Nasi Anjing, Nasi Kucing, Nasi Semut

Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Ist]

Dari segi bahasa, sebutan nasi untuk anjing menjadi nasi anjing dikenal sebagai gejala elipsis, yakni penghilangan salah satu unsur (kata) pada tataran sintaksis. Jadi, penamaan nasi anjing di Sumbar berbeda dari penamaan nasi kucing. Penamaan nasi kucing merupakan penamaan yang metaforis. Konon sebutan nasi kucing berdasarkan nasi yang porsinya seperti porsi yang diberikan untuk kucing, yang memang hanya sedikit.

Ketika pemberian nasi anjing di Kelurahan Papanggo dan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu yang lalu menjadi kegaduhan publik, pro kontra pun muncul. Pihak yang pro terhadap pemberi tak mempermasalahkan nama nasi anjing karena isinya halal dan nama itu hanya soal porsi. Kalangan yang kontra memprotes penyumbang sebab menilai nama nasi anjing melecehkan penerima: penerima menganggap nasi anjing sebagai nasi untuk anjing, sedangkan penerimanya manusia, beragama Islam pula. Seperti biasa, jika ada kericuhan yang muncul berkaitan dengan kata-kata, ada saja orang yang merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk (mungkin) menyelesaikan masalah. Masalahnya, definisi itu menimbulkan persoalan lain sebab sub entri nasi anjing dalam KBBI sangat tak lazim.

Nasi anjing dalam KBBI berarti ‘nasi berkuah (tanpa ikan, daging, dan sebagainya)’—sub entri ini ada sejak KBBI IV (2008). Adapun di bungkus nasi yang berlogo kepala anjing itu tertulis Nasi anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing #jakartatahanbanting. Kandungan nasi anjing menurut KBBI berbeda dengan kandungan nasi anjing menurut pemberi nasi anjing di Tanjung Priok, yakni nasi yang lauknya daging ayam, cumi asin, orek tempe teri, bakso orek, dan sosis orek yang diolah dari daging sapi. Kandungan nasi anjing tersebut mirip kandungan nasi kucing. Nasi kucing adalah nasi dengan porsi kecil, biasanya dicampur dengan tempe orek, potongan ikan atau ayam, dibungkus daun pisang, dijual di angkringan pada malam hari (KBBI V). Jadi, orang yang mencari pembenaran pada kasus nasi anjing di Tanjung Priok dengan merujuk sub entri nasi anjing dalam KBBI jelas keliru besar.

Nama nasi anjing di Tanjung Priok itu jelas sebutan baru. Penggagasnya, Yayasan Qahal Family, mengasosiasikan nama itu dengan nama nasi kucing dalam hal porsi: porsi nasi anjing lebih banyak daripada porsi nasi kucing. Filosofi nama nasi anjing menurut yayasan tersebut ialah bahwa anjing merupakan binatang setia. “Kita perlu setia sama Allah yang di atas, setia sama negara, setia sama Pancasila, dan setia sama UUD, khususnya setia sama bangsa ini yang sama-sama kita lagi mengalami kesusahan,” kata Koordinator Komunitas ARK Qahal, Andi, dalam video klarifikasi.

Sementara itu, tak ada yang tahu dari munculnya sebutan nasi anjing dalam KBBI. Pasti ada cerita di balik sebutan itu sebab bahasa tak lahir dari ruang kosong dan tak jatuh dari langit. Itulah yang kini menjadi pertanyaan yang belum terjawab. Orang-orang yang merujuk sub entri tersebut juga tak tahu di daerah mana ada makanan bernama nasi anjing, seperti apa bentuknya, mengapa namanya begitu. Beberapa teman yang bekerja pada bagian perkamusan di Badan Bahasa juga tak tahu dari mana mereka mengambil sub entri nasi anjing dan siapa yang mengusulkannya ketika saya tanya perihal itu. Saya terpaksa harus puas dengan jawaban bahwa mereka sedang menelusuri dari mana sub entri nasi anjing diambil beserta definisinya itu dengan cara menanyai para editor KBBI IV. Dengan begitu, untuk sementara ini saya belum menemukan orang yang mampu menjelaskan definisi sub entri nasi anjing. Tulisan ini bermaksud mencari tahu itu dengan meraba-raba dan tentu saja hasilnya belum tentu memuaskan, apalagi benar secara mutlak.

Tak ada persoalan pada nama nasi kucing. Makanan itu laris manis dan terkenal. Orang juga tahu di daerah mana sego kucing itu didapatkan, yakni di Yogyakarta (konon berasal dari Yogya dan Solo) dan Jawa Tengah. Bagaimana dengan nasi anjing? Adakah sego anjing di Jawa? Sejauh ini belum ada orang yang menyatakan bahwa ada makanan bernama sego anjing atau nasi anjing, apalagi sebagai makanan rakyat seperti nasi kucing. Semua orang Indonesia mungkin belum pernah mendengar makanan bernama nasi anjing itu sebelum ribut-ribut perihal bungkusan bermerek nasi anjing di Tanjung Priok.

Di sela kegaduhan tersebut sejumlah orang Sumatera Barat (Sumbar) mengunggah pengetahuan mereka tentang nasi anjing di media sosial, salah satunya Hasril Chaniago (wartawan senior, penulis buku sejarah, dan penulis buku biografi). Ia menulis di status Facebooknya pada 28 April 2020 bahwa di daerah yang banyak komunitas peburu babi, misalnya Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, istilah nasi anjing itu biasa. “Biasa saja seorang peburu mampir di rumah makan, lalu pesan, “Nasi anjiang ciek”. Itu cerita nasi anjing di kalangan masyarakat peburu, yaitu nasi putih tambah kuah gulai daging, dan biasanya juga dikasih tulang-tulang daging,” katanya.

Nasi anjing seperti yang diceritakan Hasril itu saya dengar dari banyak teman. Saya kali pertama mendengarnya sewaktu kuliah di Padang dalam rentang waktu 2006—2012. Suatu ketika saya menemani seorang senior membeli nasi bungkus. Kepada pekerja kedai, dia berkata, “Nasi anjiang sabungkuih, Da.” Saya kaget mendengarnya. Ternyata isinya nasi, sayur, kuah gulai, dedak rendang, dan sambal cabai. Belakangan hari saya tahu bahwa nama lain nasi anjing ialah nasi kuah. Harganya separuh nasi bungkus biasa. Karena harganya murah, nasi anjing populer pada kalangan mahasiswa yang sedang kekurangan uang. Beberapa orang bercerita bahwa semasa kuliah mereka pernah membeli nasi anjiang. Oleh sebab itu, saya tak heran mendengar orang menyebut, “Kalau pitih kurang, paruik lapa, bali nasi anjiang.” Artinya, kalau uang kurang, perut lapar, beli nasi anjing.

Nasi anjing tersebut merupakan nasi anjing seperti yang terdapat dalam sub entri KBBI, bukan nasi anjing di Tanjung Priok. Namun, dalam sub entri nasi anjing itu tak disebutkan konsumennya: orang atau anjing atau keduanya?

Perihal nasi anjing di Sumbar, bukan karena harganya murah dan dijual di kedai nasi cerita nasi anjing bermula. Konon pada awalnya sebutan nasi anjing populer pada kalangan peburu babi. Sebelum pergi berburu, peburu membawa nasi untuk makannya dan nasi untuk anjingnya, yang telah disiapkan oleh istrinya atau ibunya. Peburu yang tak membawa nasi dari rumah membawa nasi ke lokasi berburu. Di lokasi peburuan terdapat kedai nasi yang menjual nasi seperti itu sebab mereka tahu sebelumnya akan banyak orang pergi berburu (berburu alek di Sumbar dihadiri ratusan hingga ribuan orang). Sementara itu, peburu dan anjingnya harus mengisi perut karena berburu membutuhkan energi.

