Padangkita.com - Tidak semua orang mendapat hidayah pada waktu yang berbeda untuk kembali pada jalan yang benar.
Seperti yang dialami oleh seorang pria bernama Tirta Mandira Hudhi atau yang lebih dikenal dengan nama dokter Tirta.
Pria yang satu ini sempat menjadi trending topic setelah dirinya aktif menyuarakan covid-19. Pria asal Solo tersebut menceritakan kisah hidupnya yang sempat menjadi seorang atheis sebelum menjadi mualaf.
Melansir dari Matamata, hal ini diungkapkannya dalam sebuah acara Talk Show pada 10 Oktober lalu. Awal mula dirinya menceritakan hal tersebut lantaran dirinya dilahirkan dalam keluarga yang beda agama.
Tanpa berusaha menutupi apapun, Dr Tirta menceritakan jika ayahnya merupakan seorang pribumi yang bekerja seorang petani. Ayahnya yang seorang muslim menikahi ibunya yang merupakan keturunan Tionghoa.
Saat itu ibunya seorang lulusan pertanian dengan menganut kepercayaan non muslim. Kehidupan keluarganya ini juga sempat mengalami kesulitan dalam hal keuangan terlebih pada masa krisis moneter tahun 1998.
“ Ibuku keturunan China, dia lulusan pertanian tapi karena enggak ada duit, dia jadi karyawan tapi Non Muslim. Mereka nikah melahirkan aku anak tunggal,” ucap Tirta.
Pada saat krisis moneter tahun 1998 itu menyebabkan pergolakan terjadi di berbagai daerah termasuk Solo.
Saat itu banyak masyarakat yang merupakan keturunan Tionghoa menjadi korban atas kejadian ini. Termasuk salah satunya yang merenggut nyawa ibunya.
“Yang dari situ aku ngerasain tragedi 98 di Solo, pada waktu itu nyokap loncat dari lantai 24, pilihannya cuma dua mati dibakar atau loncat, nyokap pilih loncat,” lanjutnya.
Semenjak itulah dirinya mengetahui tentang sara, rasialisme dan agama. Sebagai korban aksi tidak manusiawi ini, dirinya kemudian memutuskan untuk tidak berkeyakinan apapun atau menjadi seorang atheis.
Mulai tersadar
Keputusan ini telah Ia jalani mulai dari bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Selama itu pula ia tidak merasakan peranan ataupun keberadaan Tuhan dalam hidupnya.
Pria ini juga sempat menikah saat usia muda yakni 22 tahun. Akan tetapi pernikahan tersebut tidak bertahan lama karena keegoisan dirinya.
Saat itu merasa bertingkah sombong dengan segala hal yang dimiliki seperti uang. Akan tetapi hal itu malah menghancurkan hidup orang lain.
Baca juga: Kisah dr. Tirta Mendapat Hidayah dan Jadi Mualaf
Lalu pada saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, dirinya mulai bergaul dengan berbagai karakter orang.
"Dari situ aku terbuka dan aku memutuskan untuk mualaf di usia 23 tahun dan ya sudah, aku bisa menghargai agama lain. Jadi sekarang kalau ada orang beribadah atau apa, aku tidak langsung close minded ya, dari situ aku respek,” tambahnya. [*/Nlm]