (THR) ke perusahaan asalkan tak ada unsur tindak pidana (“Polda Metro Jaya Tak Larang Ormas Minta THR ke Pengusaha” Sindonews.com, 13 Mei 2020). Frasa tunjangan hari raya yang digunakan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, itu dipersoalkan oleh warganet, terutama oleh orang yang sudah lama tak suka terhadap ormas yang meminta pemberian kepada pengusaha menjelang hari raya keagamaan tertentu. Seorang teman di Facebook mengatakan bahwa THR diperuntukkan bagi pekerja dari pengusaha. Oleh sebab itu, ia mempertanyakan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya yang tak melarang ormas meminta THR kepada perusahaan atau pengusaha, padahal hubungan keduanya bukan hubungan antara pekerja dan pemberi kerja.

Tunjangan, termasuk THR, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah uang (barang) yang dipakai untuk menunjang; tambahan pendapatan di luar gaji sebagai bantuan; sokongan; bantuan (KBBI hanya mencatat singkatan THR tanpa mencatat subentri tunjangan hari raya. Subentri tersebut perlu ditambakan dalam KBBI karena sering digunakan masyarakat). Hubungan pemberi dan penerima uang tersebut bersifat hierarkis karena pemberi uang merupakan pemberi pekerjaan, sedangkan penerima merupakan pekerja, terlepas dari pekerjaan resmi atau bukan, terikat kontrak atau tidak. Ada banyak kata lain dalam bahasa Indonesia yang mengandung arti ‘uang yang diberikan kepada orang yang bekerja’, antara lain, gaji, honorarium, komisi, tip, imbalan, tunjangan, insentif, kompensasi, pesangon, bonus, gratifikasi, upah, persenan, bayaran, ongkos. Pemberian uang ini bersifat wajib atau setengah wajib karena uang diberikan atas kerja yang dilakukan penerima uang.

Akan tetapi, penggunaan kata dan pemaknaan terhadapnya begitu liar dalam komunikasi sehari-hari. Kata yang artinya bersifat khusus, seperti tunjangan, kadang-kadang dipakai dalam pembicaraan sehari-hari dengan arti ‘uang yang diberikan kepada orang secara cuma-cuma tanpa bekerja’, seperti dalam frasa tunjangan hari raya. Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa kata yang mengandung arti seperti itu, misalnya pemberian, sedekah, santunan, subsidi, kontribusi, derma, donasi, iuran, bantuan, sumbangan. Pemberian uang yang terdapat dalam kata-kata tersebut bersifat sukarela.

Mengenai tunjangan hari raya, frasa ini lazim digunakan masyarakat tiap Lebaran dalam bentuk singkatan. Masyarakat memakai dan memaknai THR sebagai kiasan, yang kalau ditulis seharusnya diapit tanda kutip dua. Dalam situasi tak resmi penggunaan frasa tersebut sah-sah saja walaupun secara semantis maknanya tak tepat karena THR hanya diberikan kepada orang yang bekerja, seperti di pemerintahan dan perusahaan swasta. THR untuk perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Dalam Pasal 1 ayat 1 Permenaker itu disebutkan bahwa THR keagamaan adalah pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.

Pemakaian frasa tersebut boleh-boleh saja karena dalam percakapan sehari-hari yang penting ialah pengirim dan penerima pesan memahami maksud pesan yang dikirim dan diterima. Akan tetapi, dalam situasi resmi atau pernyataan resmi penggunaan kata atau frasa bisa menjadi masalah. Dalam konteks seperti itu dibutuhkan ketepatan diksi sebab bisa punya dampak lain, seperti salah paham, bahkan berdampak hukum. Contoh dampak salah paham ialah komentar pengguna Facebook yang mempertanyakan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya yang tak melarang ormas meminta THR kepada perusahaan atau pengusaha karena THR sesuai dengan definisinya tak diperuntukkan bagi ormas.

Frasa THR yang dipakai oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya itu sebenarnya setara dengan frasa THR yang dipakai oleh masyarakat umum tiap Lebaran. Masyarakat umum menggunakan frasa tersebut bukan sebagai istilah teknis karena mereka tak sedang dalam situasi resmi. Namun, saking terkenalnya, THR juga digunakan untuk menyebut uang yang diberikan menjelang atau ketika Lebaran dalam situasi apa pun, termasuk dalam pernyataan resmi, seperti yang dilakukan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu. Seharusnya ia tak memakai frasa THR sewaktu memberikan keterangan kepada pers. Orang akan memaknai frasa itu sebagai istilah teknis sebab diucapkan oleh seorang pejabat kepolisian sebagai pernyataan resmi untuk dikutip wartawan dan disebarluaskan kepada masyarakat melalui media massa.

Kasus penggunaan frasa tunjangan hari raya ini sama dengan kasus pemakaian frasa sembilan bahan pokok, yang biasa disebut dalam bentuk akronim: sembako. Tak selalu bahan pokok yang diberikan dalam bantuan-bantuan sosial itu berjumlah sembilan, tetapi hampir selalu disebut sembako. Dalam percakapan sehari-hari dan situasi tak resmi pemakaian frasa atau akronim tersebut sah-sah saja karena orang sama-sama paham bahwa yang dimaksud sembako itu ialah bahan pokok. Orang pun biasanya tak mempertanyakan jumlah bahan pokok dalam bantuan sembako. Akan tetapi, penggunaan akronim sembako bisa berdampak hukum apabila diperkarakan, misalnya pemberian bantuan bahan pokok dari dinas tertentu, sementara jumlah bahan pokok yang diberikan bukan sembilan. Satu kata dalam hukum harus dipertanggungjawabkan, apalagi soal jumlah item barang. Orang yang menyalurkan sembako yang tak berjumlah sembilan bahan pokok itu juga bisa dituduh korupsi.

Oleh sebab itu, orang sekelas Kabid Humas Polda Metro Jaya dan pejabat lainnya harus memilih kata atau frasa dengan tepat dan membuat kalimat secara cermat serta tahu dalam situasi seperti apa dan sebagai apa menggunakan diksi dan kalimat tersebut. Wartawan juga mesti begitu. Dalam menulis berita tentang bantuan bahan pokok, jika narasumber tak memerinci jumlah bahan pokok hingga sembilan bahan, saya tak menulis sembako dalam kalimat tak langsung meskipun narasumber menyebut sembako. Saya melakukan hal itu untuk menghindari risiko keliru dalam menulis berita dan menghindarkan pembaca dari salah paham. Bisa saja pembaca yang menerima bantuan bahan pokok itu mempertanyakan jumlah bahan pokok yang disalurkan oleh penyalur jika jumlahnya bukan sembilan, sementara narasumber mengatakan sembako di media massa.

Perihal frasa tunjangan hari raya, apa sebutan yang tepat untuk uang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain menjelang atau ketika Lebaran dalam hubungan yang bukan pekerja dan pemberi kerja? Saya mengusulkan sebutan pemberian hari raya (PHR). Saya memilih pemberian sebab kata ini belum tentu mengandung arti ‘pemberian sebagai bantuan’. Hadiah ulang tahun yang diberikan kepada kawan ialah pemberian, bukan bantuan. Sementara itu, kata sumbangan memiliki arti pemberian khusus, yakni pemberian sebagai bantuan. Pemberian untuk ormas yang meminta uang kepada pengusaha menjelang Lebaran bisa disebut sumbangan hari raya (SHR). Ada usul lain? [*]


Holy Adib
Wartawan

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat