Padang, Padangkita.com – Menteri Koordinator Bidang Politik (Menko) Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD bersuara soal diskriminasi di sekolah yang dikaitkan juga dengan perkembangan politik di Indonesia.
Mahfud memang tak secara langsung menyebut pendapatnya dipicu oleh adanya siswi non-muslim yang diwajibkan mengenakan jilbab di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang. Namun, melalui postingan di akun twitter-nya, Mahfud membagi sejarah, pengalaman dan pendapatnya soal pakaian dan diskriminasi pada masa lalu di sekolah.
“Akhir 1970-an s-d (sampai dengan) 1980-an anak-anak sekolah dilarang pakai jilbab. Kita protes keras aturan tersebut ke Depdikbud. Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak non-muslim memakai jilbab di sekolah,” kata Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini melanjutkan, hingga akhir 1980-an di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam. Tapi, kata dia, berkat perjuangan yang kuat dari NU, Muhammadiyah dan lain-lain, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat.
“Awal 90-an berdiri ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Masjid dan majelis taklim tumbuh di berbagai kantor pemerintah dan kampus-kampus,” .
Pada awal 1950-an, kata Mahfud, Menteri Agama Wahid Hasyim (NU) dan Mendikjar (Menteri Pendidikan dan Pengajaran) Bahder Johan (Masyumi) membuat kebijakan: Sekolah umum dan sekolah agama mempunyai ”civil effect” yang sama.
“Hasilnya, sejak 1990-an kaum santri terdidik bergelombang masuk ke posisi-posisi penting di dunia politik dan pemerintahan,” tulis Mahfud.
Akibatnya, lanjut Mahfud, kebijakan penyetaraan pendidikan agama dan pendidikan umum oleh dua menteri itu sekarang menunjukkan hasilnya.
“Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan Polri, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah ’wasarhiyah Islam’: moderat dan inklusif,” kata Mahfud. [ori/pkt]