Kacaunya Bahasa Surat Resmi Gubernur Sumatera Barat

Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Esais dan kolomnis bahasa Holy Adib membagikan rahasianya dan tips menulis esai bahasa

Holy Adib. [Foto: Dokumentasi Pribadi]

Beberapa waktu belakangan ini saya membaca tiga surat resmi Gubernur Sumatra Barat (Sumbar). Ketiga surat itu ditulis dengan bahasa yang kacau, baik dari segi kalimat maupun ejaan. Berikut ini hasil analisis saya terhadap ketiga surat tersebut.

Surat pertama yang saya baca ialah surat Gubernur Sumbar untuk Presiden RI tertanggal 8 Oktober 2020. Surat itu berisi penyampaian aspirasi serikat pekerja/serikat buruh dan mahasiswa Sumbar tentang UU Cipta Kerja. Begini isinya.

Dengan disetujuinya Undang-Undang tentang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2020, menimbulkan aksi unjuk rasa yang menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Mahasiswa di Sumatera Barat.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyampaikan aspirasi dari Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Mahasiswa kepada Bapak Presiden berkenan dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.

Demikian disampaikan, atas perhatian Bapak Presiden diucapkan terima kasih.

Kesalahan paling fatal paragraf pertama surat itu ialah bahwa kalimatnya mengandung kontaminasi. Kontaminasi terjadi karena kalimat itu dimulai dengan kata sambung (dengan) pada awal kalimat, lalu disambut dengan kata kerja (menimbulkan). Akibatnya, kalimat itu tidak memiliki subjek sehingga tidak gramatikal dan tidak bisa diurai berdasarkan peran sintaksis. Untuk mengubahnya menjadi kalimat yang benar, kata dengan pada awal kalimat itu harus dihapus. Dengan begitu, kalimatnya menjadi begini: Disetujuinya Undang-Undang tentang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2020 (subjek) menimbulkan (predikat) aksi unjuk rasa yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja oleh serikat pekerja/serikat buruh dan mahasiswa (objek) di Sumatera Barat (keterangan tempat). Koma sebelum kata menimbulkan tidak perlu ada karena koma tidak boleh memisahkan subjek dan predikat. Huruf kapital pada frasa serikat pekerja, serikat buruh, dan kata mahasiswa saya ganti menjadi huruf kecil karena frasa dan kata tersebut bukan nama organisasi yang perlu dikapitalkan huruf awalnya. Spasi setelah garis miring pada frasa serikat pekerja/serikat buruh saya hilangkan karena tidak perlu ada.

Kalau saya ditugasi menulis surat itu, paragraf pertama surat tersebut akan saya pecah menjadi beberapa kalimat, bukan hanya satu kalimat seperti itu. Begini jadinya: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyetujui Undang-Undang tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Hal itu menimbulkan aksi unjuk rasa oleh serikat pekerja/serikat buruh dan mahasiswa di Sumatera Barat yang menolak undang-undang tersebut. Paragraf yang mengandung dua kalimat pendek ini lebih enak dibaca daripada paragraf yang mengandung satu kalimat panjang yang menyesakkan napas.

Kalimat panjang seperti itu juga terdapat pada paragraf kedua. Kalimat tersebut sebaiknya dijadikan dua kalimat: Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyampaikan aspirasi dari serikat pekerja/serikat buruh dan mahasiswa kepada Bapak Presiden. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat berharap Bapak Presiden berkenan mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Penggunaan huruf kapital pada paragraf kedua ini sudah saya perbaiki; kesalahan pemakaian huruf kapitalnya sama seperti kesalahan pada paragraf pertama. Penulisan akronim Perpu saya ganti karena salah apabila ditulis PERPU. Akronim tersebut tak perlu dikapitalkan semua karena tidak dibentuk dari huruf awal tiap kata pembentuknya.

Kesalahan lain surat itu terdapat pada kalimat penutupnya: Demikian disampaikan, atas perhatian Bapak Presiden diucapkan terima kasih. Apa yang demikian disampaikan? Siapa yang menyampaikan yang demikian itu? Kalimat tersebut bisa ditulis lebih jelas: Demikian aspirasi tersebut kami sampaikan atau Demikian surat ini kami tulis. Jika kalimatnya begitu, penulisnya suratnya jelas tertera, yakni kami (kata kami di sini berarti ‘yang menulis’—silakan cek KBBI). Tak perlu memakai kata kerja pasif yang menyembunyikan pelaku. Begitu juga dengan kalimat selanjutnya, yang sebaiknya ditulis: Atas perhatian Bapak Presiden, kami ucapkan terima kasih. Saya menjadikan kalimat penutup itu menjadi dua kalimat karena kalimat Demikian aspirasi tersebut kami sampaikan tidak satu gagasan pokok dengan kalimat Atas perhatian Bapak Presiden, kami ucapkan terima kasih.

Surat kedua yang saya baca ialah surat Gubernur Sumbar untuk DPR RI tertanggal 8 Oktober 2020. Surat itu berisi aspirasi serikat pekerja/serikat buruh se-Sumbar tentang UU Cipta Kerja. Begini isinya.

Dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2020, menimbulkan aksi unjuk rasa yang menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Mahasiswa di Sumatera Barat.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyampaikan aspirasi dari Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Mahasiswa yang menyatakan menolak disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dimaksud.

Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Karena kalimat dan ejaan surat ini hampir sama dengan surat Gubernur Sumbar untuk Presiden RI tertanggal 8 Oktober 2020, kesalahannya juga sama seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Jadi, saya tidak lagi membahas surat ini.

Surat ketiga yang saya baca ialah Instruksi Gubernur Sumbar tentang Pengawasan dan Penegakan Protokol Kesehatan pada Rumah Makan/Restoran/Cafe dan Sejenisnya di Kota Padang. Mari ikuti analisis saya tentang isi surat tertanggal 20 Oktober 2020 itu.

Isi surat itu dibuka dengan paragraf ini: Memperhatikan peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 yang semakin tinggi dalam beberapa waktu belakangan ini, dapat disinyalir bahwa banyak penularan yang terjadi akibat ketidakdisiplinan menjalankan protokol kesehatan khususnya pada Rumah Makan/ Restoran/ Cafe di Kota Padang, maka dengan ini menginstruksikan. Di bawah paragraf ini ditulis tujuan instruksi yang terdapat dalam surat ini: 1. Walikota Padang, dan 2. Seluruh Pengelola Rumah makan/ Restoran/ Cafe dan sejenisnya di Kota Padang. Betapa basilemak peak-nya kalimat tersebut. Penulisnya jelas tidak memahami cara membuat kalimat. Kesalahan pertama kalimat tersebut ialah tidak memiliki subjek karena klausa Memperhatikan peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 yang semakin tinggi dalam beberapa waktu belakangan ini tidak disambut oleh subjek, tetapi disambut oleh klausa dapat disinyalir bahwa banyak penularan yang terjadi akibat ketidakdisiplinan menjalankan protokol kesehatan khususnya pada Rumah Makan/ Restoran/ Cafe di Kota Padang. Akibatnya, kalimat itu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang siapa pelaku yang melakukan tindakan memperhatikan dan siapa pelaku yang melakukan tindakan dapat disinyalir. Kalimat itu menjadi begini jika diperbaiki: Setelah memperhatikan peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 yang semakin tinggi dalam beberapa waktu belakangan ini, kami mensinyalir bahwa banyak penularan yang terjadi akibat ketidakdisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan, khususnya di rumah makan/ restoran/kafe di Kota Padang. Saya menambahkan kata masyarakat di depan kata menjalankan agar jelas siapa yang dimaksud tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan dalam kalimat itu. Saya mengganti kata pada dengan kata di di depan frasa rumah makan karena rumah makan adalah keterangan tempat sehingga cocok disandingkan dengan kata depan di, bukan pada. Contoh, saya makan di rumah makan, bukan saya makan pada rumah makan. Selain itu, kata cafe dalam kalimat itu saya betulkan ejaannya menjadi kafe. Bahasa Indonesia sudah lama menyerap cafe menjadi kafe. Kemudian, kalimat panjang itu saya jadikan dua kalimat agar enak dibaca dan tidak berbelit-belit. Oleh sebab itu, klausa maka dengan ini menginstruksikan (yang tidak ada pelakunya sehingga tidak jelas siapa yang melakukan tindakan menginstruksikan) sebaiknya dijadikan kalimat baru. Kalimatnya menjadi begini: Oleh karena itu, kami menginstruksikan 1. Wali Kota Padang, dan 2. Semua pengelola rumah makan/restoran/kafe, dan sejenisnya di Kota Padang .... Kata seluruh saya ganti dengan semua karena yang dimaksud dalam kalimat itu ialah semua, bukan seluruh. Penggunaan kata seluruh berbeda dengan kata semua. Contohnya, seluruh kota dan semua kota. Pada seluruh kota, jumlah kotanya hanya satu, sedangkan pada semua kota, jumlah kotanya lebih dari satu. Kata seluruh dan semua juga tak bisa saling menggantikan. Misalnya, seluruh Indonesia tidak bisa diganti menjadi semua Indonesia; semua badan tidak bisa ditukar menjadi seluruh badan.

Entah siapa yang menulis ketiga surat tersebut sampai bahasanya sekacau itu. Pengetahuan penulisnya tentang bahasa sangat kurang. Saya sangat yakin surat itu tidak ditulis oleh Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, sebab redaksi tulisan beliau cukup bagus. Saya mengetahui itu karena beberapa kali membaca tulisan beliau di koran-koran terbitan Sumbar.

Sebaiknya Pemprov Sumbar memperhatikan penulisan surat resmi yang mengatasnamakan Gubernur Sumbar agar tidak memalukan. Setelah membaca tiga surat resmi Gubernur Sumbar itu, saya malu sebagai warga Sumbar sambil bertanya sendiri: kok bisa surat yang mengatasnamakan gubernur ditulis secara asal-asalan begitu? Apakah tidak ada orang di Pemprov Sumbar yang cekatan menulis surat? Selain itu, surat resmi harus ditulis dengan kalimat dan ejaan yang benar untuk menghormati orang yang menerima surat tersebut, apalagi jika penerimanya presiden dan DPR.

Setelah membaca tiga surat resmi Gubernur Sumbar itu, saya ingin mengetahui redaksi surat-surat resmi Gubernur Sumbar yang terbit sebelumnya. He-he-he-he-he. [*]


Holy Adib
Wartawan

Baca Juga

Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Eulogi untuk Dua Pakar Neurolinguistik: Gusdi Sastra dan Totok Suhardijanto
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Ulah Oknum di Situs Pemprov Sumbar
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat