"Menurut hemat kami, hal tersebut telah memenuhi syarat adanya pembangunan kebun plasma dan juga sah sebagai legalitas kebun. Tapi, menurut instansi terkait, lahan 374 itu berada di kawasan hutan produksi, tentu kami tidak serta-merta menerima begitu saja, karena kami punya legalitas yang jelas dari awal perjanjian dengan PT BTN," tegasnya.
Disamping itu, pengurus terpilih juga menyatakan, bahwa mereka juga memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk mengusut tuntas siapa dalang di balik proses pembangunan plasma 374 itu.
"Kalau memang itu kawasan hutan produksi, kami harap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum mengusut tuntas proses terjadinya pembangunan plasma 374 itu. Jangan warga atau anggota plasma kami yang ditangkap ketika kami menuntut hak kami sebagai anggota plasma yang jelas-jelas itu adalah hak kami sesuai kesepakatan dengan pihak PT BTN. Untuk itu, kami berharap kepada pemerintah daerah agar menindaklanjuti hal ini sampai tuntas," imbuhnya.
Effemdi juga menegaskan, bahwa pihaknya menghormati undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Namun, ia berharap, agar apa yang sudah menjadi hak mereka yaitu 10 persen dari total lahan yang dijadikan perkebunan oleh PT BTN menjadi lahan kebun plasma masyarakat, karena di sana ada hajat orang banyak.
Baca juga: Tak Terima Dimutasi, Pekerja Perkebunan Sawit di Pasbar Mengadu ke Disnakertrans
"Kami tidak mempermasalahkan apabila hal itu memang sudah diputuskan sebagai kawasan hutan produksi, namun kami meminta agar hak kami diberikan gantinya. Sepengetahuan kami, dulu kerjasamanya adalah untuk mengembangkan dan mengelola perkebunan dalam artian yang kami terima adalah kebun, bukan hutan atau semacamnya," katanya. [zfk]