Kebiasaan Buruk Nadiem Makarim Berbahasa Indonesia

Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Ist]

Menteri Pendidikan sebagai Teladan

Kebiasaan Nadiem mencampurkan kata bahasa Inggris dalam berbahasa Indonesia mungkin terbawa dari kebiasaan sehari-harinya sebelum ia menjadi Mendikbud. Namun, orang tidak mau tahu latar belakang yang mengakibatkan ia berbahasa begitu. Yang jelas, selama menjadi Mendikbud, ia harus berbahasa Indonesia dengan baik dan (kalau perlu) benar tanpa menyisipkan kata bahasa Inggris yang dapat dipadankan dengan kata bahasa Indonesia. Kalau tak lagi menjadi Mendikbud, ia barangkali tak akan dikritik karena memakai bahasa. Banyak orang yang berbahasa dengan sembarangan tanpa perlu dikritik sebab mereka bukan orang berpengaruh atau tokoh.

Jadi, jabatan Nadiem itulah yang menyebabkan perkataannya disorot. Kalau ia bukan Mendikbud, kegemarannya menyisipkan kata asing akan dibiarkan oleh orang walaupun itu jelas sikap negatif terhadap bahasa Indonesia—kosakata asing bukanlah kata serapan. Kosakata yang sudah diserap tidak lagi disebut kosakata asing.

Teguran Ledia Hanifa itu benar bahwa Nadiem sebagai Mendikbud perlu menjadi teladan dalam memakai bahasa Indonesia. Apa pun yang dilakukan Mendikbud akan diperhatikan orang, termasuk perkataannya. Selain itu, Mendikbud memimpin dosen dan guru. Pengajar merupakan sosok teladan bagi mahasiswa dan murid. Sudah seharusnya orang yang memimpin para pendidik perlu memperlihatkan sikap terdidik terlebih dahulu.

Kalau orang yang memimpin pendidik tak memperlihatkan sikap terdidik, bagaimana caranya memimpin pendidik? “Mendikbud hanya mengambil kebijakan. Jadi, ia tidak perlu menjadi teladan.” Mungkin ada yang menjawab begitu. Begitulah bangsa yang susah maju: gampang bersikap permisif terhadap kesalahan dan pelakunya.

Selain itu, di bawah kementerian yang Nadiem pimpin ada Badan Bahasa, lembaga yang gencar mengampanyekan sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, Nadiem sebaiknya tidak merusak kampanye “bangga berbahasa Indonesia” dengan menggunakan kosakata asing jika ia tidak ikut dalam kampenye tersebut.

Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

Dalam rapat dengan Komisi X DPR di Jakarta pada 20 Februari 2020 Nadiem menyampaikan bahwa ia ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa pergaulan di Asia Tenggara. Nadiem mengatakan bahwa target itu akan menjadi misi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (“Nadiem Ingin Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Pengantar di ASEAN”, Tempo.co, 20 Februari 2020).

Itu sebenarnya bukan ide asli Nadiem karena beberapa Mendikbud sebelumnya juga menyampaikan cita-cita tersebut. Itu merupakan keinginan institusi Kementerian Pendidikan, khususnya Badan Bahasa. Jadi, siapa pun menterinya, keinginan itu selalu ada sebab cita-cita tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (lihat Pasal 44).

Menurut Kepala Badan Bahasa sewaktu itu, Dadang Sunendar, dalam acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di Kantor Kemendikbud, bahasa Indonesia sudah memenuhi empat syarat sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara. Berikut ini syarat-syaratnya, seperti dikutip dari berita “Nadiem Targetkan Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Pengantar ASEAN” (Liputan6.com, 21 Februari 2020). Pertama, banyaknya penutur. Penutur bahasa Indonesia sudah banyak, yakni melebihi 300 juta penutur, yang juga terdapat di negara lain. Kedua, digunakan di negara lain. Bahasa Indonesia dipakai negara lain, seperti Timor Leste, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan dengan dialek yang berbeda-beda. Saya tak tahu apakah bahasa yang dimaksud tersebut bahasa Indonesia karena di negara-negara itu dipakai bahasa Melayu. Kalau bahasa Melayu di negara-negara tersebut disebut bahasa Indonesia, itu keliru. Ketiga, mudah dipahami dan dipelajari. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dipelajari orang asing sehingga dapat menjadi bahasa ilmu pengetahuan bagi siapa saja. Keempat, Indonesia memiliki stabilitas ekonomi politik. Menurutnya, ekonomi dan politik Indonesia dapat dikatakan stabil. Syarat kelima ialah sikap masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Menurut Dadang, syarat itu belum terpenuhi karena masyarakat Indonesia belum bangga terhadap bahasa Indonesia dan belum menghormati bahasa Indonesia.

Nadiem justru mengotori cita-cita itu dengan memakai sejumlah kata asing dalam rapat resmi dan dalam wawancara dengan media. Ia memperpanjang barisan orang Indonesia yang belum bangga berbahasa Indonesia dan belum menghormati bahasa Indonesia. Dengan begitu, ia memperlambat terwujudnya cita-cita untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia.

Agar tidak ada lagi Mendikbud seperti Nadiem, yang bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, saya usul nanti sebaiknya presiden menanya sikap dan komitmen Mendikbud terhadap bahasa Indonesia sebelum melantik setiap Mendikbud. [*]


Holy Adib
Wartawan

Halaman:

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat