Agar tidak ada lagi Mendikbud seperti Nadiem, yang bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, saya usul nanti sebaiknya presiden menanya sikap dan komitmen Mendikbud terhadap bahasa Indonesia sebelum melantik setiap Mendikbud.
Kebiasaan buruk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyelipkan kata bahasa Inggris dalam berbahasa Indonesia mulai menjadi sorotan. Sorotan di sini tidak bermakna positif, tetapi sebaliknya.
Sorotan pertama yang saya ketahui ialah sewaktu Nadiem berbicara dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, 28 Januari 2020. Ia menyisipkan sejumlah kata bahasa Inggris dalam memaparkan program kerja. Oleh sebab itu, ia ditegur anggota Komisi X dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa. Ledia mengingatkan Nadiem untuk menggunakan bahasa Indonesia.
“Karena ini adalah rapat yang tercatat betul di dalam UU MD3 bahwa ini rapat resmi, karenanya mengingatkan, karena ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka penggunaan bahasa Indonesia dalam presentasi maupun juga bicara menjadi satu hal yang penting dijadikan teladan oleh Mendikbud.” (“Legislator PKS Ingatkan Nadiem Presentasi Pakai Bahasa Indonesia”, Detik.com, 28 Januari 2020).
Berikut ini beberapa kutipan Nadiem dalam rapat itu.
“Bahwa untuk buka prodi baru, asal dia punya pasangan organisasi yang bekerja dan beroperasi di dunia nyata, baik profit maupun nonprofit, itu boleh dan tinggal meregistrasi akan langsung di-approve oleh kementerian.”
“Kami akan melakukan berbagai macam tracer study setiap tahun dan kami akan juga mengetatkan monitoring dari sisi kementerian.”
Setiap berganti salindia (slide) saat menyajikan presentasi di layar proyektor, Nadiem selalu menyebut kata next.
Kata bahasa Inggris lain yang dipakai Nadiem dalam rapat itu, antara lain, champion, combine, dan push (“Gunakan Bahasa Inggris Saat Raker, Nadiem Ditegur Anggota DPR”, CNNIndonesia.com, 28 Januari 2020).
Entah apa tujuan Nadiem menggunakan approve, monitoring, tracer study, next, champion, combine, dan push. Padahal, ia bisa memakai kata disetujui, pemantauan, kajian penelusuran, selanjutnya, juara, menggabungkan, dan dorong/mendorong.
Sebenarnya judul berita Detik.com dan CNNIndonesia.com itu kurang tepat karena Nadiem sudah menggunakan bahasa Indonesia karena struktur bahasa dan mayoritas kosakata yang ia pakai memang bahasa Indonesia. Jadi, kesalahannya bukan memakai bahasa Inggris, melainkan menggunakan beberapa kata bahasa Inggris.
Mengulangi Kesalahan Kebiasaan Buruk
Setelah Nadiem mendapatkan teguran, saya kira ia akan sadar karena malu. Dengan begitu, ia tak akan melakukan kesalahan itu lagi. Ternyata ia mengulangi kebiasaan buruk itu. Dalam telekonferensi tentang evaluasi kegiatan belajar dalam jaringan (online) di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang disiarkan di akun YouTube Kemendikbud, 2 Mei 2020, ia menyelipkan beberapa kata bahasa Inggris. Media massa lalu mengutip sejumlah ujaran Nadiem secara utuh tanpa mengubahnya. Ujarannya berikut inilah yang menjadi sorotan di media sosial.
“Jadi, dengan kondisi seperti ini, digital gap-nya juga widen, ekonomi gap-nya juga lebih widen lagi dan itu menjadi suatu wake up call bagi kita di pemerintah bahwa, wah ini benar-benar gap antara have dan have not itu besar sekali. Jadi, daerah-daerah tertinggal itu harus benar-benar dibantu.” (“Kemendikbud Terus Lakukan Evaluasi Pendidikan Jarak Jauh”, Detik.com, 2 Mei 2020).
Pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin, mengunggah paragraf tersebut di akun Facebook-nya pada 3 Mei 2020 dan memadankan kata bahasa Inggris itu dengan kata bahasa Indonesia. Inilah hasil perbaikan yang dilakukan Ivan.
“Jadi, dengan kondisi seperti ini, gap digitalnya juga melebar, gap ekonominya juga lebih melebar lagi dan itu menjadi suatu penggugah bagi kita di pemerintah bahwa, wah ini benar-benar gap antara yang punya dan yang tidak itu besar sekali. Jadi, daerah-daerah tertinggal itu harus benar-benar dibantu.”
Kalau mau pesannya lebih mudah dicerna semua kalangan, termasuk kalangan yang tingkat intelektualitasnya paling rendah, Nadiem sebaiknya tidak memakai kata gap, tetapi kata kesenjangan. Kata gap tidak familiar bagi orang umum. Padahal, sasaran pesannya itu ialah orang umum, bukan kalangan elite, karena disiarkan di YouTube.
Kris Budiman, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, juga mengutip pernyataan Nadiem yang berisi kata-kata bahasa Inggris itu dan membuat status yang berisi ledekan di akun Facebook-nya pada 3 Mei 2020, “Menteri Pendidikan berbicara dengan bahasa amburadul seperti ini? Oh, my brain not arrive!”
Kebiasaan Lama
Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris saat berbicara dalam bahasa Indonesia tampaknya sudah menjadi kebiasaan Nadiem sejak belum menjadi Mendikbud. Beberapa kutipan berikut ini buktinya.
“Ini adalah kesempatan pembelajaran. Pada saat stakeholder di pendidikan, ini tool kita-kita baru yang ada koneksinya dengan digital. Ini menjadi momentum akan menjadi lebih siap.” (“Mendikbud Nadiem Akui Sulitnya Proses Adaptasi Online Learning”, Kompas.com, 6 Mei 2020). Kata stakeholder sudah lazim dipadankan dengan pemangku kepentingan, dan tool bisa dipadankan dengan alat.
“Penegasan dan penegakan ini yang benar-benar harus di-push. Tapi tolong berikan kami waktu untuk menemukan jalan keluarnya. Ini udah menjadi suatu wabah yang luar biasa parah.” (“Nadiem Makarim Sebut Ada 3 Dosa di Dunia Pendidikan”, Tempo.co, 21 Februari 2020). Kata push dapat diganti dengan dorong.
“Tantangan utamanya adalah kepercayaan. Orang belum 100 persen percaya terhadap digital wallet. Lalu masih banyak juga yang belum mengerti bagaimana caranya top up.” “Akses itu sebenarnya untuk mereka yang tidak punya pembayaran secara mudah, belum cashless, dan tidak memiliki layanan perbankan. Go-Pay adalah financial solution.” (“Nadiem Makarim Benarkan Go-Pay Akan Mandiri pada 2018”, Tirto.id, 15 November 2017). Frasa digital wallet itu dapat dipadankan dengan dompet digital, top up dipadankan dengan isi ulang (dalam konteksi itu isi ulang uang elektronik), cashless dipadankan dengan nontunai, dan financial solution dipadankan dengan solusi finansial.
“Meskipun mitra, tapi secara indirect adalah employer di Indonesia sekarang. Lebih besar dari perusahaan swasta lainnya untuk bisa menafkahi.” “Apalagi kalau sektor formalnya lagi lemah. Di sinilah informal economy menjadi buffer untuk take-over formal economy di Indonesia.” (“Nadiem Klaim Gojek Ciptakan Pekerjaan untuk Satu Juta Keluarga” Katadata.co.id, 26 Oktober 2017). Indirect dapat diganti dengan tidak langsung, employer dengan pegawai, informal economy menjadi ekonomi informal, buffer menjadi penyangga, take over menjadi mengambil alih, formal economy menjadi ekonomi formal.
Menteri Pendidikan sebagai Teladan
Kebiasaan Nadiem mencampurkan kata bahasa Inggris dalam berbahasa Indonesia mungkin terbawa dari kebiasaan sehari-harinya sebelum ia menjadi Mendikbud. Namun, orang tidak mau tahu latar belakang yang mengakibatkan ia berbahasa begitu. Yang jelas, selama menjadi Mendikbud, ia harus berbahasa Indonesia dengan baik dan (kalau perlu) benar tanpa menyisipkan kata bahasa Inggris yang dapat dipadankan dengan kata bahasa Indonesia. Kalau tak lagi menjadi Mendikbud, ia barangkali tak akan dikritik karena memakai bahasa. Banyak orang yang berbahasa dengan sembarangan tanpa perlu dikritik sebab mereka bukan orang berpengaruh atau tokoh.
Jadi, jabatan Nadiem itulah yang menyebabkan perkataannya disorot. Kalau ia bukan Mendikbud, kegemarannya menyisipkan kata asing akan dibiarkan oleh orang walaupun itu jelas sikap negatif terhadap bahasa Indonesia—kosakata asing bukanlah kata serapan. Kosakata yang sudah diserap tidak lagi disebut kosakata asing.
Teguran Ledia Hanifa itu benar bahwa Nadiem sebagai Mendikbud perlu menjadi teladan dalam memakai bahasa Indonesia. Apa pun yang dilakukan Mendikbud akan diperhatikan orang, termasuk perkataannya. Selain itu, Mendikbud memimpin dosen dan guru. Pengajar merupakan sosok teladan bagi mahasiswa dan murid. Sudah seharusnya orang yang memimpin para pendidik perlu memperlihatkan sikap terdidik terlebih dahulu.
Kalau orang yang memimpin pendidik tak memperlihatkan sikap terdidik, bagaimana caranya memimpin pendidik? “Mendikbud hanya mengambil kebijakan. Jadi, ia tidak perlu menjadi teladan.” Mungkin ada yang menjawab begitu. Begitulah bangsa yang susah maju: gampang bersikap permisif terhadap kesalahan dan pelakunya.
Selain itu, di bawah kementerian yang Nadiem pimpin ada Badan Bahasa, lembaga yang gencar mengampanyekan sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, Nadiem sebaiknya tidak merusak kampanye “bangga berbahasa Indonesia” dengan menggunakan kosakata asing jika ia tidak ikut dalam kampenye tersebut.
Menginternasionalkan Bahasa Indonesia
Dalam rapat dengan Komisi X DPR di Jakarta pada 20 Februari 2020 Nadiem menyampaikan bahwa ia ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa pergaulan di Asia Tenggara. Nadiem mengatakan bahwa target itu akan menjadi misi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (“Nadiem Ingin Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Pengantar di ASEAN”, Tempo.co, 20 Februari 2020).
Itu sebenarnya bukan ide asli Nadiem karena beberapa Mendikbud sebelumnya juga menyampaikan cita-cita tersebut. Itu merupakan keinginan institusi Kementerian Pendidikan, khususnya Badan Bahasa. Jadi, siapa pun menterinya, keinginan itu selalu ada sebab cita-cita tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (lihat Pasal 44).
Menurut Kepala Badan Bahasa sewaktu itu, Dadang Sunendar, dalam acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di Kantor Kemendikbud, bahasa Indonesia sudah memenuhi empat syarat sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara. Berikut ini syarat-syaratnya, seperti dikutip dari berita “Nadiem Targetkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Pengantar ASEAN” (Liputan6.com, 21 Februari 2020). Pertama, banyaknya penutur. Penutur bahasa Indonesia sudah banyak, yakni melebihi 300 juta penutur, yang juga terdapat di negara lain. Kedua, digunakan di negara lain. Bahasa Indonesia dipakai negara lain, seperti Timor Leste, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan dengan dialek yang berbeda-beda. Saya tak tahu apakah bahasa yang dimaksud tersebut bahasa Indonesia karena di negara-negara itu dipakai bahasa Melayu. Kalau bahasa Melayu di negara-negara tersebut disebut bahasa Indonesia, itu keliru. Ketiga, mudah dipahami dan dipelajari. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dipelajari orang asing sehingga dapat menjadi bahasa ilmu pengetahuan bagi siapa saja. Keempat, Indonesia memiliki stabilitas ekonomi politik. Menurutnya, ekonomi dan politik Indonesia dapat dikatakan stabil. Syarat kelima ialah sikap masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Menurut Dadang, syarat itu belum terpenuhi karena masyarakat Indonesia belum bangga terhadap bahasa Indonesia dan belum menghormati bahasa Indonesia.
Nadiem justru mengotori cita-cita itu dengan memakai sejumlah kata asing dalam rapat resmi dan dalam wawancara dengan media. Ia memperpanjang barisan orang Indonesia yang belum bangga berbahasa Indonesia dan belum menghormati bahasa Indonesia. Dengan begitu, ia memperlambat terwujudnya cita-cita untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia.
Agar tidak ada lagi Mendikbud seperti Nadiem, yang bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, saya usul nanti sebaiknya presiden menanya sikap dan komitmen Mendikbud terhadap bahasa Indonesia sebelum melantik setiap Mendikbud. [*]
Holy Adib
Wartawan