Entah bagaimana ceritanya nasi untuk anjing menjadi nasi anjing, lalu populer pada kalangan (terbatas) mahasiswa di Kota Padang, tempat yang bukan lokasi buru babi. Entah bagaimana pula pekerja kedai nasi paham bahwa nasi anjing yang dipesan oleh pembeli ialah nasi kuah. Tak ada pula yang tahu pasti bagaimana nasi yang memang untuk anjing itu dibeli dan dimakan oleh orang yang kekurangan uang.

Cerita-cerita seputar nasi anjing di Sumbar itu penting ditulis. Setahu saya belum ada literatur tentang cerita nasi anjing tersebut—semoga saya salah karena sedikitnya pengetahuan saya. Cerita tentang nasi anjing di Sumbar hanya beredar secara lisan, itu pun pada kalangan terbatas. Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia (2012) terbitan Balai Bahasa Padang (kini Balai Bahasa Sumbar) pun tak mencatatnya.

Dari segi bahasa, sebutan nasi untuk anjing menjadi nasi anjing dikenal sebagai gejala elipsis, yakni penghilangan salah satu unsur (kata) pada tataran sintaksis. Jadi, penamaan nasi anjing di Sumbar berbeda dari penamaan nasi kucing. Penamaan nasi kucing merupakan penamaan yang metaforis. Konon sebutan nasi kucing berdasarkan nasi yang porsinya seperti porsi yang diberikan untuk kucing, yang memang hanya sedikit. Penamaan nasi anjing di Tanjung Priok juga metaforis. Adapun nama nasi anjing dalam KBBI belum jelas penamaan berdasarkan apa karena tak ada keterangan peruntukannya: untuk manusia atau anjing. Saya mendapatkan kabar bahwa definisi sub entri ini akan ditambah pada pembaruan KBBI dalam jaringan (online) selanjutnya.

Kembali pada soal di Tanjung Priok, nama nasi anjing pada kasus ini tak bisa disamakan dengan nama nasi kucing dalam hal keberterimaan. Nama nasi kucing berterima karena orang tahu bahwa yang terdapat dalam bungkusan nasi kucing bukanlah daging kucing, sedangkan nama nasi anjing tak berterima bukan hanya karena orang curiga bahwa di dalamnya ada daging anjing, melainkan juga sebab anjing bagi umat Islam berkonotasi negatif jika berhubungan dengan makanan (air liurnya mengandung najis, dagingnya haram dimakan). Itulah sebabnya saya kira nama nasi anjing tetap tak disukai meski pemberinya telah menjelaskan bahwa isinya bukan daging anjing dan nama itu punya nilai filosofis, yakni anjing binatang setia. Anjing punya sifat setia memang berkonotasi positif, tetapi itu tak berhubungan dengan makanan. Kesimpulannya: pemberi nama nasi anjing tak memahami kondisi sosiologi dan psikologi penerima sumbangannya.

Bagaimana dengan nama makanan yang berkonotasi negatif, seperti rawon setan dan ayam neraka? Itu juga tak bisa disamakan dengan nasi anjing di Tanjung Priok. Makanan dengan nama seperti rawon setan tersebut merupakan dagangan. Konon penamaan seperti itu mengandung tujuan promosi dan untuk menarik pembeli. Karena itu, hanya orang yang berminat yang membelinya sehingga berterima untuknya. Adapun nasi anjing merupakan pemberian: tak punya nilai promosi dan ekonomi. Selain itu, sasaran penerimanya tak punya pilihan untuk menolak nama tersebut.

Masalah pemberian nasi anjing itu ditengahi oleh polisi. Polisi menganggap masalah tersebut salah paham antara pemberi dan penerima. Polisi telah memediasi pertemuan perwakilan penyumbang dan warga penerima. Polisi lalu meminta donatur mengganti nama nasi anjing. Polisi mengusulkan nama nasi semut dengan filosofi semut sebagai hewan pekerja keras. Nama ini tak tepat karena tak punya ikatan apa pun dengan yang dinamai. Nasi semut tak bisa diasosiasikan dengan porsi dan tak bisa dihubungkan dengan sasaran: bukan nasi untuk semut. [*]


Holy Adib
Wartawan

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat