Padangkita.com - Melalui surat edaran per tanggal 20 Februari 2018, civitas akademik di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, menerbitkan imbauan bagi dosen dan mahasiswi, untuk tidak menggunakan cadar selama berada di lingkungan Kampus, yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi.
Melalui surat edaran itu, pihak Kampus IAIN Bukittinggi meminta dosen, mahasiwa dan mahasiswi untuk mengenakan pakaian sesuai kode etik.
Diantaranya bersikap sopan santun, berikutnya juga dijelaskan aturan berpakaian bagi mahasiswi yakni memakai pakaian longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar atau masker atau penutup wajah, dan memakai sepatu dan kaos kaki.
Sedangkan bagi mahasiswa, diminta berpakaian rapi, dengan memakai celana panjang bukan tipe celana pensil, baju lengan panjang atau pendek bukan kaos, rambut tidak gondrong, dan memakai sepatu, serta kaos kaki. Serta bagi yang tidak mematuhi diberikan teguran, dan tidak akan diberikan layanan akademik.
Itulah isi tulisan dalam surat edaran yang telah disepakati oleh civitas akademik Kampus IAIN Bukittinggi, dan terkait hal itu, saat ini ada seorang Dosen Bahasa Inggris Hayati Syafri, yang tidak mematuhi aturan ini, karena bersikukuh menggunakan cadar, sehingga diberikan teguran oleh pihak kampus
Meski begitu, pihak kampus menampik bahwa kebijakan ini merupakan bentuk larangan bagi mahasiswi dan dosen untuk mengenakan cadar. Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, Rabu (14/3/2018) menuturkan, pihak kampus tidak ada menggunakan kata larangan, namun hanya menegaskan, bahwa kebijakan ini merupakan imbauan, demi lancarnya proses belajar mengajar di lingkungan Kampus.
"Hingga saat ini, pihak Kampus IAIN tidak menerbitkan aturan yang melarang penggunaan cadar. Bagi pihak kampus, aturan yang dijalankan merupakan upaya persuasif bagi dosen dan mahasisiwi untuk menjalankan kode etik, dari seluruh unsur civitas akademik," terangnya.
Dalam hal ini sambung Syahrul Wirda, pihak Kampus bukan melarang, namun mengimbau, karena sesuai kesepakatan, dalam hal ini hanya meminta dosen, mahasiswa dan mahasiswi, untuk berpakaian yang rapi dan sopan dengan berpakaian muslim saat berada di Kampus.
Terkait dengan kasus penonaktifan salah satu dosen itu, Syahrul Wirda membantah. Karena menurutnya, dosen atas nama Hayati Syafri bukan dinonaktifkan melainkan diberi kesempatan untuk membuka cadarnya.
"Permintaan pihak kampus pada Hayati Syafri, hanya untuk membuka cadarnya, bermula dari keluhan beberapa anak didik yang merasa tidak nyaman diajar oleh dosen yang bercadar.
Syahrul Wirda menambahkan, pihak kampus tidak ingin secara gegabah memberhentikan dosen atau mahasiswi yang bercadar dari kegiatan belajar mengajar di IAIN Bukittinggi. Catatan kampus, hingga tahun 2017 terdapat tiga mahasiswi yang mengenakan cadar. Namun sampai saat ini, lanjutnya, pihaknya terus melakukan langkah persuasif agar ketiganya melepas cadarnya.
Menanggapi hal itu Hayati Syafri, sosok dosen yang menyatakan dinonaktifkan oleh kampus, mengaku kecewa dengan kebijakan yang dijalankan institusi tempatnya mengajar, dan membenarkan bahwa sejak pertama kali mengenakan cadar pada 2017 lalu, pihak IAIN Bukittinggi sudah melakukan banyak cara untuk memintanya kembali ke gaya berbusana semula.
"Sudah banyak cara dilakukan, misal lewat teman dekat saya diminta bujuk saya. Lalu dipanggil dan diminta buka cadar. Lewat surat teguran, dan terakhir dipanggil di sidang kehormatan dosen dan terakhir diminta nonaktif," ulasnya.
Hingga saat ini pihak IAIN Bukittinggi tetap tegas menjalankan imbauan bagi dosen dan mahasiswinya agar tidak bercadar, dan meminta berbusana sesuai imbauan yang telah dikeluarkan sejak 20 Februari 2018 lalu.
Guspra Koto